ERA.id - Jika mau turun ke Stasiun Gambir, penumpang dari luar daerah biasanya akan disambut oleh penampakan Tugu Monas. Namun, itu tak terjadi lagi tiga tahun mendatang. Gambir tidak menerima lagi kereta jarak jauh karena dialihkan ke Stasiun Manggarai.
Dikabarkan pada 2025, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akan menghentikan layanan kereta jarak jauh di Stasiun Gambir dan hanya melayani kereta rel listrik (KRL).
Hal tersebut direspons langsung oleh pihak KAI bahwa, “Terkait adanya rencana pengalihfungsian Stasiun Gambir, tentu KAI mendukung kebijakan pemerintah dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. KAI masih terus berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan untuk hal tersebut,” kata VP Public Relations KAI Joni Martinus di situs web Kai.id, Senin, (07/06/2022).
Seandainya itu terjadi, maka Stasiun Manggarai semakin sibuk. Untuk saat ini saja, Manggarai menjadi stasiun transit untuk KRL dan KA bandara dan sudah mengalami kepadatan luar biasa. Jika Stasiun Manggarai melayani kereta jarak jauh juga, maka kepadatannya berkali lipat—dan yang pasti pendatang tak melihat lagi ikon Jakarta.
Bisa disebut Stasiun Gambir adalah pintu masuk mengenal Jakarta sebab dari jalur ini ikon Jakarta diperlihatkan.
“Tapi gue merasa enggak asyik nanti mau keluar kota atawa keluarga gue dari kampung ke Jakarta udah enggak bisa lihat ikon Jakarta Tugu Monas,” ujar Maya, Guru SD di Gondangdia, yang kerap keluar-masuk lewat Stasiun Gambir.
Berawal dari Halte Sederhana Koningsplein
Bermula pada 1846, gagasan pembangunan jalur kereta api di Batavia mencuat. Ketika itu, Gubernur Jenderalnya adalah J. J. Rochussen. Ia mengusulkan pemerintah untuk bangun jalur kereta api dari Batavia ke Buitenzorg (sekarang Bogor).
Menurut keterangan di heritage.kai.id, tujuan pembangunan jalur itu karena dua hal: ekonomi dan politik. Untuk ekonomi, layanan kereta api memudahkan pengangkutan komoditas, seperti hasil pekerbunan dari Priangan ke pelabuhan Batavia.
Sedangkan, dari sisi politik, di Buitenzorg ada gedung Algemeene Secretarie (saat ini Istana Bogor) yang merupakan tempat kedudukan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan pusat administrasi pemerintahan.
Dua dekade berikutnya, pada 1868, usulan pembangunan jalur kereta itu terealisasi. Perusahaan kereta api swasta, Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschapij (NISM) mendapatkan konsensi pembangunan berdasar surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Gouvernement atau GB) Nomor 1 tanggal 27 Maret 1864 dan Nomor 1 tanggal 19 Juni 1865 serta surat keputusan Raja Belanda (Koningklijk Besluit) tanggal 22 Juli 1868.
Dimulai pembangunan pada Jakarta-Bogor dengan panjang 56 KM pada Jumat 15 Oktober 1869 yang dihadiri oleh Gubernur Jenderal P. Myer. NISM meresmikan rute antara Batavia menuju Weltevreden (kini wilayah Jakarta Pusat) pada 15 September 1871.
Untuk tempat perhentian di Weltevreden, NISM membangun Halte Koningsplein. Kenapa dinamakan Halte Koningsplein? Sebab, ketika kolonial Hindia Belanda, halte ini berada di tepi timur Koningsplein atau Lapangan Raja (saat ini Kawasan Silang Monas).
Peran Halte Koningsplein segera digantikan dengan ada pembangunan Stasiun Weltevreden yang dibuka pada 4 Oktober 1884. Jarak antara Halte Koningsplein dan Stasiun Weltevreden hanya beberapa ratus meter. Stasiun yang memiliki atas besi yang ditopang tiang besi cor melayani perjalanan kereta jarak, seperti Bandung dan Surabaya.
Sekitar tahun 1937, nama Stasiun Weltevreden diganti menjadi Stasiun Batavia Koningsplein. Kemudian, Stasiun Batavia Koningsplein dikenal pula dengan Stasiun Gambir.
Menurut penjelasan di heritage.kai.id, “Terkait penamaan Gambir belum diketahui kapan pastinya, diduga sekitar tahun 1922. Saat itu masyarakat menyebut Koningsplein dengan Lapangan Gambir, konon kabarnya karena di lapangan tersebut tumbuh Pohon Gambir. Pohon yang getahnya dapat disadap sebagai bahan baku pembuat gambir, salah satu bumbu untuk menyirih.”