Vonis Eks Menteri Edhy Prabowo Diperberat, Mengingatkan 'Masa Indah' Kamar Pidana MA Dipimpin Artidjo Alkotsar

| 12 Nov 2021 22:00
Vonis Eks Menteri Edhy Prabowo Diperberat, Mengingatkan 'Masa Indah' Kamar Pidana MA Dipimpin Artidjo Alkotsar
Edhy Prabowo (Dok. Antara)

ERA.id - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengapresiasi Mahkamah Agung, khususnya Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, yang memperberat vonis 5 tahun yang diberikan pengadilan tingkat pertama kepada mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjatuhkan pidana penjara 9 tahun dan denda Rp 400 juta ditambah Pencabutan Hak untuk dipilih dalam Jabatan Publik selama 3 tahun setelah selesai menjalani pidana pokok.

"Ini akan memberikan efek jera bagi mereka yang mau coba-coba korupsi. Secara internal, putusan ini diharapkan menimbulkan preseden baik untuk penanganan kasus korupsi di tingkat banding," kata Juru Bicara PSI Ariyo Bimmo dalam keterangan tertulis, Jumat (12/11/2021).

PSI melihat putusan ini menjaga marwah pengadilan yang sebelumnya dipertanyakan akibat vonis lebih rendah yang dijatuhkan kepada mantan jaksa Pinangki yang terbukti melakukan tiga kejahatan sekaligus, yakni korupsi, pencucian uang, dan pemufakatan jahat.

"PSI optimis putusan ini akan berakibat positif terhadap pemberantasan korupsi. Banyak hal akan terjadi bila para penjahat keuangan mengetahui bahwa penegak hukum tidak bermain-main," kata Bimmo.

Bimmo juga menyampaikan bahwa putusan ini mengingatkan pada masa-masa "indah" pemberantasan tipikor ketika para koruptor takut untuk kasasi ke Mahkamah Agung karena kemungkinan besar akan mendapatkan vonis lebih berat dari hakim-hakim agung yang dikomandani oleh Ketua Kamar Pidana, almarhum Artidjo Alkotsar.

"Dan hal yang tidak kalah penting dari putusan ini adalah terdakwa diharuskan membayar uang pengganti Rp 9,6 miliar dan USD 77,000 serta dicabut hak politiknya selama 3 tahun setelah menjalani pidana pokok," tambahnya.

Terkait pertimbangan hakim yang menyebutkan bahwa perbuatan Edhy dinilai telah meruntuhkan sendi kedaulatan negara, PSI justru melihatnya sebagai suatu pertimbangan yang seharusnya diterapkan pada semua kasus korupsi.

"Daya rusak korupsi itu jelas, tapi seberapa berat hukuman yang dijatuhkan, itulah yang akan mencirikan apakah korupsi itu benar extraordinary crime atau sama saja dengan pidana lain. Peran peradilan dalam hal ini tak tergantikan," tutup Bimmo.

Rekomendasi