ERA.id - Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) Hidayat Nur Wahid menilai ada hal yang tak lazim dari formalitas pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Khususnya saat tahapan di Badan Legislasi dan Sidang Paripurna.
Ia mencontohkan saat pengambilan keputusan tingkat I di Badan Legislasi (Baleg) dan tingkat II di Rapat Paripurna, draft utuh dan final RUU tersebut belum dibagikan ke semua fraksi. Tetapi anehnya semua fraksi di DPR sudah diminta untuk menyampaikan pendapatnya.
Lalu saat pengambilan keputusan di Baleg, ia menjelaskan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dan Fraksi Partai Demokrat (FPD) menolak untuk meneruskan rapat paripurna. Tapi tetap saja RUU itu diteruskan untuk dibawa ke forum pengambilan keputusan tingkat II yaitu Rapat Paripurna DPR RI tanpa disertai draft naskah RUU Cipta Kerja.
"Pembahasan RUU ini sangat terburu-buru, dan bagaimana mungkin fraksi 'dipaksa' untuk menyampaikan pendapat mininya, dan bahkan pendapat akhir di rapat Paripurna, tetapi draft secara utuh RUU Ciptaker itu tidak dibagikan terlebih dahulu," katanya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (8/10/2020).
Ia menilai pelaksanaan Sidang Paripurna juga begitu terburu-buru. Sehingga jadwal pengesahan RUU dalam rapat paripurna DPR pun mendadak dimajukan, dari tanggal 8 menjadi tanggal 5 September.
"Ini menimbulkan tanda tanya besar. Ada apa di balik ini semuanya?" katanya.
Menurutnya, dalam proses pembentukan RUU tersebut tidak memenuhi asas tranparansi dan kepatuhan pada aspek legal. Sehingga wajar sikap beberapa fraksi yang menolak untuk melanjutkan pembahasan RUU tersebut ke Rapat Paripurna.
HNW menuturkan konstitusi menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, dan kekuasaan legislasi berada di tangan DPR RI melalui fraksi-fraksi, alat kelengkapan dewan dan anggota-anggota DPR. Seharusnya setiap fraksi yang merupakan elemen penting di dalam DPR diberikan akses seluas-luasnya dalam pembahasan suatu RUU.
"Termasuk menerima draft utuh RUU yang akan dibahas atau akan diputuskan, sebelum diminta menyiapkan dan menyampaikan pendapat mini maupun pendapat akhir. Dan itu yang sudah menjadi konvensi di DPR," katanya.
HNW menambahkan kebiasaan ketatanegaran atau konvensi dalam penyusunan rancangan undang-undang adalah setiap fraksi dikirimi draft naskah RUU secara utuh yang sudah disepakati dan selesai dibahas. Sehingga, pendapat mini apalagi pendapat akhir yang akan disampaikan pada pembicaraan akhir tingkat pertama (sebelum dibawa ke rapat paripurna) maupun pada tingkat akhirnya dalam rapat Paripurna DPR, dapat dilakukan secara benar, maksimal dan komprehensif.
"Selain hukum yang tertulis, kebiasaan atau konvensi ketatanegaraan ini juga seharusnya bisa menjadi pedoman dalam pembahasan/pwmgambilan keputusan terhadap Omnibus RUU Ciptaker. Apalagi, RUU ini memiliki dampak kepada lebih dari 78 undang-undang yang berlaku saat ini," ujarnya.
Bahkan, lanjutnya, kebiasaan tersebut juga sejalan dengan Pasal 163 huruf c dan e Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa pada pengambilan keputusan tingkat I terdapat ada acara pembacaan naskah akhir rancangan undang-undang dan penandatanganan naskah rancangan undang-undang.