ERA.id - Pria berambut gondrong dengan stigma negatif --kejahatan, kenakalan, amburadul, dan lain-lain-- masih langgeng di tengah masyarakat Indonesia. Stereotip itu tidak muncul begitu saja, tetapi melewati proses panjang, wabilkhusus dari kebijakan penguasa.
Perihal gondrong ini direkam oleh Aria Wiratma Yudhistira dalam bukunya, Dilarang Gondrong!: Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an.
“Dengan dalih menyelematkan generasi muda, aksi-aksi anti-rambung gondrong pun tak tercegahkan. Razia di jalan-jalan raya dijalankan untuk ‘merapikan’ potongan rambut serta pakaian agar sesuai dengan ‘kepribadian bangsa’. Larangan berambut gondrong pun mulai diberlakukan di kantor pemerintahan, sekolah, kampus, stasiun televisi, dsb.”
Pada 8 Desember 1966, di depan stasiun Tanah Abang digelar razia, tetapi razia ini bukan merazia surat-surat kendaraan, melainkan razia menyisir rambut anak muda yang bergaya “Beatles”. Tidak saja di Jakarta, razia rambung gondrong ini berlaku juga di beberapa kota besar, seperti Bandung, Yogyakarta, Medan, dan Surabaya.
Dilansir dari Kompas, 24 September 1973, bahwa Komtares 101 Surabaya mengeluarkan pengumuman, mulai 19 September 1973 polisi tidak melayani mereka yang berambut gondrong. Permohonan izin pertunjukan seni juga tidak akan dilayani jika para pemainnya berambut gondrong. Kebijakan itu diambil terkait meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja di Surabaya.
Di depan Danres 932 Salatiga, ada ultimatum tertulis seperti ini: PARA TAMU, SEBELUM BERHUBUNGAN URUSAN DINAS, SILAHKAN “JANGAN” BERAMBUT GONDRONG, BERPAKAIAN KEDODORAN. TERIMA KASIH.
Menteri Dalam Negeri (1963—1983) Amir Machmud mengungkapkan ketidaksenangnya terhadap rambut gondrong yang melanda SLTA dan SLTP di sejumlah daerah di Indonesia. Ia menganggap mode rambut gondrong itu berlebihan dan tidak sesuai dengan kebudayaan bangsa Indonesia.
Tidak saja Amir Machmud, Menteri Penerangan Mashuri Saleh, menyatakan keberatannya akan rambut gondrong sebab menyulitkan membedakan mana pria dan wanita.
Aparatur negara lainnya yang terasa “jijik” dengan rambut gondrong adalah Gubernur Ali Sadikin. Ia mengeluarkan perintah bahwa persoalan rambut gondrong di Jakarta harus selesai paling lambat pada 31 Januari 1968.
Perintah itu menuai respons dari publik, seperti protes dari Arief Budiman. Kata Arief, Ali Sadikin yang ia kenal, yang tegas, realistis, dan bijaksana takkan mungkin menginstruksikan hal tersebut.
Satire dari Arief direspons balik oleh Ali Sadikin. Mereka berdua bertemu dan Ali menerima beberapa keberatan dari Arief.
Dalam edisi Kompas, 6 September 1973, dengan tajuk “Tidak Tepat Menindak Rambut Gondrong” menulis bahwa masih banyak soal penting lainnya yang pantas ditangani. Pemerintah, Kopkamtib, Kepolisian dan para Kepala Sekolah daripada hanya mengurusi soal rambut gondrong. Urusan seperti rambut gondrong atau rambut terurai sebenarnya terlalu kecil untuk menyibukkan lembaga-lembaga tersebut.
Tidak sedikit anak muda yang tidak acuhkan perintah aparatur negara. Karena mereka sudah senang, mengapa harus dilarang?
Akan tetapi, orang tua dibikin repot dengan tingkah laku anak mereka yang gondrong. Sebab, bila anak mereka masih kekeh memelihara rambut gondrong, maka akan berurusan dengan negara.
Problem rambut ini tak luput dari mata Hoegeng --ketika itu sudah bekas Kapolri-- yang tidak terima dengan kebijakan pemerintah Soeharto itu bahwa rambut gondrong identik dengan kejahatan. Dalam Majalah Tempo, 15 September 1973, berujar “Banyak kok penjahat sungguhan yang rambutnya malah klimis, bahkan koruptor itu kepalanya banyak yang botak.”
Dalam epilog bukunya, Aria menulis aksi anti-rambung gondrong yang dilakukan negara merupakan bentuk dari usaha mendisplinkan anak-anak muda demi menjaga keteraturan dari sebuah tatanan yang disebut Orde Baru.
Wacana pun dibentuk sebagai sebuah mekanisme kontrol untuk mengatur anak-anak muda agar tidak melenceng dari tatanan yang berlaku.
Namun, setiap penguasa melakukan pengontrolan berlebihan, maka akan memunculkan bara-bara perlawanan.