ERA.id - Anggota DPR RI Fraksi PKS, Bukhori Yusuf melayangkan kritik keras atas keputusan pemerintah Indonesia membuka pelayanan calling visa bagi warga negara Israel. Ia menilai kebijakan tersebut mengabaikan amanat konstitusi.
"Kebijakan tersebut adalah bentuk pengkhianatan pemerintah terhadap Pembukaan UUD 1945," tegas Bukhori dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (2/12/2020).
Ia menyebutkan konstitusi menegaskan supaya penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Baginya mirisnya, keputusan tersebut tidak merepresentasikan aspirasi dan kehendak tulus dari masyarakat Indonesia.
"Khususnya umat Islam, yang sejak lama konsisten memihak pada kemerdekaan Palestina," tegas Bukhori.
Anggota Komisi VIII DPR ini menilai kebijakan tersebut kontradiktif dengan komitmen Presiden Jokowi yang secara tegas mendukung kemerdekaan Palestina. Sikap tegas tersebut disampaikannya saat menyampaikan pidato untuk pertama kalinya di Sidang Majelis Umum ke-75 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 23 September 2020 silam.
"Dalam pidatonya, Presiden mengungkapkan bahwa Indonesia terus konsisten memberikan dukungan bagi Palestina untuk mendapatkan hak-haknya," katanya.
"Pertanyaannya adalah, apakah Presiden mengetahui tindakan anak buahnya (red, Kemenkum HAM) tersebut? Saya justru curiga bahwa tindakan ini dilakukan sepihak tanpa sepengetahuan Presiden bila mengacu pada sikap dukungan yang telah Presiden tunjukan selama ini terhadap isu Palestina,"
Sebaliknya, ia menambahkan jika keputusan tersebut nyatanya atas restu dan sepengetahuan Presiden, maka sikap Presiden Jokowi bertentangan dengan Founding Father, Bung Karno, yang memiliki komitmen kuat atas kemerdekaan Palestina. Sebab, konsekuensi politik dari membuka hubungan dengan Israel berarti mengakui eksistensi negara tersebut.
"Artinya, pemerintah mengakui penjajahan Israel kepada Palestina yang sampai saat ini belum merdeka sepenuhnya," ujar mantan Anggota Komisi III tersebut.
Apalagi, sambungnya, sikap pemerintah tersebut patut dicurigai sebagai kompensasi atas rencana investasi Uni Emirat Arab (UEA) ke Indonesia. Pasalnya, UEA adalah negara pertama di kawasan Timur Tengah yang akhirnya memutuskan untuk normalisasi hubungan dengan Israel di abad 20 ini.
Ketua DPP PKS ini mendesak supaya pemerintah segera mencabut Israel dari daftar negara yang menerima pelayanan calling visa tersebut. Hal tersebut perlu dilakukan dalam upaya menjaga wibawa dan integritas pemerintah dalam percaturan politik global mengingat Indonesia sejak lama memiliki garis politik luar negeri yang tegas terhadap isu konflik Palestina-Israel.
Selain itu, ia menambahkan bahwa Indonesia tidak akan mengalami kerugian dari segi ekonomi, apalagi dikatakan melanggar HAM dengan mengecualikan negara Israel dari daftar tersebut. Pasalnya, Israel tidak termasuk dalam jajaran negara investor terbesar di Indonesia dan negara zionis tersebut terbukti memiliki catatan buruk tentang penegakan nilai HAM.
Melansir data dari BKPM pada tahun 2019, Singapura, Tiongkok, dan Jepang menempati posisi tiga teratas sebagai 10 negara investor terbesar di Indonesia. Sementara, tidak ada satupun negara dari kawasan Timur Tengah yang tercantum di dalam daftar negara investor, termasuk Israel.
"Pada dasarnya saya tidak keberatan dengan kebijakan calling visa sepanjang mengecualikan Israel dari daftar tersebut. Dengan tetap membuka calling visa, saya akui akan membuka peluang investasi lebih luas. Namun, saya mengingatkan supaya pemerintah lebih cermat dalam menentukan negara prioritas dan tidak mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yakni kepercayaan rakyat Indonesia dan umat muslim dunia, terhadap komitmen Indonesia untuk menjadi bangsa yang terdepan dalam membela nilai perikemanusiaan dan perikeadilan bagi bangsa Palestina," pungkasnya.