Pakar Hukum Minta Kasus Mardani Maming Dikaji Ulang, Singgung Zarof yang 'Bermain' Peradilan

| 31 Oct 2024 09:25
Pakar Hukum Minta Kasus Mardani Maming Dikaji Ulang, Singgung Zarof yang 'Bermain' Peradilan
Prof Yos Johan Utama

ERA.id - Sejumlah guru besar dan akademisi menyorot kesesatan hukum. Ada banyak kekeliruan dan kekhilafan hakim dalam memutus perkara tersebut.

Contohnya soal kasus makelar hukum yang dilakukan oleh mantan Pejabat Eselon 1 Mahkamah Agung, Zarof Ricar. Zarof bukan hanya membebaskan terdakwa Ronald Tannur, melainkan dia bisa dipesan oleh pihak tertentu agar mengarahkan seseorang dipidana melalui rekayasa kasus.

Tindakan dari Zarof Ricar ini, merupakan secuil kasus dari mafia peradilan di republik Indonesia yang sudah berjalan lama.

Pendapat ini disampaikan oleh Prof Mahfud Md, dalam pernyataannya di akun youtubenya. Di sana Mahfud menyebut tindak tanduk Zarof selama menjabat harus ditelusuri oleh Jaksa Agung.

Sudah menjadi makelar kasus sejak tahun 2012–2022, Mahfud menilai perlu adanya penelusuran pada kasus yang sudah Zarof tenggarai. "Harusnya perkara ini ditelusuri, kejaksaan harus buka lagi perkaranya. Kalau bisa disidang kembali. Biar tidak ada korban yang dihukum karena hanya menjadi kambing hitam," ujarnya.

Ia menilai jika ada korban kambing hitam dalam sejumlah perkara yang terindikasi dalam kasus ini, bisa dilakukan Peninjauan Kembali.

Berdasarkan pernyataan Mahfud tersebut, guru besar Hukum Universitas Diponegoro (Undip), Prof Yos Johan Utama, menilai kalau peradilan dalam kasus lain bisa keliru. Ia mengambil satu contoh yakni kasus Mardani Maming, terdakwa gratifikasi dan suap saat menjadi Bupati Tanah Bumbu Kalimantan Selatan. Kasus itu dinilainya patut ditelusuri untuk Peninjauan Kembali.

Mantan Rektor Undip ini mengkritisi penghukuman yang dijatuhkan hakim terhadap Mardani ihwal pasal yang dijeratkan kepada terdakwa. Katanya, keputusan Mardani selaku Bupati terkait pemindahan IUP dari aspek hukum administrasim adalah sah dan tidak pernah dinyatakan batal oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang merupakan pengadilan berwenang dalam ranah hukum administrasi.

Apalagi ada keputusan Pengadilan Niaga yang sudah inkrah dan menyatakan itu murni hubungan bisnis dan bukan merupakan kesepakatan diam-diam.

“Pengadilan Tipikor, yang merupakan pengadilan pidana, tidak memiliki wewenang untuk menilai keabsahan keputusan administrasi tersebut. Oleh karena itu, tidak ada pelanggaran hukum administrasi yang bisa dijadikan dasar pidana, dan terdakwa tidak bisa dipidana,” ujarnya.

Lanjutnya, majelis hakim pidana diduga khilaf dan keliru, karena ketentuan yang dijadikan dasar dituduhkan kepada terpidana yakni pasal 97 ayat 1 undang-undang 4 tahun 2009 tentang pertambangan, mineral, dan batubara, adalah salah alamat, karena larangan itu ditujukan hanya untuk pemegang IUP dan IUPK.

Ia pun menegaskan, perizinan tambang itu juga telah melalui kajian di daerah hingga pusat. Bahkan, IUP yang dikeluarkan telah mendapatkan sertifikat clear and clean (CNC) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selama 11 tahun.

Diketahui dari fakta persidangan, proses peralihan IUP ini juga telah mendapatkan rekomendasi dari kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Tanah Bumbu yang menyatakan bahwa proses tersebut sudah sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku, ditambah paraf dari Sekda, Kabag Hukum, dan Kadistamben

“Fakta yuridis menunjukkan bukti bahwa Mardani H. Maming selaku Bupati dan sekaligus pejabat tata usaha negara mempunyai kewenangan atributif menerbitkan IUP dan IUPK sebagaimana diatur dalam pasal 37 ayat 1 undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan, mineral dan batubara,” ungkapnya..

Prof Yos menjelaskan, dalam kasus yang menjerat Mantan Ketum BPP HIPMI yang saat itu menjabat sebagai Bupati, Mardani merupakan orang yang memberikan, bukan yang memegang izin.

Dengan demikian, Prof Yos berpendapat agar putusan hakim tersebut dapat dikaji ulang, sebab Mardani diketahui sebagai pihak yang mengeluarkan izin seharusnya tidak bisa dijerat dengan pidana sebagaimana yang diatur dalam UU tersebut.

Pendapat Prof Yos juga sesuai dengan hasil kajian atau anotasi Fakultas Hukum Undip Semarang, Rabu (30/10/2024) kemarin.

Akademisi yang ikut mengkaji adalah Prof. Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum, yang mengkaji dari sisi Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum, mengkaji dari sudut pandang Hukum Administrasi Negara serta pidana.

Sementara itu, akademisi Prof Dr. Yunanto, S.H., M.Hum, memfokuskan kajiannya pada hukum perdata, dan Dr. Eri Agus Priyono, S.H., M.Si, juga mengkaji dari sisi hukum perdata.

Anotasi ini menegaskan bahwa majelis hakim diduga keliru dalam menilai dan mengkonstruksikan transaksi keperdataan yang melibatkan sejumlah perusahaan, seperti PT Prolindo Cipta Nusantara, dan PT Angsana Terminal Utama, sebagai tindakan kamuflase suap.

“Analisis dan kajian anotasi ini mengacu pada fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam putusan terhadap Mardani H. Maming selama ini,” jelas Prof. Retno Saraswati yang merupakan Dekan Fakultas Hukum Undip.

Retno menambahkan tim pengkaji anotasi ini menilai bahwa keputusan majelis hakim terhadap Mardani terkesan terburu-buru dan tidak berlandaskan fakta yang akurat.

“Menurut analisis tim anotasi, tidak ada bukti konkret yang menunjukkan kejanggalan dalam transaksi-transaksi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut,” ujar Retno Saraswati.

Kajian yang dilakukan oleh guru besar hukum Undip ini menghadirkan persepsi baru di Tengah gonjang ganjing Hukum di Indonesia.

Terungkapnya kasus Zarof, memperkuat adanya makelar kasus yang bukan hanya bertujuan untuk membebaskan, tetapi sebaliknya dapat pula bertujuan memidana terdakwa yang sejatinya tidak bersalah sebagaimana dalam perkara Mardani H Maming, sehingga patut Hakim Agung mengoreksi putusan dalam Peninjauan Kembali.

Rekomendasi