ERA.id - Saat itu orang baru saja bangun dari tidurnya, tiba-tiba gempa datang meremukkan bumi Mataram. Tepatnya pada pukul 05:55 WIB, 27 Mei 2006, selama 57 detik dengan kekuatan 5,9 skala richter.
Teriakan kata “gempa” dari orang-orang menggelegar seantero kampung, dusun, RW, RT, gang, dan jalan di Yogyakarta.
Majalah Tempo, 29 Mei 2006, mendeskripsikan suasana ketika itu. Titin, ibu muda, sedang mencecap udara pagi yang menerobos jendela rumah tuanya. Tiba-tiba bumi berguncang hebat. Rumah yang ditinggali bersama putri dan neneknya juga ikut bergoyang. Suaranya sangat menciutkan nyali. Di luar rumahnya, orang-orang berlarian sambil berteriak, ”Gempa ..., gempa ….”
Selanjutnya, rumah-rumah kampung dibangun seadanya roboh seketika. Titin panik. Dia menyambar Ica Mustika, anaknya yang baru berumur dua tahun. Sambil menggendong putri semata wayang itu, Titin berlari keluar rumah.
Belum sempat di luar rumah, sebongkah tembok rumahnya menghantam punggung dan batok kepala Titin. Bersama anaknya, dia terjerembap. Titin mengerang. Semua engsel tulangnya terasa nyeri. Kaki kirinya beku, tak bisa bergerak.
Ica Mustika menangis menjerit-jerit. Wajahnya penuh darah. Sebongkah dinding rumah juga menimpa wajah imut anak itu. Setengah mati Titin mencoba melepaskan dari impitan tembok, sampai akhirnya seorang polisi datang menyelamatkannya.
Ketika diangkat dari impitan tembok itulah, Titin terpisah dengan anaknya. Sambil sesenggukan menahan nyeri, dia berkata lirih, ”Anakku ..., anakku ….”
Dari peristiwa gempa tersebut diketahui sekitar kurang lebih 6 ribu orang meninggal. Bukan karena gempanya yang membuat banyak orang meninggal, melainkan tembok rumah yang rapuh.
Konstruksi bangunan rumah di Yogyakarta (khususnya Bantul) rata-rata dibangun tahun 1960—1980an belum menggunakan struktur yang ramah gempa. Bahkan, sampai sekarang, rumah-rumah di Indonesia—yang notabenenya tempat sarang gempa—masih belum sadar dengan kondisi alamnya.
Setelah gempa itu, perkara belum selesai. Suasana semakin panik kala ada informasi bahwa tsunami dari pantai selatan akan muncul. Orang-orang berlarian menuju arah utara, arah ke merapi.
Pada 5 Juni 2006, Majalah Tempo mengabarkan peristiwa kepanikan masyarakat tersebut. Suparman pun bingung. Dia ingin lekas kabur bersama penduduk, tetapi mustahil dia kuat menggendong ayahnya—yang lumpuh—sembari melarikan diri. Untunglah, segera muncul jalan keluar.
Bersama seorang tetangganya, dia mendorong tubuh ayahnya ke atas pohon. “Di sini saja ya, Pak. Jangan khawatir, yang penting pegangan yang kuat),” si anak mewanti-wanti.
Giliran lelaki tua itu yang heran. Dia sempat bertanya, kenapa dia ditaruh di atas pohon? ”Ada tsunami,” jawab Suparman, yang langsung melesat kabur, meninggalkan ayahnya yang “bertengger” di pohon.
Ternyata kabar tsunami muncul adalah hoaks. Suparman kembali pulang. Dia menyesal meninggalkan ayahnya yang masih berada di atas pohon. Lalu, dia minta maaf berkali-kali kepada ayahnya. Kemudian, ayahnya bertanya, “Tsunami iki opo to (Lha, tsunami itu apa toh)?”.
Menurut Faiz Ahsoul, penggiat Literasi Indonesia yang juga merasakan gempa Jogja 2006, mengatakan bahwa dampak dari gempa tersebut, selain kerusakan fisik, masyarakat semakin peduli satu sama lainnya. Semangat gotong royong semakin kuat. Masyarakat bekerja secara kolektif. Dan banyak orang luar Jogja masuk Jogja (sampai ada istilah “wisata bencana”).
Mbah Maridjan
Sebagai juru kunci Gunung Merapi, ketika gempa terjadi, Mbah Maridjan ada di mana? Dia berada di rumahnya, di Dusun Kinahrejo, Cangkringan, Sleman. Mbah Maridjan juga merasakan getaran gempa itu tapi tidak keras.
Pada pagi harinya, dia mempunyai tamu orang Prancis. “Saya di sini merasakan getarannya hanya kecil,” kata pria sepuh ini.
Mbah Marijan mendapat informasi bahwa gempa berasal dari Kabupaten Bantul. Perihal gempat tersebut, Mbah Maridjan berharap Tuhan tidak memberi banyak-banyak. “Semoga gempa ini sedikit saja, jangan banyak-banyak. Kalau banyak, bisa bikin stres,” ujarnya.
Pada bulan Mei, Yogyakarta tidak saja dilanda gempa, tetapi juga erupsi dari Gunung Merapi. Di utara, ada Merapi, di selatan Yogyakarta ada gempa. Rumah Mbah Maridjan hanya 4,5 kilometer dari puncak Gunung Merapi. Dia tak mau turun dari rumahnya.
Mbah Maridjan berpegang teguh menjalankan tugas yang diembannya dari Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yaitu menjaga dan merawat Gunung Merapi demi kemaslahatan dan keselamatan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Amanah itu diembannya sejak 29 Januari 1984.
Maridjan meyakini bahwa Merapi sedang “bersih desa”. Keyakinan tersebut yang membuatnya terkenal seantero Indonesia, bahkan dunia. Tidak saja orang biasa yang membujuknya turun dari Gunung Merapi, tetapi seperti Gubernur DI Yogyakarta, Abdurrahman Wahid, Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu menjdi presiden membujuknya. Namun, Mbah Maridjan kekeh dengan pendiriannya.
Mbah Maridjan semakin populer ketika wajahnya tiap hari menghiasi layar televisi. Dia dikontrak oleh suplemen minuman energi Kuku Bima dari 2006 sampai 2010 sebagai artis iklan.
Pemilik nama lengkap Mas Penewu Surakso Hargo ini akhirnya melepas dirinya kepada Gunung Merapi pada 26 Oktober 2010. Ketika itu Merapi sedang mengeluarkan laharnya setelah sekian tahun hanya bersih-bersih desa.