ERA.id - Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa angkat bicara terkait penghentian penyidikan dugaan korupsi pembelian helikopter AW-101 yang dilakukan oleh TNI Angkatan Udara (AU). Dia mengatakan akan melakukan penelusuran lebih dulu.
Andika bilang penelusuran ini dilakukan karena dirinya baru saja menjabat sebagai Panglima TNI. Sehingga, banyak hal yang masih perlu dipelajarinya lebih lanjut.
"Saya harus telusuri dulu ya. Saya masih orientasi tugas-tugas saya lebih dalam, sehingga masih belum semua hal saya ketahui," kata Andika saat dihubungi wartawan, Selasa (28/12/2021).
Tak hanya itu, dirinya memastikan akan mempelajari berkas dugaan korupsi yang melibatkan lima perwira di TNI AU tersebut. "Saya akan pelajari dulu berkas-berkas yang sudah dibuat sampai dengan kesimpulan," ungkapnya.
Diberitakan sebelumnya, Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto mengatakan TNI telah menghentikan pengusutan terhadap lima perwira yang jadi tersangka.
Adapun lima perwira tersebut adalah Wakil Gubernur Akademi Angkatan Udara Marsekal Pertama Fachry Adamy yang merupakan mantan pejabat pembuat komitmen atau Kepala Staf Pengadaan TNI AU 2016-2017.
Selain itu, ada juga Letnan Kolonel TNI AU (Adm) WW selaku mantan Pekas Mabesau; Pelda SS selaku Bauryar Pekas Diskuau; Kolonel (Purn) FTS selaku mantan Sesdisadaau; dan Marsekal Muda TNI (Purn) SB selaku Staf Khusus Kasau (eks Asrena KSAU).
"Masalah helikopter AW-101, koordinasi terkait masalah atau informasi yang berhubungan dengan pihak TNI sudah dihentikan penyidikannya," kata Setyo seperti dikutip dari KPK RI, Selasa, 28 Desember.
Meski begitu, Setyo memastikan penyidikan terhadap tersangka dari pihak swasta yaitu Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia tetap berjalan.
Sebagai informasi, pada bulan April 2016 TNI AU mengadakan pembelian satu unit helikopter jenis AW-101. Dalam pengadaan pembelian heli tersebut terdapat dua perusahaan yang mengikuti lelang yaitu PT Diratama Jaya Mandiri dan PT Karya Cipta Gemilang.
Kemudian, PT Diratama Jaya Mandiri keluar sebagai pemenang dan menaikkan nilai kontrak menjadi Rp738 miliar. Dari proyek pengadaan tersebut, dideteksi adanya selisih harga sebesar Rp224 miliar yang diindikasikan sebagai kerugian negara.