Dari mana asalnya batik? Sebuah video dari kantor berita Xinhua menghangatkan lagi pertanyaan soal autentisitas batik indonesia sebagai satu-satunya warisan budaya tak benda UNESCO yang memakai teknik tutup celup (wax dyeing).
China Xinhua News, kantor berita resmi pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) pada tanggal 12 Juli 2020 mengunggah sebuah video tentang batik.
Namun, alih-alih mengacu pada batik indonesia, deskripsi video tersebut menyebutkan batik sebagai "kerajinan tradisional yang biasa ditemukan di kalangan kelompok etnis di Cina." Deskripsi tersebut diakhiri dengan tagar #AmazingChina.
Batik is a traditional craft common among ethnic groups in China. Using melting wax and a spatula-like tool, people dye the cloth and heat it to get rid of the wax. Check out how the ancient craft evolves in modern times. #AmazingChina pic.twitter.com/4pNNECZziT
— China Xinhua News (@XHNews) July 12, 2020
Video tersebut menunjukkan bagaimana kerajinan "kuno" ini dibuat. Ketika sudah jadi, tampak simbol angsa berwarna putih nampak di atas kain berwarna biru. Ada pula topi warna krem yang diberi motif bunga teratai atau lotus.
Situs China Highlights yang dikelola sebuah perusahaan pariwisata asal Cina, disebutkan bahwa konon teknik tutup celup lilin (wax dyeing) sudah ada di Cina sejak akhir Dinasti Qin (221-207 SM) atau awal Dinasti Han (206 SM - 220 M), meskipun peredaran yang luas dari "batik cina" sebagai produk jadi baru muncul selama Dinasti Tang (618-907 M). Saat itu, "batik" menjadi salah satu komoditas Jalur Sutera yang diekspor ke Eropa dan negeri-negeri lain.
Apa yang disebut Xinhua bahwa batik biasa ditemukan "di antara suku-suku Cina" mungkin sedikit meragukan. Konon, di Cina pemraktek "batik" hanya menyisakan komunitas Zhuang dan Miao saja, "yang tinggal di komunitas kecil di Provinsi Guizhou, Guangxi, Sichuan, dan Yunnan."
Koran berita China Daily sendiri pada 31 Oktober 2019 pernah mengangkat reportase mengenai pembuat "batik" di komunitas Miao di Guizhou, yang letaknya di regio barat daya Cina.
Workers have recently been making cloth using the #batik method, a traditional local technique of wax-resistant dyeing, in #Guizhou's Qiandongnan Miao and Dong autonomous prefecture. Recently, they have been working from home, reducing the risk of contracting novel #coronavirus. pic.twitter.com/rodLqZwvj2
— Guizhou, China (@iloveguizhou) February 19, 2020
Lantas, sekarang, apakah Indonesia satu-satunya ahli waris sah dari batik?
Batik Indonesia sebagai Warisan Dunia Tak Benda UNESCO
Jika Malaysia tidak melakukan klaim terhadap batik Indonesia pada tahun 2008, barangkali Indonesia tak akan melamarkan batik ke Daftar Warisan Dunia Tak Benda untuk Kemanusiaan yang dikelola UNESCO, badan PBB untuk Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan. Didaftarkan pada 2 Januari 2009, batik indonesia pun resmi masuk daftar tersebut pada sidang UNESCO tanggal 2 Oktober tahun yang sama.Dalam keterangan UNESCO, “teknik, simbol, dan budaya” yang melekat dalam kain celup (katun atau sutera) yang dinamai batik indonesia ini “meresapi kehidupan masyarakat Indonesia dari awal hingga akhir.”
Oleh penduduk Indonesia, hal ini mudah dijelaskan. Para ibu menggendong bayi menggunakan kain batik yang dihiasi simbol yang membawa keberuntungan. Di Yogyakarta bahkan ada motif batik yang terbatas digunakan oleh keluarga ningrat saja.
Daerah-daerah di Pulau Jawa memang menunjukkan konsep membatik yang paling maju dibanding daerah lainnya. Bahkan kata batik sendiri berasal dari gabungan kata ambatik yang artinya “menulis titik”.
Arkeolog J.L.A Brandes dan F.A. Sutjipto menganggap bahwa batik sudah sepantasnya tradisi asli Indonesia karena membatik sudah jadi tradisi di Toraja, Flores, dan Halmahera yang tidak terpengaruh budaya Hindu. Hal ini untuk mematahkan anggapan peneliti lain, yaitu G.P. Rouffaer, yang mengatakan teknik batik diperkenalkan di India atau Sri Lanka pada abad ke-6 atau ke-7. Namun, konsensus sejarah pun belum terjadi.
Entah di manakah teknik “batik” ini bermula - di Jawa, Miao, atau India. Namun, publik, terutama warga net, lebih cenderung memandang keberadaan variasi batik sebagai tanda “perampasan budaya”, atau cultural appropriation. Hal ini barangkali justru akan kontraproduktif terhadap upaya konservasi pada tradisi tersebut.
Seperti ditulis UNESCO dalam penjelasan alasan pembuatan Daftar Tradisi Tak Benda untuk Kemanusiaan, tradisi-tradisi dunia diakui bersama agar “menunjukkan kekayaan tradisi tersebut”. Pertanyaan tentang asal muasal suatu tradisi barangkali bukan poin utama, karena yang utama adalah bagaimana agal ia bisa tetap ada di tengah-tengah kita dan meresapi kehidupan manusia dari awal hingga akhir hidupnya.