ERA.id - Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito meminta semua pihak bijak melihat data tingkat positif atau positivity rate kasus COVID-19 agar tidak salah menafsirkan keadaan.
"Rentang waktu 14 hari adalah yang paling efektif dalam penentuan langkah intervensi kebijakan selanjutnya, karena rentang yang terlalu singkat atau terlalu lama, seperti harian atau dua bulanan dapat mengaburkan situasi yang sebenarnya terjadi di lapangan," kata Wiku dalam pernyataan resmi Satgas COVID-19 di Jakarta dikutip dari Antara, Kamis (24/6/2021).
Berdasarkan data per pekan ke-3 Juni 2021, tingkat positif di Indonesia mencapai angka 14,64 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan standar yang dipatok WHO, yaitu 5 persen.
Jika berkaca pada data sejak awal pandemi, tingkat positif di Indonesia pernah mencapai puncak paling tinggi, sebesar 28,25 persen, di dua pekan pertama Januari 2021. Karena itu, positivity rate sekarang yang sudah mendekati 15 persen ini harus diwaspadai dan semaksimal mungkin dikendalikan.
Wiku menjelaskan karena positivity rate ditentukan dari jumlah orang yang diperiksa, maka ada beberapa kondisi yang mempengaruhi akurasinya. Salah satunya terbatasnya sumber daya dan akses pada fasilitas tes.
Hal itu, kata Wiku, karena tes diprioritaskan untuk yang sudah memiliki gejala atau kontak erat. Dengan begitu, bukan tidak mungkin hasil tes cenderung menunjukkan positif COVID-19, karena sudah dikerucutkan pada kelompok orang yang memang memiliki gejala atau kontak erat.
"Di Indonesia, pada umumnya orang sehat tidak menjalani tes COVID-19, dan hal ini dapat mempengaruhi angka positivity rate menjadi tinggi," ujar Wiku.
Terkait hal tersebut, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/446/2021 yang menetapkan penggunaan tes antigen sebagai salah satu metode dalam pemeriksaan COVID-19. Melalui Kepmenkes itu diharapkan semakin banyak masyarakat yang mendapatkan akses uji COVID-19.
Namun, katanya, terdapat beberapa situasi yang dapat menurunkan efektivitas tes antigen, seperti penggunaan antigen yang tidak dikonfirmasi dengan tes PCR pada orang dengan kemungkinan terinfeksi atau kontak erat. Juga, penggunaan antigen yang tidak sesuai mutu standar WHO dan pengambilan sampel swab yang tidak sesuai prosedur.
Berdasar data, pengikutsertaan hasil tes antigen dalam pemeriksaan nasional yang dilakukan sejak pekan ke-4 Februari menunjukkan peningkatan tes antigen yang sedikit lebih tinggi dari pada PCR. Namun, jumlah orang yang diperiksa oleh PCR tidak berkurang jumlahnya.
"Menyikapi keadaan ini, saya meminta kepada seluruh pemerintah daerah untuk memastikan penggunaan antigen yang tetap pada fungsinya dan dengan metode yang tepat. Apabila pada kasus yang perlu konfirmasi PCR, maka harus diteruskan dengan tes PCR agar hasilnya lebih akurat," demikian Wiku.