ERA.id -Pemimpin Partai Komunis Indonesia, Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit, kerap diidentikkan sebagai orang ateis, tak beragama. Padahal, kenyataannya berbeda.
Hal itu diungkap oleh putranya, Ilham Aidit. Saat kecil, Aidit sangat peduli dengan genteng masjid yang pecah atau rusak di Tanjung Pandan, Belitung.
"Kecilnya dia itu adalah orang yang sangat concern sama genteng masjid yang pecah, yang rusak dan sebagainya. Itu sangat dikenang oleh orang-orang di sana," kata Ilham saat berbincang dengan ERA.id di rumahnya di kawasan Antapani, Bandung, Jawa Barat.
Saat memasuki usia remaja, Aidit jadi sosok yang sangat peduli dengan masjid. Bahkan ia juga menjadi muazin atau orang yang mengumandangkan azan di masjid.
"Aidit sendiri di usia remajanya itu adalah seorang muazin yang baik sekali, dan orang yang sangat peduli dengan masjid," katanya.
Saat usia 16 tahun, Aidit lalu merantau ke Jakarta. Ia berguru pada Ali Sastroaminjoyo dan HOS Cokroaminoto. Hingga akhirnya ia tertarik dengan komunisme dan memilih menjadi komunis.
"Gini ya cara melihatnya menurut saya, enggak ada dalam AD/ART partai yang menyebutkan melarang anggotanya untuk beragama," kata Ilham.
Makanya, Ilham berani menyebut kalau ayah dan ibunya itu muslim. "(Aidit) muslim. Dan dia mengerti bener agama Islam itu mengerti benar. Istrinya seorang muslim bener. Ketika kita berpuasa, saya masih ingat, kita puasa semuanya," katanya.
Ia pun meluruskan anggapan orang selama ini, kalau menganut paham komunisme, tak ada larangan untuk beragama. Hanya, komunisme, melihat agama sebagai candu.
Teori ekonomi milik Karl Marx menjelaskan, bagaimana kerusakan tatanan masyarakat karena kapital. Akibatnya juga muncul kemiskinan.
"Mereka percaya dengan teori itu, dan tidak percaya bahwa agama bisa menyelesaikan itu. Membentuk dunia baru itu, menurut Marxisme adalah harus dengan cara teori ekonomi seperti itu. Jadi Marxisme itu sepenuhnya bicara tentang teori ekonomi," katanya.