Gulat Lebih Tua dari Olimpiade

| 08 Jul 2018 08:00
Gulat Lebih Tua dari Olimpiade
Jakarta, era.id - Setiap hal yang ada di dunia tentu saja memiliki sejarahnya tersendiri. Begitu pula olahraga yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Salah satu olahraga yang memiliki sejarah cukup tua didalam perkembangannya yakni Gulat.

Dalam beberapa sumber sejarah dikatakan, bahwa Gulat lahir di Mesir pada 2050 SM. Hal tersebut diperkuat dengan kemunculan sejumlah lukisan Mesir yang berusia lebih dari 5000 tahun lalu. Salah satu dalam lukisan tersebut menggambarkan teknik-teknik bergulat. Gulat telah lahir lebih dulu, jika dibandingkan dengan Olimpiade kuno yang baru saja dimulai pada 776 SM. 

Beruntungnya posisi Gulat di Olimpiade kuno pun tak diragukan, Gulat dijadikan sebagai pertandingan utama. Gaya yang ditandingkan tentu tak sembarangan, para panitia pelaksana meneliti terlebih dahulu perkembangan dari waktu ke waktu mengenai Gulat. Hingga pada akhirnya dipercayai dan dihidupkan kembali gaya Greco Roman yang lahir sejak zaman Yunani dan Romawi kuno. Dalam gaya Greco Roman, pegulat hanya perlu menggunakan tangan dan badan bagian atas untuk menyerang. Tidak boleh menggunakan organ tubuh lain, sehingga diperlukan ketelitian yang khusus bukan hanya kekuatan saja.

Seiring berjalannya waktu, mulai muncul gaya Gulat lain yang dapat dikatakan lebih sederhana. Gaya tersebut dikenal dengan sebutan Catch as Catch can atau kini dikenal sebagai gaya freestyle yang amat digemari di Amerika Serikat. Kala itu, Amerika Serikat menjadi tuan rumah Olimpiade 1904 di St.Louis. Sebagai tuan rumah Amerika Serikat menerapkan peraturan baru yakni gaya yang ditandingkan hanyalah gaya Catch as Catch can. Tentu saja hal ini menimbulkan kekecewaan terhadap negara-negara lain yang umumnya menggunakan gaya Greco Roman sebagai andalan. Kedua gaya ini pun dapat dikatakan sangat jauh berbeda. Jika Greco Roman membatasi ruang gerak pegulat, maka Catch as Catch can membebaskan ruang gerak pegulat.

Di Indonesia sendiri, Gulat dibawa oleh para tentara Belanda. Masyarakat Indonesia kala itu mengenal Gulat sebagai hiburan yang sering di adakan di pasar malam maupun pesta-pesta besar. Sayangnya, sejak penajajahan Jepang eksistensi Gulat mulai redup dan digantikan oleh seni bela diri asal Jepang seperti Judo. Tak berlangsung lama, Pada 1959 Gulat kembali bergeliat di Bandung. Kala itu diadakan pertandingan Gulat bayaran antara Batling Ong melawan Muh Kunyu menjadi sorotan yang cukup besar dari mereka para pecandu Gulat. Pertandingan tak lepas dari campur tangan Persatuan Tinju dan Gulat (PERTIGU) yang saat itu masih amatir.

Rupanya keberuntungan datang dengan cepat, pemerintah menginginkan para pegulat terjun di pertandingan Asian Games 1962. Sehingga terbentuklah suatu wadah perkumpulan para pegulat guna memudahkan alur koordinasi yang didirikan pada 7 Februari 1960 dengan nama Persatuan Gulat Seluruh Indonesia (PGSI).

Pertandingan pertama PGSI yakni kejuaraan dunia di Yokohama tahun 1961. Tepat sebelum pertandingan Asian Games di Jakarta dimulai. Empat pegulat terpilih mewakili Indonesia yaitu Rachman Firdaus, Yoseph Taliwongso, Sudrajat dan Elias Margio. Didampingi oleh Kapten Obos Purwono sebagai tim manajer serta Batling Ong sebagai pelatih. Sedangkan, untuk pertandingan Asian Games pada 1962 Indonesia menerjunkan seluruh pegulatnya, mulai dari kelas 52 kg hingga 87 kg. Perjuangan para pegulat Indonesia pun terbalaskan dengan keberhasilan membawa pulang dua medali perunggu.