MA Cabut Aturan Ketat Remisi Napi Koruptor, ICW: Semakin Mengkhawatirkan

| 30 Oct 2021 23:00
MA Cabut Aturan Ketat Remisi Napi Koruptor, ICW: Semakin Mengkhawatirkan
Ilustrasi penjara (ANTARA)

ERA.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, putusan Mahkamah Agung (MA) yang mencabut  Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, teror, dan narkoba, sangat mengkhawatirkan.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, pertimbangan majelis hakim untuk mencabut dan membatalkan aturan itu sejalan dengan niat buruk pemerintah melonggarkan pemberian remisi kepada para narapidana kasus korupsi.

"Putusan MA semakin mengkhawatirkan. Terlebih pertimbangan-pertimbangan majelis hakim juga sejalan dengan niat buruk pemerintah untuk memperlonggar pemberian remisi kepada koruptor," kata Kurnia dalam keterangan tertulis, Sabtu (30/10/2021).

ICW, kata Kurnia, mencatat tiga poin besar yang penting untuk diperhatikan terkait putusan pembatalan PP Nomor 9 Tahun 2012 itu.

Pertama, ICW menganggap Mahkamah Agung (MA) inkosisten terhadap putusannya sendiri karena putusan Nomor 51 P/HUM/2013 dan Nomor 63 P/HUM/2015 sudah secara tegas menyatakan perbedaan syarat pemberian remisi merupakan konsekuensi logis terhadap adanya perbedaan karakter jenis kejahatan, sifat bahayanya, dan dampak kejahatan yang dilakukan oleh seorang terpidana.

"Kedua pandangan hakim MA yang menilai bahwa pengetatan pemberian syarat remisi tidak sesuai dengan model restorative justice juga keliru," ungkap Kurnia.

Menurutnya, pemaknaan model restorative justice adalah pemberian remisi bukan syarat pengetatannya. "Secara konsep, pemberian remisi sudah menjadi hak setiap terpidana dan telah dijamin oleh UU Pemasyarakatan," kata Kurnia.

"Sedangkan syarat pemberian remisi yang diperketat menitikberatkan pada dettern effect bagi terpidana dengan jenis kejahatan khusus, salah satunya korupsi. Dengan kata lain, MA sedang berupaya menyamakan kejahatan korupsi dengan jenis kejahatan umum lainnya," imbuhnya.

Poin ketiga, ICW menganggap Mahkamah Agung keliru melihat persoalan kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan. Menurut Kurnia, masalah ini bukan karena syarat pemberian remisi, tapi terkait regulasi dalam bentuk perundangan yang salah satunya adalah terkait narkotika.

"Berdasarkan data dari sistem database pemasyarakatan per Maret tahun 2020, jumlah terpidana korupsi sebenarnya hanya 0,7 persen (1.906 orang). Angka tersebut berbanding jauh dengan total keseluruhan warga binaan yang mencapai 270.445 orang. Melihat data tersebut, pertimbangan majelis hakim MA menjadi semakin tidak masuk akal," jelasnya.

Dengan melihat kondisi itu, ICW meminta semua pihak tidak kemudian memanfaatkan putusan tersebut.

"Merujuk dari catatan-catatan di atas, ICW mendesak Pemerintah dan DPR untuk tidak memanfaatkan putusan MA dalam RUU PAS sebagai dasar untuk mempermudah pengurangan hukuman para koruptor," ujar Kurnia.

Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) mencabut  Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, teror, dan narkoba.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung menyatakan fungsi pemidanaan tidak lagi sekadar memenjarakan pelaku agar jera, tetapi sebagai usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice.

Selain itu menurut majelis hakim, hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali, yang artinya berlaku sama bagi semua warga binaan untuk mendapatkan haknya.

"Persyaratan untuk mendapatkan remisi tidak boleh bersifat membeda-bedakan dan justru dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang ditetapkan serta harus mempertimbangkan dampak overcrowded di Lapas," jelas Majelis Hakim dikutip dari situs Mahkamah Agung pada Jumat (29/10/2021).

Majelis Hakim menambahkan syarat-syarat tambahan di luar syarat pokok untuk dapat diberikan remisi kepada narapidana, seharusnya lebih tepat dikonstruksikan sebagai bentuk (reward).

Rekomendasi