ERA.id - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai langkah pemerintah mempromosikan RUU Cipta Kerja lewat artis dan influencer merupakan bagian dari strategi pemerintah. Hal ini dilakukan untuk menggalang dukungan publik terhadap RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang kini pembahasannya sedang 'dikebut' di DPR RI.
Menurutnya, jika pemerintah melakukan sosialisasi terhadap produk perundang-udangnnya itu sebenarnya tak ada yang salah. Hanya saja, menggunakan jasa artis dan influencer untuk mempromosikan RUU sapu jagat tersebut dinilai kurang tepat.
"Ini terlihat justru seperti upaya pembodohan publik karena yang dikampanyekan oleh influencer itu tak masuk pada tataran substansi RUU, sesuatu yang mestinya penting untuk diketahui publik karena bagaimanapun UU Cipta Kerja itu nantinya akan mengikat seluruh rakyat Indonesia," ujar Lucius saat dihubungi, Kamis (13/8/2020)
Bahkan, menurut Lucius, kampanye itu juga terlihat membodohi para artis dan influencer yang ikut andil di dalamnya, sebab sangat terlihat mayoritas tak paham dengan konteks serta isi RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Mereka, kata Lucius, menerima tawaran kampanye soal RUU tersebut dari pemerintah bukan untuk membangun pemahaman yang tepat untuk masyarakat, melainkan untuk memberikan legitimasi pada apa yang diinginkan oleh pemerintah dan mobilisasi dukungan tanpa pengetahuan memadai soal apa yang sedang ingin didukung.
Lucius menjelaskan, dalam pembahasan RUU mestinya pemerintah melibatkan publik, khususnya kelompok-kelompok yang berdampak langsung terhadap RUU tersebut. Tujuannya agar masyarakat bisa memberikan masukan yang lebih komprehensif terhadap produk RUU yang sedang dibahas.
"Dukungan dari publik harus dilakukan setelah pemerintah menempuh semua upaya agar draf RUU yang tengah mereka bahas diketahui publik dan dengan pengetahuan itu diharapkan akan ada masukan konstruktif dari publik untuk penyempurnaan naskah RUU," ujarnya.
Dengan menggunakan artis dan influencer, Lucius menilai pemerintah dan DPR RI sudah sangat kebelet ingin segera mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja tanpa mau membuka ruang untuk melakukan sosialisasi materi serta menerima masukan dari publik.
Hal tersebut tentu bertentangan dengan misi RUU yang ingin membuka akses lapangan kerja bagi warga negara. Dengan cara kampanye menggunakan influencer, pemerintah hanya ingin mendapatkan semacam legitimasi untuk apa yang mereka inginkan, bukan untuk apa yang dibutuhkan publik melalui RUU Cipta Kerja.
"Artinya RUU Cipta Kerja ini benar sesuai dengan dugaan selama ini bahwa RUU tersebut memang bukan untuk pertama-tama memperjuangkan kepentingan pekerja, tetapi lebih pada bagaimana membuka ruang investasi dengan pengaturan soal pekerja yang tidak memberatkan para investor itu. Dengan memakai influencer, pemerintah seperti ingin menegaskan adanya kepentingan investor yang memaksa mereka untuk segera menghadirkan RUU tersebut," paparnya.
Seperti diketehui, Panitia Kerja (Panja) RUU Omnibus Law Cipta Kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR RI masih terus membahas RUU sapu jagat tersebut walaupun DPR RI sedang ada di masa reses. Pemerintah sendiri juga mengaku telah menyelesaikan perdebatan mengenai klaster ketenagakerjaan yang sempat ditunda pembahasannya. Di satu sisi, program pemerintah yang konon katanya bisa menjadi jawaban atas persoalan ekonomi dalam negeri ini terus mendapat penolakan dari masyarakat termasuk kelompok buruh dan pekerja.
"Jadi pemerintah mencatat sudah selesai perdebatan-perdebatan itu (klaster ketenagakerjaan). Tinggal nanti bagaimana kita memperdebatkannya kembali di DPR, apakah DPR setuju apa yang sudah dibicarakan oleh pemerintah dan disimpulkan oleh pemerintah," ujar Menko Polhukam Mahfud MD, Sabtu (8/8/2020)
RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang ditujukan untuk mendorong investasi dan kemudahan berbisnis di Indonesia ini dikritik lantaran berpotensi mengurangi hak dasar pekerja seperti pemotongan gaji dan cuti, peran pemerintah pusat yang semakin kuat, dan berpotensi merusak ligkungan karena adanya izin kemudahan AMDAL dan bangunan.