ERA.id - Andreau Misanta Pribadi dan Safri selaku dua orang staf khusus mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo divonis 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan karena terbukti menerima suap bersama-sama bekas atasannya.
"Mengadili menyatakan terdakwa 1 Andreau Misanta Pribadi dan terdakwa 2 Safri terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dakwaan alternatif pertama. Menjatuhkan pidana kepada para terdakwa dengan pidana penjara masing-masing selama 4 tahun dan 6 bulan dan denda sejumlah Rp300 juta dengan ketentuan bila denda tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 6 bulan," kata Ketua Majelis Hakim Albertus Usada di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dikutip dari Antara, Kamis (15/7/2021).
Vonis tersebut sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang meminta agar Edhy Prabowo divonis 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan.
Andreau dan Safri dinyatakan terbukti melakukan Pasal 12 huruf a UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
"Keadaan memberatkan, perbuatan para terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, para terdakwa yaitu Andreau Misanta Pribadi dan Safri selaku staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan RI tidak memberikan teladan dalam melakukan tugasnya dalam membantu saksi Edhy Prabowo selaku menteri Kelautan dan Perikanan," tambah hakim Albertus.
Sementara hal yang meringankan para terdakwa bersikap sopan di persidangan serta belum pernah dihukum.
"Seluruh aset terdakwa 1 Andreau Misanta Pribadi telah disita untuk pemulihan hasil korupsi sedangkan terdakwa 2 Safri telah mengembalikan uang suap yang diterimanya," ungkap hakim Albertus.
Dalam perkara ini, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dinyatakan terbukti menerima suap senilai 77 ribu dolar AS dan Rp24.625.587.250 bersama-sama dengan Andreau Misanta Pribadi dan Safri (staf khusus Edhy Prabowo), Amiril Mukminin (sekretaris pribadi Edhy), Ainul Faqih (sekretaris pribadi Iis Rosita Dewi yaitu istri Edhy Prabowo) dan Siswadhi Pranoto Loe (pemilik PT Aero Cipta Kargo) dari Direktur PT Duta Putra Perkasa Pratama Suharjito dan perusahaan pengekspor BBL lain.
Rincian penerimaan suap adalah Edhy Prabowo menerima uang sejumlah 77 ribu dolar AS dari Suharjito dan menerima Rp24.625.587.250 dari pengusaha lainnya.
Selanjutnya Safri menerima uang 26 ribu dolar AS, Siswadhi Pranoto Loe menerima totalnya Rp13.199.689.193, Andreau Misanta Pribadi menerima Rp10.731.932.722 dan Amiril Mukminin menerima Rp2.369.090.000
Edhy selaku Menteri KP ingin memberikan izin pengelolaan dan budidaya lobster dan ekspor BBL dengan menerbitkan Peraturan Menteri KKP No 12/PERMEN-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp) dan Rajungan (Portunus spp) di wilayah NKRI pada 4 Mei 2020.
Edhy Prabowo pada 14 Mei 2020 lalu menerbitkan keputusan menteri tentang pembentukan Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster (Panulirus spp) dengan menunjuk Andreau Misanta selaku Ketua dan Safri selaku Wakil Ketua. Tugas tim itu adalah memeriksa kelengkapan dan validitas dokumen yang diajukan oleh perusahaan calon pengekspor BBL.
Pada 10 Juni 2020, Amiril Mukminin dan Andreau Misanta meminta Deden untuk memasukkan nama Nursan dan Amir yaitu teman dekat dan representasi Edhy ke dalam kepengurusan PT ACK dan membuat perubahan saham yaitu Nursan yang kemudian diganti posisinya oleh Achmad Bahtiar selaku komisaris dan mendapat saham 41,65 persen; Amri selaku Direktur Utama mendapat 40,65 persen; Yudi Surya Atmaja selaku representasi PT PLI mendapat 16,7 persen dan PT Dentras Interkargo Perkasa mendapat 1 persen.
Padahal kenyataanya Nursan, Achmad Bachtiar dan Amri hanya dipinjam namanya sebagai pengurus perusahaan (nominee) serta tidak memiliki saham di PT ACK.
Selanjutnya ditetapkan bahwa biaya ekspor BBL Rp1.800 per ekor bagi seluruh perusahaan pemohon izin budi daya dan ekspor BBL dengan pembagian PT PLI mendapat biaya operasional pengiriman sebesar Rp350 dan PT ACK mendapat Rp1.450 per ekor BBL.
Dalam persidangan terungkap fakta bahwa seluruh dokumen permohonan izin budidaya dan ekspor BBL masuk ke Tim Uji Tuntas dulu sebelum diteruskan kepada Dirjen Perikanan Budidaya dan Dirjen Perikanan Tangkap.
Bahkan bagi pemohon izin yang belum memberikan kejelasan "fee" maka permohonannya tidak akan diproses (ditahan) oleh Tim Uji Tuntas.
Direktur PT DPPP Suharjito memberikan uang "commitment fee" sejumlah 77 ribu dolar AS untuk Edhy Prabowo melalui Safri dan Amiril Mukminin selanjutnya setelah uang diberikan staf uji Kementerian Kelautan dan Perikanan Dalendra Kardina segera memproses permohonan izin budidaya dan ijin ekspor BBL PT DPPP.
Sejak Juni-November 2020, PT ACK mendapatkan keuntungan bersih sebesar Rp38.518.300.187 baik dari PT DPPP dan perusahaan-perusahaan ekportir BBL lainnnya.
Kemudian pada Agustus-November 2020 sampai dengan bulan November 2020, bagian Finance PT ACK Nini membagikan keuntungan yang berasal dari pembayaran jasa kargo BBL secara bertahap melalui transfer kepada pemilik saham PT. ACK seolah-olah sebagai deviden sejumlah Rp24.625.587.250 yang penggunaannya melalui Amiril Mukminin, Ainul Faqih dan Andreau Misanta Pribadi.
Terkait perkara ini, Edhy Prabowo divonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan; Amiril Mukminin divonis 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan; Siswadhi Pranoto Loe divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan dan Ainul Faqih divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 4 bulan.
Terhadap perkara tersebut keenam terdakwa dan JPU KPK menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.