ERA.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memahami suasana masyarakat di tengah pandemi COVID-19, namun tuntutan terhadap mantan Menteri Sosial Juliari Batubara harus tetap sesuai dengan fakta persidangan, kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri.
"Bagi KPK, tuntutan terhadap suatu perkara harus betul-betul berlandaskan fakta, analisis, dan pertimbangan hukumnya, karena penegakan hukum harus dilakukan dengan cara yang benar menurut hukum, tapi KPK memahami suasana kebatinan masyarakat dalam perkara yang menyangkut hak sosial ini," kata Ali Fikri di Jakarta, Jumat.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut Menteri Sosial 2019-2020 Juliari Batubara agar divonis 11 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp14.597.450.000 subsider 2 tahun penjara dan pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun.
Tuntutan itu diajukan karena Juliari dinilai terbukti menerima suap Rp32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bantuan sosial sembako COVID-19 di wilayah Jabodetabek.
"Namun, kami berharap hal tersebut tidak menjadi alasan untuk beropini yang kontraproduktif dalam upaya penegakan hukum karena kita tentu harus patuh dan taat terhadap norma-norma hukum dalam upaya pemberantasan korupsi," ungkap Ali.
Perkara korupsi bansos yang melibatkan mantan Juliari Peter Batubara, menurut Ali, bermula dari kegiatan Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK.
"Sejauh ini, kami pastikan bahwa penerapan pasal tindak pidana korupsi pada seluruh hasil tangkap tangan KPK adalah terkait penyuapan, hal tersebut mendasar pada hasil penyelidikannya," tambah Ali.
Ali menyebut bahwa OTT adalah produk dari penyelidikan tertutup, bukan "case building" melalui penyelidikan terbuka dengan memanggil pihak-pihak terkait untuk dimintai keterangan dan klarifikasinya oleh tim penyelidik.
"Sekalipun pada kesempatan berikutnya hasil tangkap tangan KPK dapat dikembangkan lebih lanjut untuk penerapan pasal lain, seperti pasal 2 atau 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana yang saat ini sedang KPK lakukan dalam perkara bansos," ungkap Ali.
Sebelumnya mantan Jubir KPK Febri Diansyah menilai tuntutan 11 tahun penjara untuk Juliari Batubara tidak dapat mengobati penderitaan masyarakat karena perbuatan korupsi tersebut.
"Di tengah kondisi pandemi COVID-19 ini, tuntutan untuk terdakwa korupsi bansos COVID-19 hanya 11 tahun saya rasa tidak bisa mengobati penderitaan masyarakat yang menjadi korban korupsi bansos, apalagi ancaman hukuman maksimal adalah 20 tahun atau seumur hidup jadi masih jauh sekali dari ancaman maksimal," kata Febri pada Kamis (29/7/2021).
Selain itu, KPK juga punya "PR" untuk mengusut pihak lain yang terlibat dan mendapatkan keuntungan di atas penderitaan masyarakat sebagai korban korupsi bansos ini.
Febri menyebut penanganan kasus tersebut memunculkan sejumlah kontroversi.
"Mulai dari nama-nama politikus yang muncul tapi tidak jelas proses lanjutannya sampai pada para penyidik bansos yang disingkirkan menggunakan alat tes wawasan kebangsaan (TWK) yang bermasalah secara hukum," ungkap Febri.
Dalam surat tuntutannya, JPU KPK menyebut Juliari membagi jumlah alokasi kuota 1,9 juta paket bansos sembako menjadi beberapa klaster, yaitu kuota 1 juta paket untuk kelompok grup Herman Heri/Ivo Wongkaren, kuota 400 ribu paket untuk grup Ihsan Yunus/Iman Ikram/Yogasmara, kuota 300 ribu paket untuk kepentingan Bina Lingkungan, dan kuota 200 ribu paket untuk Juliari sendiri.
Herman Hery dan Ihsan Yunus adalah politikus PDI Perjuangan, partai yang menaungi Juliari Batubara. Herman Hery saat ini menjadi Ketua Komisi III DPR yang merupakan mitra KPK karena mengurus masalah hukum.
Sedangkah Ihsan Yunus tercatat sempat menjadi Wakil Ketua Komisi VIII DPR yang bermitra dengan Kementerian Sosial. Saat kasus Juliari mencuat, Fraksi PDIP memindahkan Ihsan Yunus ke Komisi II DPR RI.
Pada Agustus 2020, Ketua KPK Firli Bahuri sempat mengatakan bahwa hukuman mati layak menjadi hukuman pelaku koruptor bansos.
"Kondisi pandemi COVID-19 tentunya masuk atau memenuhi unsur 'dalam keadaan tertentu 'sesuai ayat 2 Pasal 2 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga hukuman mati layak menjadi hukuman bagi pelaku koruptor bansos," kata Firli.
Firli merasa miris dan sangat kejam apabila bansos di tengah pandemi masih dikorupsi untuk kepentingan sendiri.
"Orang yang berani korupsi jelas tidak beriman. Ketamakan dan nafsu membutakan mata, menutup rapat daun telinga dari pilu nyaring jeritan pedih saudaranya," ungkap Firli.