Kenapa Publik AS Seakan Lupa Tentang Pandemi Flu 1918?

| 11 Jul 2020 07:35
Kenapa Publik AS Seakan Lupa Tentang Pandemi Flu 1918?
Seorang pria berfoto di depan bioskop yang tutup selama pandemi flu 1918 (Flickr/Jim Griffin)

Amerika Serikat ikut terpuruk akibat brutalnya pandemi influenza yang merenggut 50 juta nyawa pada tahun 1918-1919. Namun, selama 100 tahun kemudian, publik AS jarang membicarakannya sampai sebuah pandemi yang sama menakutkannya terjadi baru-baru ini.

Pandemi flu 1918 adalah pukulan telak bagi semua orang. Tidak seperti virus pada umumnya, virus influenza yang satu ini sangat mematikan bagi kaum muda yang berumur 20-40 tahun. Artinya, di saat itu banyak anak kecil yang harus kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya.

"Saat saya mengajar sejarah Amerika Serikat, saya berkata ke murid-murid saya, bahwa pada tahun 1919 Amerika Serikat tengah mengalami tahun terburuknya," kata Nancy Tomes, seorang profesor sejarah ternama dari Universitas Stony Brook dalam sebuah tulisan.

Tahun 1919, AS masih harus berjibaku dengan pandemi flu, baru saja pulang dari perang, dan tengah terpuruk dalam resesi ekonomi. Mogok kerja terjadi di mana-mana. Selama musim panas, massa kulit putih Amerika menyerang komunitas kulit hitam, dan orang-orang kulit hitam Amerika - banyak dari mereka menjadi prajurit AS selama Perang Dunia I dan sudah jengah dengan diskriminasi yang mereka alami - lantas melakukan pembalasan.

Trauma yang Tak Diceritakan Kembali

Seperti ditulis di History, entah apa alasannya, warga Amerika Serikat kala itu rupanya tak ingin membicarakan pengalaman mereka selama pandemi. Karena tidak ada yang membicarakan atau menuliskannya, publik AS di masa depan pun cenderung tidak memahaminya. Alfred W. Crosby lantas menamai episode ini sebagai "pandemi Amerika yang terlupakan."

Catatan kasus pertama influenza yang mematikan itu terjadi di kamp militer di Kansas, AS, pada bulan Maret 1918. Di akhir musim panas, dan awal musim gugur, gelombang kedua virus influenza yang lebih ganas pun muncul dan mengakibatkan kekacauan di Camp Devens di Massachusetts. Sepertiga dari 15.000 prajurit di kamp tersebut terinfeksi, dan 800 di antaranya meninggal dunia.

Para perawat St. Louis Red Cross Motor Corps saat menangani pandemi flu 1918 (Flickr/GPA Photo Archive)

Victor Vaugan adalah salah satu dokter yang menyaksikan wabah tersebut. Namun, di buku A Doctor's Memories yang ia publikasikan pada tahun 1926, ia tak sedikitpun menceritakan kejadian tersebut.

"Aku tidak akan masuk ke sejarah epidemi influenza," tulis dia. "Penyakit ini membayangi seluruh dunia, menjangkiti tempat-tempat terpencil, merobohkan orang-orang yang segar bugar, entah itu dari kalangan tentara atau warga sipil, dan mengibarkan bendera merah terhadap ilmu pengetahuan."

Sebelum tahun 1918, Vaughan dan banyak dokter lainnya sangat optimis atas kemampuan mereka menangkal penyakit apapun. Perkembangan obat-obatan dan sanitasi telah menunjukkan banyak kemajuan. Namun, pandemi mengubah semua kepercayaan diri tersebut.

"Kejadian itu sangat traumatis bagi [Vaughan], membuatnya mempertanyakan profesinya dan prospek yang dimiliki oleh ilmu kedokteran modern," kata Nancy Bristow yang menulis buku American Pandemic: The Lost Worlds of the 1918 Influenza Epidemic.

Peristiwa pandemi 1918 juga absen dari buku yang diterbitkan dokter lain. Misalnya, buku Rats, Lice, and History, yang ditulis Hans Zinsser, yang bekerja di Departemen Medis Militer selama pandemi, tidak membicarakan peristiwa tersebut.

"Kurasa, satu alasan kenapa kita tidak membicarakan flu tersebut selama 100 tahun adalah karena para dokter dulunya tidak membicarakannya," kata Carol R. Byerly, penulis sebuah buku tentang endemi influenza yang menggoyang militer AS selama Perang Dunia I. "Mereka akan bilang, 'kita jarang mendapati penyakit menular, kecuali flu;' dan 'kamp militer kami mampu bertahan, kecuali terhadap epidemi flu tersebut.'"

Sementara itu, publik Amerika pada umumnya tidak ingin membicarakan atau menulis tentang bagaimana rasanya melalui wabah flu tersebut. Artikel koran jarang menjelaskan cerita pribadi tentang mereka yang meninggal atau selamat dari epidemi flu, kata J. Alex Navarro, asisten direktur di Pusat Sejarah Kedokteran di Unviersitas Michigan.

Saking sedikitnya cerita mengenai keadaan publik di tengah pandemi, ia tak kesulitan untuk mengingat salah satu di antaranya. Di Chicago terdapat seseorang bernama Angelo Padula yang pergi tengah malam untuk mencari dokter bagi keluarganya yang tengah diserang sakit flu. Menemukan dan membayar dokter sangatlah sulit bagi keluarga miskin sepertinya. Ketika Padula tidak bisa menemukan siapapun yang bisa membantunya, ia lantas meloncat ke Sungai Chicago dan menenggelamkan diri.

Kehidupan di AS saat pandemi flu 1918 (Flickr/Max Magee)

Selama puluhan tahun, sejarawan yang menulis tentang periode 1918 cenderung fokus ke Perang Dunia I daripada mengenai wabah influenza, bahkan ketika wabah tersebut memberi dampak besar bagi perjalanan perang. Peristiwa berdarah di tahun 1919 pun barangkali telah menutupi trauma atas pandemi. Hal ini menimbulkan konsekuensi terhadap catatan sejarah dan bagi mereka yang berhasil melalui peristiwa tersebut.

"Sejauh yang kita tahu saat ini, ketika seseorang melewati suatu pengalaman yang sangat traumatik... kesempatan untuk membicarakan suatu trauma dan untuk didengarkan ketika kamu membagikannya, adalah suatu hal yang sangat esensial," kata Bristow. "Pelupaan ini menimbulkan banyak konsekuensi."

Tags : flu 1918
Rekomendasi