ERA.id - Ketua Komisi I DPR, Meutya Hafid menjelaskan urgensi Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Diantaranya soal dasar hukum perlindungan data pribadi hingga masalah 'kebocoran' data pribadi.
"Ada beberapa dasar hukum perlindungan data pribadi. Ada di peraturan menteri (permen), peraturan pemerintah (PP), dan pada 32 undang-undang (UU) sektoral, sifatnya masih di bawah UU dan peraturan PDP masih tersebar di perundangan yang terpisah-pisah," kata Meutya dalam webinar yang diadakan Siberkreasi, Senin (10/8/2020).
Ia mengatakan permen dan PP memiliki hirarki yang berada di bawah UU. Aturan yang ada tersebut dianggap tak cukup melindungi warga negara. Apalagi saat ini masyarakat juga mulai menggunakan pendidikan untuk belanja hingga pendidikan.
"Masyarakat mulai memikirkan soal penjagaan data pribadi di dunia maya, perusahaan fintech makin menjamur. Sehingga kita makin memerlukan UU PDP," kata Meutya.
Tak hanya soal landasan hukum, ia juga mencatat adanya kebocoran data pribadi selama 2020 di Indonesia. Setidaknya terdapat 100 juta data pribadi bocor dn diperjualbelikan berbagai platform digital.
"Laporan ini baru melihat kasus 2020 tentang kebocoran data pasien COVID-19, data KPU, data konsumen Bhinneka, konsumen Bukalapak, dan konsumen Tokopedia," kata Meutya.
Lebih lanjut, ia menyebutkan dari lebih dari 180 negara di dunia, sebanyak 126 negara sudah memiliki legislasi primer soal PDP. Bahkan negara ASEAN seperyti Singapura, Filipina, Malaysia dan Thailand juga sudah memiliki UU tersebut.
"Indonesia tidak dapat hanya bergantung pada aturan soal PDP yang tertuang dalam bentuk permen Nomor 20 Tahun 2016 tentang PDP," kata Meutya.