Ini Alasan Gus Dur hingga Soekarno Ingin Bubarkan DPR

| 06 Oct 2020 15:39
Ini Alasan Gus Dur hingga Soekarno Ingin Bubarkan DPR
Ilustrasi (Ilham/ Era.id)

ERA.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang jadi bulan-bulanan warganet dan kaum buruh. Alasannya sederhana, para anggota dewan mempercepat agenda rapat pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU atau Omnibus Law) Cipta Kerja.

Sebenarnya, rapat pengesahan tersebut diagendakan pada Kamis mendatang. Namun, entah mengapa alasannya, Senin kemarin, rapat itu dipercepat. Tindakan ini pun banyak menuai protes dari pelbagai kalangan. Hasilnya, UU sapu jagat itu berhasil disahkan Senin malam kemarin.

Ruang Gedung DPR/Era.id

DPR di antara plus dan minusnya ini, bukan cuma dianggap bikin repot masyarakat banyak. Dua presiden Indonesia pun bahkan sempat ingin membubarkannya karena DPR dianggap tidak layak ada. Satunya sudah membubarkan, satunya lagi mewacanakan untuk DPR dibubarkan.

Alasannya, produktivitas DPR yang buruk serta adanya rasa tak puas dari pihak pemerintah dengan kinerja lembaga yang katanya mewakili aspirasi rakyat itu. Lantas, siapa saja presiden yang berani-beraninya ingin membubarkan DPR itu?

Soekarno

Soekarno berbicara dalam kongres Amerika Serikat/Commons Wikimedia

Pada tahun 1955 silam, bangsa Indonesia mengenal pemilihan umum atau pemilu. Saat itu, pemilu menjadi pemungutan suara yang paling demokratis di Indonesia bersama DPR.

Di bawah komando Soekarno, saat itu pemilu diadakan dengan keamanan negara yang tidak kondusif karena di beberapa titik, terjadi riak alias pemberontakan komune masyarakat seperti DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) kelompok Kartosuwiryo. Walau begitu, TNI dan polisi berhasil meredam gerakan tersebut. Akhirnya, pemilu selesai dengan aman.

Pemilu ini, asal tahu saja, bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520, ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.

Empat tahun berselang, tepatnya pada 1959, Soekarno membubarkan Konstituante pemilu 1955 dengan menerbitkan Dekret Presiden. Selain itu, Soekarno juga menghendaki penggantian undang-undang dasar dari UUD Sementara 1950 diganti kembali menjadi UUD 1945.

Kemudian di tahun 1960 disusul dengan pembubaran DPR hasil Pemilu 1955. Hal itu dilakukan sebab DPR dinilai tidak sejalan dengan pandangan pemerintah, terutama setelah insiden anggota DPR yang ngotot menolak RAPBN yang diajukan oleh pemerintah.

Tidak lama kemudian, Soekarno berhasil menyusun daftar anggota DPR. DPR yang baru dibentuk tersebut dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Seluruh DPR-GR ditunjuk oleh Presiden mewakili golongan masing-masing. Anggota DPR-GR dilantik pada tanggal 25 Juni 1960.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Presiden Indonesia keempat, Abdurrahman Wahid juga pernah mengeluarkan dekret serupa pada 23 Juli 2001 dini hari, di mana untuk kedua kalinya, Presiden RI menerbitkan dektret terkait pembubaran DPR-MPR.

Dalam dekret itu, ada tiga poin utama, pertama pembekuan DPR-MPR; pengembalian kedaulatan ke tangan rakyat dengan mengambil tindakan menyusun badan untuk penyelenggaraan Pemilu dalam waktu setahun; serta menyelamatkan gerakan reformasi total dari unsur-unsur Orde Baru dengan cara membekukan Partai Golongan Karya (Golkar).

Presiden Abdurrahman Wahid dan Menteri Pertahanan AS William S. Cohen di Istana Kepresidenan di Jakarta, pada 18 September 2000. (Foto: Commons Wikimedia)

Kala itu, dekret yang dilontarkan Gus Dur justru dikecam sejumlah pihak, salah satu di antaranya Wakil Presiden, Megawati Soekarnoputri serta Ketua MPR, Amien Rais.

Bahkan Amien Rais sempat menyerukan kepada masyarakat Indonesia untuk memboikot isi dekret itu. Hasilnya, digelar sebuah sidang istimewa yang menggulingkan Gus Dur dari jabatannya sebagai presiden.

Sidang istimewa itu menghasilkan beberapa keputusan, yakni mengangkat Megawati sebagai Presiden ke-5 RI serta Ketum PPP Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden melalui jalur voting.

Rekomendasi