Perhimpunan Petani dan Nelayan Kritik Kebijakan Impor 'Gila-gilaan': Kita Tak Ingin Presiden Lakukan Kebohongan Publik

| 20 Sep 2021 11:40
Perhimpunan Petani dan Nelayan Kritik Kebijakan Impor 'Gila-gilaan': Kita Tak Ingin Presiden Lakukan Kebohongan Publik
Presiden Joko Widodo berbincang dengan Direktur Utama Bulog Budi Waseso saat meninjau stok beras di Pergudangan Perum Bulog, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu (21/7/2021). (Foto: ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden/aa)

ERA.id - Ketua umum Perhimpunan Petani dan Nelayan seluruh Indonesia (PPNSI) Slamet mengkritisi sejumlah capaian pemerintah dalam bidang pertanian dan perikanan. Ia menyebutkan masih banyak hal yang harus dibenahi agar sektor pertanian dan perikanan sehingga dapat memberikan nilai positif terhadap kemakmuran petani dan nelayan di Indonesia.

Menurutnya kebijakan impor gila-gilan yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti impor beras, hortikultura, gula dan garam sangat tidak berpihak pada petani dan nelayan.

"Seperti halnya pada kebutuhan pokok seperti beras data BPS tahun 2021 menunjukkan tahun 2018 Indonesia mengimpor 2,2 Jt ton (1 Miliar US$), tahun 2019 impor 444 Rb ton (184 Jt US$), tahun 2020 impor 356 Rb ton (195 Jt US$), tahun 2021 impor 242 Rb ton (110 Jt US$). Padahal BULOG menyatakan stok beras di gudang BULOG cukup," kata Slamet dalam keterangannya, Senin (20/9/2021).

Sementara itu, Ketua PPNSI yang baru terpilih dalam Musyawarah nasional V PPNSI  menyayangkan komentar Presiden Jokowi soal sudah 2 tahun terakhir Indonesia tidak pernah mengimpor beras. Padahal faktanya impor beras hampir setiap tahun terjadi bahkan saat presiden menyatakan demikian, impor beras tahun 2021 sudah mencapai 242 ribu ton dengan nilai 110 juta USD.

"Kita tidak ingin Presiden melakukan sebuah kebohongan publik karena sejatinya impor disaat stok beras cukup sama saja melakukan pengkhianatan kepada para petani lokal," kata Slamet

Selain itu ia juga mengkritisi belum maksimalnya pemerintah dalam menjaga Nilai Tukar Petani (NTP) yang selama presiden Jokowi berkuasa belum pernah melebihi NTP 104 atau hanya rata-rata 101.89 selama 7 tahun terakhir.

"Artinya kesejahteraan petani selama 7 tahun terakhir masih berada pada titik yang sama," katanya.

Data NTP terbaru pada bulan Juli 2021 turun  0,11 persen dari NTP di bulan Juni 2021 menjadi 103,48, sementara Inflasi bulan Juli 2021 mengalami kenaikan 0,08 persen yang artinya petani mendapatkan dua pukulan secara bersamaan di mana di saat kesejahteraannya menurun daya belinya pun mengalami penurunan.

Lalu bagaimana dengan komoditas yang lain? Slamet mencatat Pada akhir 2020 data BPS menunjukkan terjadi peningkatan signifikan impor kopi, teh dan rempah-rempah sebesar 55 persen dibanding bulan sebelumnya. Ia pun mempertanyakan mengapa hal tersebut bisa terjadi Padahal dahulu Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun karena kekayaan kopi, teh dan rempah-rempahnya.

Menurut Slamet berbagai kendala masih banyak ditemukan seperti kendala konektivitas infrastruktur yang belum terpadu sehingga menyebabkan supply barang antar daerah masih sangat terbatas. Alhasil masih banyak komoditas-komoditas yang bisa dihasilkan secara mandiri namun untuk penyediaan bagi bahan baku industri lebih banyak dipenuhi oleh komoditas impor.

Pada kuartal I tahun 2021 saja impor produk perikanan mencapai 42.079 ton, dengan nilai US$65,34 juta atau sekitar Rp942,2 miliar (kurs Rp14.420 per dolar AS) pada periode Januari-Februari 2021. Impor didominasi oleh komoditas tepung ikan dengan volume impor sebesar 24.465 ton atau setara 58,1 persen dari total ekspor. Nilainya sebesar US$16,94 juta. Untuk makarel, selama dua bulan terakhir sebanyak 5.844 ton diimpor dengan nilai transaksi sebesar US$8,07 juta.

Lalu, 2.300 ton tuna-cakalang . Namun, di sisi lain untuk mengangkut ikan hasil produksi dari wilayah timur Indonesia juga terkendala sarana dan prasarana logistik yang terbatas sehingga biaya operasional akan jauh lebih mahal ketimbang dengan mendatangkan ikan secara import. diimpor dengan nilai sebesar US$3,65 juta. Secara sederhana konektivitas logistik akan menjadi sangat penting ketika stok perikanan yang tinggi di wilayah timur Indonesia (lumbung ikan nasional) menjadi tidak bermanfaat karena keterbatasan pasar.

Ia mencontohkan bahwa harga ikan tongkol local juga jauh lebih mahal ketimbang ikan tongkol impor, menurut data yang diperoleh dari harga.web.id komoditas ikan tongkol perkilogramnya mencapai 34.000 hingga 35.000 rupiah per kilogramnya sedangkan untuk ikan impor hanya berada di kisaran 22.000 rupiah per kg. Hal itu terjadi karena untuk menyangka ikan tongkol dari pusat-pusat penghasil ikan masih berbiaya mahal karena terkendala infrastruktur logistic.

Pemerintah punya PR besar terkait infrastruktur logis khususnya infrastruktur logistik kemaritiman. Jangan sampai Visi Kedaulatan pangan dan visi maritime pemerintah hanya tinggal jargon semata. Begitupun juga dengan impor garam tahun 2021 pemerintah berencana melakukan impor garam sebesar 3,07 juta ton yang sampai pada semester pertama tahun ini sudah terealisasi kurang lebih 35,1 persen atau 1,08 juta ton.

"Jika tidak ada upaya pemerintah untuk mengurangi impor dengan memanfaatkan produksi perikanan dan garam local maka akan sulit untuk mengubah keunggulan komparatif sektor perikanan menjadi keunggulan kompetitif yang dapat memberikan dampak sebesar-besarnya bagi kemajuan petani dan nelayan di Indonesia," katanya.

Rekomendasi