ERA.id - Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) disebut meminta jatah posisi komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terkait fatwa halal vaksin AstraZeneca.
Dalam laporan Majalah Tempo edisi 20 Maret 2021 disebutkan, permintaan itu muncul di tengah upaya pemerintah mempercepat keluarnya fatwa halal vaksin AstraZeneca.
Disebutkan, ada pengurus MUI yang meminta pemerintah mempertimbangkan pembagian posisi komisaris di perusahaan BUMN untuk petinggi lembaga itu.
Akan tetapi, permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh Kementerian BUMN.
“Sumber yang sama menyebutkan pengurus MUI meminta nantinya dilibatkan dalam sosialisasi vaksin AstraZeneca di berbagai daerah,” tulis laporan tersebut.
Akan tetapi, informasi tersebut mendapat bantahan dari anggota Komisi Fatwa MUI, Aminuddin Yakub.
Jika memang benar ada, belum tentu pula permintaan itu terkait dengan kapasitasnya sebagai pengurus MUI.
“Banyak pengurus MUI juga memegang jabatan di organisasi kemasyarakatan. Tapi, kalau benar terkait dengan MUI, itu melanggar kode etik,” ujar Aminuddin Yakub dalam laporan tersebut.
Sementara itu, Kementerian BUMN memastikan tidak ada permintaan posisi komisaris bagi pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hal ini ditegaskan Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga merespons isu yang berkembang soal permintaan jabatan dari MUI.
“Sehubungan dengan adanya informasi yang mengatakan bahwa MUI meminta posisi komisaris BUMN, perlu kami sampaikan bahwa kami di Kementerian BUMN sampai hari ini tidak pernah ada permintaan komisaris untuk MUI ataupun pejabat-pejabat di MUI,” tegas Arya Sinulingga dalam keterangan kepada redaksi, Minggu (21/3).
Isu tersebut mencuat usai izin MUI soal penggunaan vaksin AstraZeneca meski dinyatakan haram.
“Sama lagi tidak ada hubungannya (dengan AstraZeneca). Kami juga tidak ada keterkaitan dengan hal tersebut,” sambungnya.
Belum lama ini, MUI memperbolehkan penggunaan vaksin AstraZeneca. Meski dinyatakan haram karena mengandung babi, penggunaan vaksin dianggap dalam kondisi mendesak. Hal ini disebut sebagai darurat syar’i.
Hal lain yang mendasari izin MUI adalah adanya keterangan ahli tentang bahaya risiko fatal jika tidak segera dilakukan vaksinasi Covid-19, serta ketersediaan vaksin yang halal dan suci tidak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi.