ERA.id - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menilai tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan terkait rencana amendemen terbatas UUD NRI 1945 yang bertujuan menghadirkan kembali Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Dia menegaskan bahwa PPHN sangat mendasar dan mendesak karena diperlukan sebagai "bintang" panduan arah dan strategi pembangunan nasional.
"Selain itu PPHN untuk memastikan bahwa proses pembangunan nasional merupakan manifestasi dan implementasi dari ideologi negara dan falsafah bangsa, yaitu Pancasila," kata Bambang Soesatyo atau Bamsoet dalam keterangannya di Jakarta dikutip dari Antara, Jumat (17/9/2021).
Hal itu dikatakan Bamsoet saat Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Universitas Pendidikan Nasional Bali secara luring dan daring, Jumat. Bamsoet juga menegaskan, tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan atas rencana amendemen terbatas untuk menghadirkan kembali PPHN.
Dia juga menilai kecil kemungkinan ada "penumpang gelap" untuk mengubah Pasal 7 UUD 1945 terkait periodesasi masa jabatan Presiden. Hal itu menurut dia karena mekanismenya diatur ketat di dalam Pasal 37 UUD NRI 1945, terutama saat ini semua partai politik telah bersiap menghadapi Pemilu 2024.
"Sementara keberadaan PPHN mengisyaratkan pesan penting, bahwa pembangunan nasional diselenggarakan dalam kerangka menjaga dan memperkuat ideologi negara agar tetap menjadi karakter dan jiwa bangsa," ujarnya.
Menurut dia, ke depannya berbagai tantangan kebangsaan akan semakin kompleks dan dinamis sehingga perlu dibangun "benteng" ideologi dan penguatan karakter bangsa melalui pembangunan wawasan kebangsaan.
Bamsoet menjelaskan pasca-perubahan UUD NRI 1945, fungsi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) digantikan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005–2025.
Selanjutnya, penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) disusun berlandaskan visi dan misi calon presiden dan wakil presiden terpilih.
"Dalam implementasinya, berbagai peraturan perundang-undangan tersebut mempunyai kecenderungan yang bersifat eksekutif sentris dan menyisakan beragam potensi persoalan," ucap dia.
Menurut dia, beragam potensi persoalan tersebut antara lain implementasi RPJPN secara tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan dan ketidakselarasan antara sistem perencanaan pembangunan nasional serta sistem perencanaan pembangunan daerah.
Hal tersebut menurut dia berpotensi menghasilkan program pembangunan yang tidak saling mendukung, bahkan mungkin saling menegasikan antara satu dengan yang lain.
"Dengan adanya ketidakpastian kesinambungan kebijakan dan program pembangunan nasional, pada akhirnya mendorong lahirnya wacana publik yang membawa arus balik kesadaran untuk menghidupkan kembali haluan negara 'model GBHN' atau hadirnya PPHN," ujarnya.
Dia menilai gagasan untuk mereformulasikan sistem perencanaan pembangunan nasional telah direkomendasikan MPR periode 2009-2014 dan ditindaklanjuti oleh MPR periode 2014-2019 dengan memunculkan gagasan melakukan perubahan terbatas terhadap UUD NRI 1945 guna mengembalikan wewenang MPR menetapkan pedoman pembangunan nasional atau PPHN.
Bamsoet menilai, untuk menghadirkan PPHN diperlukan amandemen terbatas UUD NRI 1945, hanya akan dilakukan pada dua pasal yaitu Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN.
Dan Pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan Presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN.
"Secara substansi, PPHN hanya akan memuat kebijakan strategis yang akan menjadi rujukan atau arahan bagi penyusunan haluan pembangunan oleh pemerintah. PPHN harus dapat menggambarkan wajah Indonesia untuk 25 tahun, 50 tahun, atau bahkan 100 tahun yang akan datang," tuturnya.
Dia menilai, PPHN juga harus mampu menjawab kebutuhan Indonesia di era milenial serta mampu memberikan arahan untuk menjawab berbagai tantangan dan dinamika pembangunan yang bersifat domestik maupun global.