Butet Kartaredjasa dan Panggung Politik Para Seniman

| 27 Jun 2023 16:28
Butet Kartaredjasa dan Panggung Politik Para Seniman
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

Bukankah menjadi juragan juga menjadi hak setiap kuli, eh bangsa? Hakekat kuli itu ya cuma jadi orang suruhan. Orang yang berposisi “di”, tidak pernah menempati posisi “me”. 

ERA.id - Paragraf sebelumnya adalah petikan adegan dalam monolog Lidah Pingsan karya Agus Noor dan Indra Trenggono. Pada 1997, setahun pasca majalah Tempo dibredel pemerintah dan setahun sebelum pecah reformasi, lakon itu dihidupkan oleh penampilan fantastis dari pria yang kelak dikenal sebagai Raja Monolog, Butet Kartaredjasa.

Monolog yang melambungkan nama Butet itu bercerita tentang wartawan yang mau menuliskan berita penghilangan paksa seorang anak dan peran Pak Lurah di baliknya. Namun, wartawan tadi ragu-ragu dan lidahnya jadi kelu setelah sadar Pak Lurah adalah pemilik mayoritas saham kantornya. Pak Lurah memaksanya bungkam, dan ia lagi-lagi merasa sebagai orang suruhan yang selalu dipandang sebagai alat.

Dalam dunia kesenian di Indonesia, Butet adalah pemain lama yang disegani dan sempat jadi salah satu yang paling populer di mata masyarakat. Bersama aktor kawakan Slamet Rahardjo, namanya kian semarak saat membawakan sketsa komedi satir Sentilan Sentilun di MetroTV. 

Slamet memainkan peran sebagai majikan yang bijak, sementara Butet sendiri berperan jadi jongos yang intelek. Berdua mereka menertawakan kondisi politik tanah air yang carut-marut dan nyentil pejabat sana-sini. Selain itu, Butet juga pernah rutin menulis rubrik Celathu di Harian Suara Merdeka yang kemudian dibukukan dalam Presiden Guyonan pada 2008.

Butet Kartaredjasa dan Slamet Rahardjo dalam peran Sentilan Sentilun. (Istimewa)

Hari ini, orang-orang banyak yang memelesetkan nama "Sentilan Sentilun" jadi "Jilatin Jilatun" pasca penampilan Butet dalam peringatan Bulan Bung Karno di Jakarta kemarin. Berbaju merah sambil menyangga tubuhnya dengan tongkat jalan, Butet membacakan “puisi” politik di hadapan puluhan ribu kader PDIP. 

“Di sini semangat meneruskan, di sana maunya perubahan. Oh begitulah sebuah persaingan. Di sini nyebutnya banjir, di sana nyebutnya air yang markir. Ya, begitulah kalau otaknya pandir,” seru Butet. “Pepes ikan dengan sambel terong, semakin nikmat tambah daging empal. Orangnya diteropong KPK karena nyolong, eh lha, kok koar-koar mau dijegal.”

Butet memang tak menyebut nama, tapi banyak orang menafsirkan yang dimaksud adalah Anies Baswedan. Air parkir, isu korupsi, dijegal menuju 2024, semua mengarah ke satu nama.

“Jagoan Pak Jokowi rambutnya putih, gigih bekerja sampai jungkir balik. Hati seluruh rakyat Indonesia pasti akan sedih jika kelak ada presiden hobinya kok menculik,” lanjut Butet. Lagi-lagi kita mafhum ke mana frasa 'hobi menculik' dialamatkan. Meminjam jawaban netizen Twitter sosok yang dimaksud diduga adalah Prabowo Subianto.

Jujur saja, menyaksikan penampilan Butet kemarin, pria berusia 62 tahun itu lebih terlihat seperti seorang politikus ketimbang seniman. Pengamat politik Hendri Satrio juga kedengaran heran saat kami hubungi. 

“Sebagian besar yang mengenal beliau sebagai seniman tentu saja bingung dan kecewa karena kan seniman ini dianggap tidak berpolitik dan tidak berpihak,” ujarnya kepada ERA, Senin (26/6/2023). “Nah kemarin nampaknya Mas Butet ingin sekali menunjukkan bahwa dirinya ini seniman yang PDIP.”

Butet menampilkan monolog bertajuk Sarimin. (ANTARA/Fanny Octavianus)

Seniman yang PDIP kedengaran menggelitik di telinga kami. Karena selama ini saya mengira seniman itu sama seperti cendekiawan yang pernah dituturkan Rendra, yaitu “berumah di angin”. Mereka menjaga jarak dari kekuasaan agar bisa menyaksikan sekeliling dengan bebas, bernas, dan jernih. Kami menemukan Butet yang seperti itu di lakon-lakon Monolognya: Lidah Pingsan, Lidah (Masih) Pingsan, Mayat Terhormat, atau Matinya Toekang Kritik. Kami juga menemukannya di Sentilan Sentilun hingga rubrik Celathu. Namun, tidak di acara PDIP kemarin.

“Saya mencoba mengerti Mas Butet ya mungkin dia juga sudah memiliki kartu anggota PDIP, sehingga pada saat tampil itu–karena memang acara rapat konsolidasi internalnya PDIP–mungkin dia tampil sebagai anggota PDIP,” jelas Hendri. “Ataupun kalau dia diundang sebagai seniman, mungkin dia menganggap itu acara internal.”

Menilai karya seni jalur politik

Butet pada suatu wawancara pernah mengaku ikut andil membuat orang-orang salah kaprah terhadap seni–khususnya monolog yang ia lakoni. “Semenjak 1997 ketika saya memainkan lakon Lidah Pingsan ... dan lakon-lakon lain yang temanya sangat politis, orang beranggapan seni monolog itu harus bertema politik,” jawabnya kepada Whani Darmawan. Setelah itu Butet membawakan lakon Kucing, adaptasi dari cerpen Putu Wijaya yang jauh dari tema politik.

Wawancara itu mengingatkan saya dengan Adriano Qalbi, komika tanah air yang pernah bilang bahwa seni yang bagus itu ketika pesan yang ingin disampaikan tidak dominan dan berada di bawah bentuk seni itu sendiri. Misalnya, dalam seni komedi, karya itu dianggap berhasil ketika lucu, bukan ketika penuh pesan bermakna. Kalau sebuah pertunjukan komedi hanya berisi pesan moral dan tidak ada yang ketawa, apa bedanya dengan pidato kebangsaan?

Saya kira pendapat tadi masuk akal. Seniman juga manusia yang punya opini dan sikap masing-masing. Sementara seni menjadi wadah untuk mengekspresikan ide dan emosi yang berkecamuk dalam tubuh. Masalahnya, karya seni akan makin terkikis nilai keseniannya saat ia terlalu padat pesan tanpa menyisakan ruang untuk berbagai penafsiran. Rasanya akan hambar dan kita yang menontonnya hanya akan merasa digurui.

Butet dalam salah satu penampilan monolognya. (Istimewa)

Harus diakui, apa yang ditampilkan Butet kemarin seperti hidangan yang hambar, tak ubahnya puisi-puisi Fadli Zon yang menyerang Ahok dan Jokowi. Hanya bermain pantun dan miskin metafor. Tak jauh beda saat Fadli Zon menulis: kau seenaknya korupsi, dari rumah sakit hingga reklamasi, memenuhi nafsu ambisi.

Bedanya, Fadli Zon memang dasarnya politikus, sedangkan Butet diakui sebagai seniman veteran. Kita maklum saja kalau yang pertama tak begitu becus menulis puisi, tetapi harusnya Butet bisa menghasilkan yang lebih bagus lagi. Wajar kalau kita kecewa.

Sebetulnya pun sudah lumrah politik kita meminjam tangan-tangan seniman untuk memuluskan agendanya. Semua kubu tak mau ketinggalan memakai jasa mereka: mulai dari kiri-kanan, agamis-nasionalis, hingga tua-muda. 2019 silam kubu Prabowo misalnya punya Ahmad Dhani, sedangkan Jokowi menggandeng Slank. Sialnya, karya-karya seni yang dihasilkan tiap kubu kebanyakan ala kadarnya. Kubu Prabowo punya lagu 2019 Ganti Presiden, sebaliknya, yang satu punya lagu Bareng Jokowi, kedua-duanya kurang asyik didengar. Buktinya, tak ada lagi yang menyanyikannya hari ini.

Ketika seniman berdiri di dua kaki

Sekitar 16 tahun silam, Butet yang waktu itu berperan jadi presiden di program Republik Mimpi ditanya kemungkinannya jadi presiden sungguhan. “Menjadi pejabat sangat protokoler,” jawabnya. “Perjuangan yang saya lakukan di bidang kebudayaan bisa bergerak di semua lini kehidupan, tidak formal, tidak protokoler, tapi sampai ke substansi, dan mudah-mudahan bisa membawa hasil.”

Seni dan budaya, seperti juga yang disinggung Butet, sejak lama jadi jalan alternatif penyeimbang kekuasaan. Ketika rakyat sengsara, ekonomi tak merata, pendidikan rendah, kekerasan aparat merajalela, hukum diakali, seniman (dulu) selalu menjadi telinga yang mendengarkan keluhan rakyat, merenunginya, dan menampilkan unek-unek tadi lewat berbagai karya seni sebagai penyambung lidah rakyat. 

Maka, ketika banyak seniman berbondong-bondong merapat ke penguasa, rakyat kehilangan satu per satu pembelanya sambil memandangi punggung mereka yang berjalan menjauh. Siapa lagi yang tersisa untuk membela kepentingan rakyat? 

Yang lebih sial lagi, selain meninggalkan rakyat di belakang, penampilan Butet kemarin ibarat mengadu domba lagi akar rumput yang dulu terpecah begitu parahnya. Masih hangat di memori kita betapa pemilu 2019 menyisakan abu permusuhan yang begitu kentara: suami-istri bisa saling ribut dan pisah ranjang gara-gara beda pilihan presiden; sesama keluarga bisa saling putus silaturahmi; masyarakat terbelah jadi cebong dan kampret.

Lima tahun berlalu dan kita seakan-akan merasa sudah belajar dari masa lalu. Mengapa harus meributkan yang di atas kalau mereka tak ada yang peduli kehidupan di bawah? Rakyat babak-belur, eh Prabowo ujung-ujungnya jadi menteri dan sekarang akrab betul dengan Jokowi. Begitu kita sudah mulai berdamai, Butet datang menggambar garis pembatas lagi. Ia menggunakan diksi “di sini” untuk menunjuk “golongan kami”, dan “di sana” untuk menunjuk “golongan mereka”. Apa bedanya dengan para politikus? 

Namun, Butet bukan pemain politik aktif. Ia mungkin simpatisan PDIP, tapi belum tercium bakal maju pemilu. Ia mempertahankan baju seniman dan di situlah masalahnya. Di satu sisi kakinya berada di masyarakat, di sisi lain menapak ke penguasa. Pertanyaannya, sampai kapan keseimbangan itu bisa terjaga? Dan di sebelah mana kakinya akan lebih condong? Justru orang-orang seperti Giring Ganesha lebih jelas sikapnya. Ia nekat meninggalkan musik dan terjun jadi politikus tulen. Setidaknya itu patut diapresiasi.

Peluncuran lagu resmi kampanye bakal capres Ganjar Pranowo di sela Rakernas III PDI Perjuangan di Jakarta, Rabu (7/6/2023). (ANTARA/Akbar Nugroho)

Bila menoleh ke belakang, waktu acara Kampanye Damai tahun 2009 yang dihadiri semua kandidat capres, Butet menampilkan monolognya dan menyentil SBY. “Pemberantasan korupsi mestinya tidak boleh pandang bulu, siapa pun itu. Baik menteri, mantan menteri, atau siapa pun, bukannya malah didutabesarkan,” kata Butet.

Ia tampil mewakili tim kesenian Megawati yang nyalon jadi presiden. Siapa cawapresnya? Prabowo. Orang yang sama yang disinggung Butet kemarin sebagai “hobi menculik”. Berarti, 14 tahun lalu, pandangannya terhadap Prabowo tak sekeras sekarang.

Hari ini, Megawati dan Prabowo berpisah jalan. Keduanya berubah, yang masih sama adalah Butet. Ia masih seniman pendukung Megawati dan PDIP. Meminjam istilah dari monolog yang pernah dimainkan Butet, seniman seperti itu tampaknya lebih cocok disebut sebagai seniman kuli, dan “hakekat kuli itu ya cuma jadi orang suruhan”. 

Saya sempat bertanya ke sastrawan Batak yang tinggal di Yogyakarta, Saut Situmorang, mengenai pendapatnya soal penampilan Butet kemarin. Ia hanya menjawab singkat. "Di setiap rezim ada kan yang kayak dia itu. Pertanyaan yang relevan adalah apa kita mau jadi kayak mereka itu?"

Saut, mengutip Karl Marx, bilang bahwa sejarah mengulang dirinya. "Pertama sebagai tragedi, kedua sebagai komedi," sebutnya. "Nah yang terjadi saat ini adalah komedi kaum elite intelektual Indon."

Rekomendasi