ERA.id - Partai Golkar, PAN, dan NasDem menonaktifkan kadernya yang berada di DPR usai sikap dan omongannya dinilai menyakiti. Mereka yakni Adies Kadir (Golkar); Nafa Urbach dan Ahmad Sahroni (NasDem); Eko Patrio dan Uya Kuya (PAN).
Setelah ditelusuri, ternyata menonaktifkan mereka tidak sesederhana kehendak Ketua Partai. Ada aturan rigid yang mengikat anggota DPR. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan, anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum itu berarti kedudukan seorang anggota DPR merupakan mandat rakyat bukan hadiah partai politik.
DPR juga dilantik melalui sumpah jabatan, lalu menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran. Soal penonaktifan konstitusi tidak memberi ruang untuk partai atau pimpinan DPR melakukan itu kepada anggota biasa.
Lebih jauh, dalam Pasal 22B UUD 1945 disebut bahwa anggota DPR dapat diberhentikan antarwaktu (PAW). UUD ini tak mengenal terminologi nonaktif sementara. PAW bisa terjadi kalau anggota DPR meninggal dunia, atau mengundurkan diri atau diberhentikan.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengaku tidak ada nonaktif untuk anggota DPR, sesuai dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
"Pasal 144 UU MD3 menyebutkan bahwa pimpinan DPR dapat menonaktifkan sementara pimpinan dan/atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sedang diadukan dan pengaduannya dinyatakan memenuhi syarat serta lengkap untuk diproses. Jadi, konteks nonaktif dalam UU MD3 itu hanya berlaku pada posisi pimpinan atau anggota MKD, bukan pada anggota DPR secara umum," jelas Titi, Senin (1/9/2025).
Dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR juga menegaskan hal yang sama. "Saat partai politik menyatakan menonaktifkan kadernya yang menjadi anggota DPR, itu masih berupa keputusan internal politik partai atau fraksi, belum mekanisme hukum yang otomatis mengubah status mereka sebagai anggota DPR," ungkap dia.
Pada intinya, Titi menganggap para anggota dewan yang dimaksud, kini masih aktif sampai PAW dilakukan melalui pimpinan DPR.
"Kedua, pemberhentian sebagaimana dimaksud pada huruf (c) hanya dapat dilakukan apabila anggota DPR memenuhi salah satu alasan berikut: tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan selama tiga bulan tanpa keterangan; melanggar sumpah/janji jabatan atau kode etik DPR; dijatuhi pidana penjara lima tahun atau lebih melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; diusulkan oleh partai politiknya; tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR; melanggar larangan dalam UU MD3; diberhentikan sebagai anggota partai politik; atau menjadi anggota partai politik lain," tambahnya.
Nantinya setelah PAW rampung, caleg dengan suara terbanyak berikutnya akan mengganti anggota dewan yang terdepak dari parlemen. Intinya PAW merupakan satu-satunya cara yang sah mengakhiri masa jabatan anggota DPR sebelum waktunya.