ERA.id - Segregasi antara etnis Melayu, Cina, dan India di negara Malaysia masih menganga hingga kini. Misal, soal bahasa yang memperlebar jarak di antara mereka. Banyak etnis Cina dan India yang enggan menggunakan bahasa Melayu dalam kehidupan sehari-hari. Dari sikap itu, muncul kecurigaan dan ketidakpuasan orang Melayu terhadap etnis Cina dan India.
Belum lagi perihal politik yang merembet ke mana-mana. Karena politik juga Singapura yang mayoritas beretnis Cina dicampakan oleh Malaysia dan memproklamirkan kemederkaannya pada 9 Agustus 1965.
Di Malaysia, khususnya etnis Melayu dan Cina memiliki sejarah kelam. Pada 13 Mei 1969, terjadi kerusuhan antara Melayu dan Cina di Kuala Lumpur.
Bermula pada Sabtu, 10 Mei 1969, lebih dari 500 ribu warga memadati bilik-bilik pemungutan suara, untuk memilih para calon dari 7 partai yang akan menduduki 144 kursi di Dewan Ra'ayat.
Belum ada kepastian dari partai mana yang menang, keesokan harinya, pendukung partai oposisi, (Partai Tindakan Demokratik) DAP dan (Partai Gerakan Rakyat Malaysia) Gerakan, merayakan kemenangannya. Sebetulnya belum dipastikan mereka unggul suara dari Partai Perikatan (gabungan UMNO, MCA, dan MIC)—koalisi pemerintahan yang sekarang bernama Barisan Nasional. Namun, angin kemenangan memang sudah terasa untuk pihak oposisi.
Sambil melambaikan bendera partai dan membunyikan klakson kendaraan, mereka berparade di jalan-jalan utama Kuala Lumpur. Mereka, dari golongan Cina, meneriakkan yel-yel yang panas ke arah golongan Melayu. Perikatan tak tinggal diam.
Pada 13 Mei 1969, Menteri Besar Selangor, Dato Harun bin Idris, rencanakan parade tandingan. Ratusan pendukung Parikatan berbondong-bondong menuju ke rumah Ketua UMNO Selangor itu.
Akan tetapi, muncul berita buruk datang dari Kuala Lumpur: serombongan pemuda Melayu yang akan bergabung dengan parade itu dilempari botol dan batu oleh kelompok Cina dan India di Setapak utara Malaysia.
Mendengar hal itu, kelompok Parikatan yang telah bersiap-siap di Selangor terpancing emosi. Mereka menuju ke Jalan Raja Muda dan Jalan Hale sambil membawa batu, pisau, bom api, pipa, dan bambung runcing menuju perkampungan Cina.
Bentrokan antara Melayu dan Cina melendak. Seantero Malaysia mencekam. Para pemuda melayu dihadang orang-orang Cina bersenjata dari kawasan Chow Kit, Kuala Lumpur. Kaum Melayu mengenakan ikat kepala merah atau putih menjadi beringas dan membantai warga Cina serta membakar rumah-rumah.
Sedangkan dari pihak Cina membawa pistol dan senjata laras pendek, mendatangi rumah-rumah Melayu dan bertindak sama. Majalah Tempo mengutip perkataan Tuengku Abdul Rahman (saat itu Perdana Menteri) dalam sebuah buku otobiografi, “Kuala Lumpur menjadi lautan api.”
Pada hari yang sama, Yeoh Tech Chye selaku Presiden Gerakan memohon maaf atas tindakan anggota-anggotanya yang melampaui batas selama pawai. Yeoh sendiri menang besar di kawasan Bukit Bintang, Kuala Lumpur. Tapi permohonan maaf dianggap sudah terlambat.
Angka kematian menjadi perdebatan. Menurut data polisi setempat, 184 orang meninggal dan 356 terluka, 753 kasus pembakaran, dan 211 kendaraan hancur atau rusak berat. Sumber lain menyebutkan jumlah yang meninggal sekitar 196 orang atau bahkan lebih dari 200 orang. Menurut Majalah Tempo, yang dinyatakan hilang mencapai 1.019 orang dan 9.143 orang dibekap dalam penjara.
Tidak sedikit yang memperkirakan bahwa jumlah kematian bahkan mencapai 700 orang sebagai akibat dari kerusuhan. Kerusuhan itu terjadi karena konstelasi politik Malaysia yang baru saja menyelenggarakan Pilihan Raya Umum 10 Mei 1969, pilihan raya umum yang ke-3 sejak kemerdekaan Malaysia dari Inggris pada 31 Agustus 1957.