Menjawab Definisi Hidup di Era Now

| 01 Feb 2020 12:39
Menjawab Definisi Hidup di Era <i>Now</i>
Acara di Apero Cafe IFI Bandung. (Iman Herdiana/Era.id)
Bandung, era.id - Bicara soal tempat santai dan nyaman, di mana lagi kalau bukan di cafe. Salah satunya di Apero Cafe IFI Bandung, Jalan Purnawarman. Cafe yang berdiri di Lembaga Pendidikan dan Kebudayaan Prancis itu punya kelebihan tersendiri, yaitu biasa menggelar acara bincang-bincang santai meski temanya terkesan berat.

Yang terbaru, Apero Cafe menggelar diskusi bertema Cafe Philosophique: Hidup, Bertahan, Melangkah, tengah pekan kemarin.

Sebagaimana temanya, bincang-bincang ini membahas tentang hidup. Misalnya, apa itu hidup? Baik narasumber diskusi maupun peserta yang kebanyakan mahasiswa punya jawaban beragam soal apa yang dimaksud hidup.

Sarah Anais Andrieu, antropolog yang menjadi salah satu narasumber diskusi bilang memang banyak sekali definisi hidup. Misalnya, manusia yang bernapas maka dia hidup. Berbeda dengan kondisi sekarat di mana hampir dipastikan tidak ada kehidupan.

Menurut Sarah, antropologi menyoroti bagaimana manusia bisa hidup bersama dan bermasyarakat. Dalam kehidupannya, manusia menciptakan aturan atau cara tertentu untuk hidup bersama.

Aturan dan cara hidup orang Bandung berbeda dengan Jakarta atau kota lainnya, padahal unsur-unsurnya sama, yakni Manusia yang hidup bermasyarakat. Dengan kata lain antropologi melihat manusia sebagai makhluk sosial. 

Sarah menuturkan, dirinya baru saja mengajar workshop filsafat untuk anak-anak. Isu yang dibahas juga sama, yakni mendefinisikan hidup. Anak-anak banyak yang bertanya apa yang bikin kita merasakan hidup? Apakah hidup harus berbagi? Dan seterusnya.

Jawaban dari anak-anak pun beragam, antara lain, bahwa manusia tidak bisa merasa hidup kalau sendirian.

Dalam workshop filsafat tersebut, anak-anak mengeksplorasi hidup melalui pengalaman tubuh dan gambar.

Bahwa kehidupan selalu terkait dengan gerak, yakni bernapas, berimajinasi, bermain. 

Sarah kemudian menyoroti definisi hidup di era kekinian. Menurutnya definisi hidup di abad 20-an berbeda dengan definisi hidup di abad lalu. 

"Hidup sekarang harus ada koneksi, apalagi ditambah dimensi digital. Dimensi ini hadir bagian dari dunia nyata. Buktinya ada orang yang biasa-biasa saja di dunia nyata tapi dia di medsos heboh dan eksis bisa dikenal banyak orang," katanya.

Dosen filsafat Syarif Maulana menyatakan bahwa hidup bisa didefinisikan negatif maupun positif. Masing-masing definisi tidak bisa disalahkan.

Contoh, kata Syarif, ada yang mendefinisikan hidup tidak berarti. Dan bisa jadi hidup memang tidak berarti. Sama halnya dengan mendefinisikan pengalaman secara negatif, bahwa pengalaman adalah guru yang terlambat. Dan bisa jadi pengalaman tidak mengajarkan apa-apa.

Peserta diskusi lainnya, Risdo Simangunsong bilang bahwa hidup bisa dinarasikan dari pelbagai sudut pandang, mulai biologi, politik sampai agama.

"Bagi saya sepanjang kita terus melakukan pencarian makna kita butuh hidup. Hidup sesuatu yang diberi makna. Misalnya, bagaimana jika manusia tidak ada apakah dunia juga tidak ada? Sebab manusia memaknai dan menamai dunia. Jadi jika manusia tidak ada, maka tidak ada pula yang memaknai dunia,” kata Sekretaris Jaringan Kerja antar Umat Beragama (Jakatarub) tersebut. 

Diskusi terus mengalir, acara juga diwarnai performance berbagai komunitas seperti Hampir Sastra Indonesia FT Arnie Christanti, Jazz Poet Society, Mirsi Nira Insani, pemutaran film pendek Mesin Tanah, dan lapak buku Lawang Buku, Hellorwell, Jakatarub.

Tags : era bicara
Rekomendasi