Sederhana tapi Bikin Pejuang Kereta Happy

| 29 Nov 2023 06:35
Sederhana tapi Bikin Pejuang Kereta Happy
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Sejak mengontrak rumah di Cikarang, saya selalu mengandalkan kereta untuk pulang-pergi ngantor di bilangan Tanah Abang. Bagi pekerja ibu kota yang tinggal di Bekasi, Cikarang, Karawang, dan sekitarnya, saya kira kereta jadi pilihan paling masuk akal sebagai moda transportasi harian. Bebas macet, terjangkau, dan jam keberangkatannya tersedia sampai tengah malam.

Setelah berbulan-bulan menjadi pejuang kereta, saya merasa bersyukur dengan perkembangan moda transportasi Jabodetabek, tapi sekaligus berandai-andai bagaimana jadinya bila proyek-proyek transportasi umum digarap lebih serius? Bagaimana jika, misalnya, armada commuter line dan jalurnya lebih banyak lagi?

Penampakan Stasiun Tanah Abang. (ERA/Agus Ghulam)

Kereta untuk saat ini memang cukup handal menjadi sahabat pekerja Jabodetabek. Namun, dari sudut pandang saya sebagai pelanggan, masih banyak celah untuk diperbaiki. Setidaknya perbaikan layanan kereta bisa ikut berkontribusi mewujudkan target penggunaan angkutan umum sebesar 60 persen dari total pergerakan orang di Jabodetabek pada 2029.

Karena berdasarkan survei Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) tahun 2021, sebetulnya banyak masyarakat yang ingin beralih ke transportasi publik. Sebanyak 90,15 persen responden menyatakan minat mereka untuk pindah, tetapi terkendala kondisi angkutan umum yang tingkat keamanan dan kenyamanannya rendah. 

Berikut ini catatan saya tentang beberapa hal sederhana tapi bisa bikin pejuang kereta lebih berselera naik kereta tiap hari.

Jadwal kereta lebih banyak

Setiap berangkat kerja, saya menggunakan rute commuter line Cikarang-Angke atau Cikarang-Kampung Bandan via Manggarai lalu turun di Stasiun Tanah Abang (harga tiket Rp5 ribu). Setelah itu saya tinggal memesan ojek online (paling murah Rp10 ribu kalau lagi promo) atau naik angkot nomor 08 jurusan Jakarta Kota (Rp4 ribu). 

Saya tidak bisa komplain soal harga kereta. Dengan jarak nyaris 50 km dan hanya mengeluarkan uang Rp5 ribu sekali jalan itu sudah hemat sekali. Namun, kendala yang saya temui tiap pulang-pergi kerja justru di waktu. 

Kereta memang anti macet. Tiap jam pulang kerja dan Jakarta sedang ramai-ramainya, saya bisa menertawakan orang-orang dalam mobil yang tertahan di jalan dari gerbong kereta. Namun, sayangnya, jadwal kereta rute Cikarang masih jarang-jarang. Sekalinya ketinggalan kereta, saya bisa menunggu hingga setengah jam sebelum kereta berikutnya tiba.

Tangkapan layar sebagian jadwal kereta rute Tanah Abang-Cikarang di aplikasi KAI Access.

Saya iseng-iseng menghitung berapa waktu rata-rata penumpang harus menunggu kereta jurusan Stasiun Cikarang dari Stasiun Tanah Abang. Ada sekitar 47 keberangkatan kereta berdasarkan penelusuran saya di aplikasi KAI Access. Kereta rute Tanah Abang-Cikarang tersedia dari pukul 06.32 hingga 23.59. 

Paling cepat penumpang hanya menunggu 5 menit sebelum kereta berikutnya tiba dan paling lama hingga 1 jam 27 menit. Adapun waktu rata-rata menunggunya sekitar 22 menit—hampir setengah jam. Katakanlah saya dua kali ketinggalan kereta, maka saya harus merelakan satu jam dalam sehari untuk menunggu kereta datang.

Beberapa penumpang menunggu di Stasiun Manggarai. (ERA/Agus Ghulam)

Wajar banyak orang marah-marah waktu ada ibu dewan yang terhormat merasa tak perlu impor kereta lagi. Ia bilang, chaos hanya terjadi pas tahun baru dan lebaran. Buat apa tambahan kereta?

Saya hakulyakin ibu dewan dari partai yang mengaku peduli “wong cilik” itu tak pernah naik kereta ke kantornya di Senayan. Ia tentu tak percaya kalau saya bilang Stasiun Tanah Abang ramai terus tiap hari kerja walau kita tunggui sampai jam 9 malam. 

Fasilitas penunjang kenyamanan lebih diperhatikan

Saya sering menemukan penumpang kereta tertidur. Biasanya mereka dibangunkan saat ada yang lebih membutuhkan kursi (lansia, orang tua membawa anak kecil, ibu hamil, atau difabel), atau terbangun sendiri karena goncangan kereta. Setelah bangun dari alam bawah sadar, mereka biasanya akan mengecek jam dan mencari tahu kereta sudah sampai stasiun mana.

Saya beberapa kali mengalaminya sendiri—jadi penumpang yang ketiduran—dan beberapa kali kelewatan stasiun tujuan. Tiga kali saya bablas hingga Stasiun Angke karena luput turun di Tanah Abang. Terkadang saya juga melihat penumpang apes lain seperti saya.

Masalahnya, kita agak kesulitan mencari tahu posisi kereta hanya dengan mengandalkan pengumuman dari speaker. Padahal, di setiap gerbong ada layar. Namun, isinya hanya iklan dan tak pernah sekali pun saya lihat mereka menunjukkan informasi stasiun berikutnya seperti di MRT.

Walhasil, penumpang kereta dituntut awas menyimak pengumuman dan mengecek tanda nama stasiun di luar jendela. Sementara kita tahu, kebanyakan penumpang kereta adalah orang-orang yang kelelahan. 

Layar yang ada di tiap gerbong kereta commuter line. (ERA/Agus Ghulam)

Jadi saran saya kepada pengelola, di samping mengisi layar-layar gerbong dengan iklan layanan masyarakat dan komersial, alangkah bagusnya jika ditambahi keterangan seperti posisi kereta dan stasiun pemberhentian selanjutnya. 

Stasiun lebih dipelihara

Apalah arti kereta tanpa stasiun. Keduanya dwi tunggal yang tak bisa dipisahkan. Selain sebagai pemberhentian kereta, stasiun juga tempat singgah para penumpang. Dan untuk membuat orang-orang beralih menggunakan kereta, tak cukup hanya keretanya yang dipermak dan mengabaikan kenyamanan stasiun.

Sayangnya, masih banyak stasiun kereta Jabodetabek kurang dirawat. Tolak ukurnya gampang saja, masih sering saya temui eskalator rusak dan dalam perbaikan yang entah kapan kelar. Di Tanah Abang misalnya, bolak-balik eskalator utama dekat pintu masuk dan menuju peron 1 tak berfungsi. Sekalinya berfungsi, tak lama rusak lagi, diperbaiki lagi.

Di Bekasi lebih parah. Beberapa penumpang curhat eskalator turun dari lantai 1 ke lantai dasar sudah rusak lima bulan hingga hari ini (28/11/2023). Meskipun saya jarang naik dan turun di Stasiun Bekasi, dari cerita yang beredar, sebelumnya sudah banyak eskalator di sana tak berfungsi: 2 sisi di pintu selatan, 1 sisi di pintu utara, 1 sisi di peron 4-5, dan 2 sisi di peron 6-7. 

Eskalator di Stasiun Manggarai juga langganan rusak. Terakhir, baru kemarin saya lihat salah satunya di peron 10-11 masih mati. 

Masalah eskalator ini sudah banyak yang mengeluh di media sosial. Admin KAI menanggapi satu-satu dengan sabar dan penuh template: Maaf, sudah diteruskan ke unit-unit terkait, dan terima kasih. Namun, para pejuang kereta tentu sadar jawaban-jawaban di media sosial tak jauh beda dengan janji-janji kampanye—dipenuhi ya syukur, diabaikan ya sudah. 

31 Oktober lalu saya pernah melaporkan terkait ketidaknyamanan toilet Stasiun Tanah Abang. Admin menjawab begini: Mohon maaf atas ketidaknyamanannya Perihal laporannya kami sampaikan ke unit terkait untuk dilakukan pengecekan. Saya tunggu-tunggu sampai hari ini, tak ada yang berubah. Semua yang saya keluhkan masih jadi keluhan.

Stasiun Tanah Abang memang tak seberapa parah soal eskalator, tapi soal toilet bisa diadu. Sebagai salah satu stasiun transit besar, toilet di sana digarap seadanya. Pertama, sempit dan selalu becek. 

Kedua, hanya ada satu urinoir yang “agak” berfungsi dengan baik (urinoir pertama sebelah kiri dari pintu masuk). Saya pernah sekali melihat bapak-bapak lansia bolak-balik kebingungan dari satu urinoir ke urinoir lain sambil memegangi burungnya karena tak bisa cebok.

Penampakan tisu di toilet Stasiun Tanah Abang yang ketinggian. (ERA/Agus Ghulam)

Ketiga, letak tisu wastafel yang tak masuk akal. Tinggi saya 171 cm dan masih harus berjinjit untuk menggapai tisunya. Saya sempat mengira toilet itu memang dikhususkan bagi atlet NBA. Semua orang yang saya temui di toilet Stasiun Tanah Abang selalu menyerah mengeringkan tangan mereka dengan tisu.

Etiket tak tertulis penumpang kereta

Selain keluhan-keluhan di atas yang harus ditangani pengelola dan pemerintah, hal sederhana lain yang bisa membuat pejuang kereta senang adalah pengertian dari sesama pejuang kereta. 

Sepanjang pengalaman naik kereta, ada beberapa unspoken rules atau etiket tak tertulis yang saya pelajari. 

Pertama, sebelah kanan eskalator diperuntukkan bagi mereka yang buru-buru. Sebelah kiri diam, sebelah kanan jalan. Ada yang bilang tidak bagus berjalan di eskalator, tapi jujur itu sangat membantu saat rush hour. Lebih amannya lagi memang berjalan lewat tangga.

Kedua, kalau top-up kartu multi trip (KMT) di loket, persiapkan dulu kartu dan uangnya. Jangan bikin antrian terlalu panjang karena semua pejuang kereta berkejaran dengan waktu.

Ketiga, dahulukan penumpang keluar. Jangan masuk menyalip penumpang yang hendak turun. Keempat, jangan main hp saat berjalan di peron apalagi naik-turun eskalator dan tangga.

Kelima, jangan taruh barang di kursi sebelah. Keenam, jangan duduk mengangkang lebar karena menghalangi penumpang lain duduk. 

Ketujuh, perempuan dan laki-laki sama di hadapan kursi kereta. Kecuali perempuan itu lansia, sedang hamil, membawa anak-anak, atau difabel, laki-laki tak perlu merasa punya kewajiban moral untuk bertukar duduk. 

Kedelapan, jangan mengobrol atau menelepon keras-keras seolah-olah penumpang segerbong akan peduli. 

Kira-kira itu beberapa hal yang saya pelajari selama menjadi pejuang kereta. Kalau ada yang kurang, tentu kita bisa sama-sama temukan sisanya di jalan. 

Rekomendasi