Praktisi Hukum Wanti-wanti Kewenangan Intelijen dan Perampasan Aset di RUU Kejaksaan

| 21 Mar 2025 17:30
Praktisi Hukum Wanti-wanti Kewenangan Intelijen dan Perampasan Aset di RUU Kejaksaan
Praktisi hukum kritisi sejumlah kewenangan baru jaksa yang disusun dalam RUU Kejaksaan. (Istimewa).

ERA.id - Revisi Undang-Undang Kejaksaan menjadi sorotan. Sejumlah penambahan kewenangan dinilai bermasalah.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Valerianus Beatae Jehanu mewanti-wanti adanya fungsi kewenangan intelijen bagi Kejaksaan yang diatur dalam revisi UU tersebut. Sebab jaksa bisa mengwasi ruang media.

"Fungsi Intelijen Kejaksaan dalam penegakan hukum ini keliru karena harusnya hanya bisa dalam hal pro justicia," ujarnya dalam diskusi publik, Kamis (20/3/2025).

Sementara Direktur Advokasi dan Kebijakan De Jure Awan Puryadi menyoroti kewenangan baru bagi jaksa dalam revisi itu untuk melakukan penelusuran, perampasan, dan pengembalian aset tindak pidana melalui pembentukan Badan Pemulihan Aset.

Menurutnya, kewenangan baru terseut tidak diikuti dengan penguatan pengawasan. Sementara, belum lama ini ada jaksa yang terjerat korupsi terkait hasil rampasan aset di kasus robot trading.

Selain itu, Awan juga menyoroti penambahan fungsi intelijen bagi Kejaksaan. Menurutnya penambahan kewenangan itu sangat berbahaya dalam konteks penegakan hukum dan demokrasi.

Kewenangan itu dikhawatirkan akan disalahgunakan jaksa untuk memanggil pihak-pihak tertentu tanpa proses penyelidikan. Sementara perbuatan itu tidak akan bisa digugat ke praperadilan lantaran bukan dalam proses penegakan hukum.

"Pernah kejadian, sebanyak 43 guru honorer yang jadi PNS diundang oleh kejaksaan Padang Sidempuan karena diduga ada informasi korupsi. Bupati, tiba-tiba dipanggil hanya berdasarkan informasi. Bisa jadi seperti itu," jelasnya.

Awan juga turut menyoroti kewenangan penghentian kasus di luar proses pengadilan atau Restorative Justice (RJ). Tanpa ada pengawasan yang jelas ia khawatir kewenangan itu justru disalahgunakan untuk memainkan kasus.

"Bisa jadi, Kejaksaan mengulik kasus, kemudian dengan alasan tertentu diberhentikan dengan alasan RJ. Lalu bagaimana dengan kasus illegal mining, misalnya, kemudian dihentikan dengan alasan RJ," tuturnya.

Di sisi lain, Awan mengkritik definisi Kejaksaan dalam UU Nomor 11 Tahun 2021 yang tidak diubah. Pasalnya dalam UU tersebut definisi Kejaksaan melampaui pembagian kekuasaan yaitu Lembaga Pemerintah (eksekutif) yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman (yudikatif).

"Kekuasaan Kehakiman itu independen dan berada di yudikatif. Sementara, Kejaksaan itu Lembaga Pemerintah yang ada di kekuasaan eksekutif. Ini yang keliru dan berbahaya bagi demokrasi dan sistem hukum kita," jelasnya.

Kondisi itu menurutnya juga bisa menimbulkan imunitas bagi anggota kejaksaan. Ia mencontohkan dalam kasus Pinangki misalnya, Jaksa Agung pernah mengeluarkan peraturan untuk memberikan pendampingan hukum, karena dianggap sedang melaksanakan tugas kejaksaan.

"Dalam UU Kejaksaan Tahun 2021, imunitas langsung legal, sah. Harusnya imunitas ini diberikan oleh yudikatif. Ini problem karena kejaksaan memberikan imunitas pada dirinya sendiri," pungkasnya.

Rekomendasi