ERA.id - Dari mana rakyat Indonesia mengenal nama Sukarno? Ada banyak jalan: dari cerita orang-orang tua; dari buku-buku sejarah yang diajar sejak SD; dari buku-buku karangannya; dari pecahan uang 100 ribu; dari rekaman proklamasi yang diulang-ulang tiap tahun; dari bandara internasional Sukarno-Hatta; dari mana saja.
Kalau ditanya siapa presiden pertama Amerika, mungkin hanya beberapa orang Indonesia yang tahu dan itu wajar. Seandainya ada warga Amerika yang lupa pun, saya masih bisa maklum, soalnya negara itu sudah ganti presiden hingga 46 kali.
Sementara di sini baru ada tujuh presiden sejak awal merdeka hingga sekarang. Bocah SMP pun bakal fasih mengeja nama-nama mereka tanpa perlu buka buku. Artinya, hampir mustahil ada orang Indonesia melupakan nama Sukarno kecuali masih sangat belia atau sudah gila.
Dengan segala ingatan kolektif kita terhadap sosok presiden pertama Indonesia itu, rencana pembangunan patung Sukarno raksasa di Bandung Barat jadi tanda tanya besar: atas dasar apa?
Sebelumnya, ada juga proyek pembangunan monumen Sukarno tertinggi se-Indonesia di Bandung yang diresmikan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di Taman Saparua. Selepas peletakan batu pertama Juni lalu, Kang Emil bilang itu atas dasar aspirasi masyarakat. Maka pembiayaannya yang diperkirakan mencapai Rp15 miliar ditanggung dana gotong royong masyarakat dan para pengusaha pencinta Sukarno.
Yang luput disampaikan Kang Emil, masyarakat yang mana? Dan di antara sekian kesulitan hidup masyarakat Jawa Barat–khususnya Bandung–mengapa mereka punya aspirasi untuk membangun monumen Sukarno?
Belum rampung monumen itu dibangun, sudah ada kabar Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung Barat mencanangkan bakal mendirikan patung Sukarno setinggi hingga 100 meter dalam Kota Mandiri yang rencananya mulai digarap tahun depan. Ada apa sih sebenarnya, kok pada semangat bikin patung Sukarno, dan “kebetulan” sama-sama di Bandung pula?
Behind the scene patung Sukarno
Saya mondar-mandir mengecek belasan hingga puluhan berita dan belum mendapatkan alasan meyakinkan pembangunan patung Sukarno raksasa di Bandung Barat. Pemerintah hanya mengungkapkan proyek pembangunan Kota Mandiri–termasuk patung Sukarno–bakal menelan biaya sekitar Rp10 triliun dan seniman Nyoman Nuarta ditunjuk sebagai pemahat patung.
Kalau membaca tulisan sejarawan seni Albert Elsen berjudul “What We Have Learned about Modern Public Sculpture: Ten Propositions”, kita bakal menemukan beberapa alasan mengapa patung publik dibutuhkan.
Pertama, untuk mewadahi memori komunitas terhadap suatu peristiwa, seperti tiga patung tentara di Vietnam Veterans Memorial, Washington, yang dibangun sebagai penghormatan terhadap pasukan Amerika yang bertempur di Perang Vietnam. Di sini, kita bisa lihat contohnya lewat Monumen Pancasila Sakti yang menggambarkan tujuh pahlawan revolusi yang tewas dibunuh pada malam G30S.
Kedua, patung publik sebagai simbol untuk memenuhi rasa kebanggaan masyarakat terhadap suatu tempat. Misalnya Patung Liberty yang melambangkan kebebasan dan kemerdekaan di Amerika. Di Indonesia sendiri ada Patung Dirgantara atau terkenal dengan Patung Pancoran yang diinisiasi Sukarno untuk menunjukkan keperkasaan bangsa Indonesia di bidang dirgantara.
Dan ketiga, untuk ‘memanusiakan’ kota di tengah bangunan-bangunan yang kaku. Elsen mencontohkan patung tongkat bisbol di Chicago yang berdiri di tengah kepungan gedung-gedung pencakar langit.
Lantas, di mana posisi patung Sukarno raksasa yang digadang-gadang bakal menghiasi Kota Mandiri senilai triliunan rupiah tadi? Apakah ada peristiwa yang secara khusus melibatkan Sukarno di Bandung Barat dan menjadi memori kolektif yang layak dikenang? Rasanya tidak.
Alasan kedua dan ketiga juga meragukan. Bagaimana mungkin ada keterikatan antara Sukarno dan “kota” yang baru akan dibangun puluhan tahun sejak kematiannya?
Karena itu, dalam kasus ini, saya percaya apa yang pernah disampaikan oleh filsuf Hilde Hein dalam tulisannya “What is Public Art?” bahwa “upaya mendekatkan seni ke publik tak bisa lepas dari kepentingan politik dari penguasa pada masyarakat dan waktu tertentu”.
Penjelasan dari Hilde makin masuk akal mengingat Bupati Bandung Barat Hengky Kurniawan merupakan kader PDIP, partai penguasa saat ini. Dan kalau kita mundur ke belakang lagi, pembangunan monumen Sukarno di Taman Saparua Bandung diinisiasi oleh Yayasan Putra Nasional Indonesia yang ketuanya tak lain caleg dari PDIP bernama Pamriadi.
Dari kedua fakta tadi, kita jadi tahu benang merah proyek-proyek pembangunan patung Sukarno di Bandung, Jawa Barat, benar-benar berwarna merah.
Ini jadi menarik karena tahun depan waktunya pemilu. Dan seperti yang kita tahu, Jawa Barat tak pernah jadi basis partai mana pun. PDIP cuma menang dua kali di sana: Pemilu 1999 dan 2014. Sisanya terbagi-bagi. Golkar menang di Jawa Barat pada 2004; Demokrat 2009; dan Gerindra 2019. Pemilu selanjutnya, PDIP bertekad menguasai suara Jawa Barat.
“Kami yakin 2024 ini (Jawa Barat) milik PDI Perjuangan kembali, dan kita berharap ke depannya merupakan basis PDI Perjuangan,” ujar Ketua DPD PDIP Jawa Barat Ono Surono di Bekasi awal tahun kemarin.
Dari sini, bukan tidak mungkin wacana pembangunan patung Sukarno di Bandung merupakan upaya menghadirkan simbol legitimasi kuasa dari partai banteng moncong putih itu. Apalagi, seperti tadi sudah disinggung, orang-orang di belakang proyek ini juga punya afiliasi dengan PDIP.
Antara Sukarno dan PDIP
Hubungan antara Sukarno dan PDIP saya ibaratkan seperti hubungan PKB dengan Gus Dur. Nama dan foto mereka sama-sama selalu dipinjam dan dipajang untuk kampanye politik. Meski keduanya sudah lama berpulang, tiap pemilu kita bisa melihat senyum mereka bertebaran di jalan-jalan, berdampingan dengan orang-orang asing yang tak mereka kenal.
Narasi itu kemudian membentuk anggapan publik bahwa partainya Sukarno adalah PDIP, dan PDIP adalah Sukarnois. Meski nyatanya yang betul-betul diwariskan PDIP dari Sukarno hanya trahnya saja.
PDIP sendiri berdiri beberapa tahun setelah Sukarno wafat. Artinya, meskipun PDIP awalnya lahir dari gabungan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dibentuk Sukarno, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik, tetapi Sukarno tak pernah tahu ada partai bernama PDIP dan kelak anaknya, Megawati, bakal jadi ketuanya.
Maka sebetulnya, Sukarno bukan milik PDIP seorang. Sama halnya Gus Dur bukan monopoli PKB. Caleg dari partai mana pun sah-sah saja menyandingkan muka mereka dengan Sukarno (meski jadinya kelihatan norak). Dan siapa pun bisa mewarisi ideologi serta api perjuangan Sukarno.
Megawati boleh sesumbar ia anak Sukarno dan kita tak bisa mencegahnya karena memang faktanya begitu. Namun, kita bisa menjawab: Kita rakyat Indonesia, kita anak ideologis Sukarno yang menghendaki keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan keadilan itu, rasa-rasanya, tak bisa serta merta terwujud hanya dengan banyak-banyakan membangun patung yang dimanfaatkan sebagai berhala politik.