Tambah Lagi PR Buat Anies, Angka Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah di DKI Jakarta Meningkat

| 14 Dec 2021 15:30
Tambah Lagi PR Buat Anies, Angka Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah di DKI Jakarta Meningkat
Muhadjir Effendy (Dok. Antara)

ERA.id - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan bahwa angka bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) di Provinsi DKI Jakarta meningkat.

"Kasus BBLR di Provinsi DKI Jakarta juga meningkat," kata Muhadjir dalam Forum Nasional Stunting 2021 yang diikuti secara daring di Jakarta dikutip dari Antara, Selasa (14/12/2021).

Muhadjir menjelaskan, berdasarkan data milik Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta tahun 2021, kasus bayi dengan berat badan lahir rendah pada 2018 sebanyak 1.381 bayi atau dengan persentase 0,6 persen lahir dengan BBLR dari 210.284 bayi yang baru lahir.

Pada 2021, angka tersebut mengalami kenaikan menjadi dari 170.777 bayi yang lahir, 2.145 bayi atau sebesar 1,26 persen bayi dipastikan mengalami BBLR.

BBLR merupakan salah satu indikasi dari stunting (anak lahir kerdil). Hal itu dapat terjadi, akibat ibu mengalami kekurangan gizi selama masa kehamilan, sehingga memberikan potensi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan anak.

Ia mengatakan, beberapa provinsi turut mengalami peningkatan kasus BBLR dari tahun 2018 hingga tahun 2020, seperti Nusa Tenggara Timur dari 5,52 persen pada 2018 menjadi 6,9 persen, Kalimantan Utara dari 5,33 persen menjadi 6,33 persen, DI Yogyakarta dari 5,52 persen menjadi 6,12 persen, Kalimantan Selatan dari 4,77 persen menjadi 5,68 persen serta Papua menjadi 5,25 persen.

"Saat saya mengunjungi RSUD Abdul Rivai Berau, Kalimantan Timur, ada 25 bayi yang dirawat dan 11 bayi adalah bayi dengan BBLR. Dan saya mendapatkan laporan bahwa dalam tahun 2021 terdapat 204 kasus BBLR dari jumlah 1.885 bayi yang lahir atau sebesar 10,8 persen kasus BBLR," kata Muhadjir.

Melihat angka BBLR yang mengalami kenaikan, dia menegaskan perlu peningkatan kemampuan pada aspek tenaga kesehatan dalam merawat bayi dengan BBLR di rumah sakit, serta menyediakan dukungan berupa sarana dan prasarana yang tidak murah karea perawatan membutuhkan waktu dari satu hingga dua bulan.

Ia mengatakan, upaya tersebut perlu dilakukan baik dalam mengentaskan persoalan BBLR hingga stunting, bersama dengan komitmen serta kolaborasi yang dilakukan oleh semua pihak baik dari tingkat pusat hingga desa dan kelurahan.

Kolaborasi itu diharapkan dapat memperhatikan kesehatan lingkungan, perilaku, morbiditas, akses pangan dan akses pelayanan kesehatan yang dapat menjadi faktor penentu lain karena dapat mempengaruhi kualitas selama kehamilan hingga dua tahun pertama kehidupan.

"Oleh karena itu, membicarakan stunting tidak hanya menyelesaikan masalah pada bayi dan anak, tetapi kita juga harus menyelesaikan masalah gizi pada remaja, ibu hamil, pasangan usia subur dan calon pengantin," ujar dia.

Rekomendasi