ERA.id - Presiden Joko Widodo meninjau Stadion Kanjuruhan pada Rabu (5/10/2022) pasca tragedi sepak bola yang menewaskan 131 orang. Setelah menyusuri bekas-bekas kekacauan di lapangan dan tribun, Jokowi mendapatkan kesimpulan seperti turun ilham dari langit.
“Tadi saya melihat, bahwa problemnya ada di pintu yang terkunci, dan juga tangga yang terlalu tajam,” ucapnya di hadapan para wartawan.
Sayang sekali tidak ada yang bertanya kepada Jokowi, apa yang menyebabkan orang-orang malang itu harus berdesak-desakan melarikan diri dari stadion seperti dikejar hewan buas? Apa yang menyebabkan mereka–orang-orang yang mati terinjak-injak dan kehabisan napas itu–memaksakan diri untuk segera keluar, meski tahu pintu di hadapan mereka sempit dan terkunci?
Mengenang Jokowi yang Dulu
Rusdi Mathari, wartawan senior asal Situbondo pernah menulis sosok Jokowi sebagai orang kecil dengan ide-ide besar. Catatan itu ditulis dengan indah dan diberi judul Solo dan Manusia yang Berubah. Cak Rusdi menuturkan bagaimana gaya kepemimpinan Jokowi semasa memimpin Solo (2005-2012).
Jokowi sebelumnya sibuk sebagai juragan mebel, dan ia bukan sembarang pengusaha. Pabriknya ada tujuh, produknya ia ekspor sampai ke Eropa dan Cina. Ketika terpilih sebagai Wali Kota Surakarta, pabriknya tinggal dua, sisanya ia jual untuk membiayai kegiatannya sebagai wali kota.
Sebelum meninggalkan kota kelahirannya untuk menjadi gubernur DKI, Jokowi mewariskan banyak perubahan di sana. Ia memindahkan ratusan pedagang kaki lima dari Banjarsari ke Pasar Klithikan Notoharjo, mengembalikan Banjarsari ke fitrahnya sebagai taman yang asri.
Seluruh pedagang loak di Banjarsari bersedia pindah dengan sukarela, tanpa kekerasan. Tentu saja niat Jokowi memindahkan mereka tak langsung diterima dengan baik, berkali-kali ia mengalami penolakan, berkali-kali juga ia kembali untuk mengajak mereka bicara. Jokowi menemui mereka lebih dari 50 kali sepanjang tujuh bulan.
Saat hari pemindahan, Jokowi diarak pedagang ramai-ramai, tentu saja karena mereka bahagia mendapat kios baru gratis, tempat berdagang yang jauh lebih layak dari pinggiran Taman Banjarsari.
Jokowi juga berhasil membebaskan bantaran Sungai Bengawan Solo, sumber dari momok banjir yang mengintai warga Solo saban tahun. Ia membujuk warga yang mendiami bantaran sungai untuk meninggalkan gubuknya, lagi-lagi tanpa kekerasan, dengan menawarkan berbagai skema pemindahan dan ganti rugi.
Cak Rusdi menulis, setelah Jokowi jadi gubernur DKI, ia masih sering menghubungi warga yang dipindahkan itu. Ia menanyakan kabar mereka untuk memastikan bahwa mereka baik-baik saja.
Ironi Jokowi
Kemenangan Jokowi dalam pilpres 2014 membawa banyak harapan baru, khususnya bagi rakyat kecil. Kedekatannya dengan rakyat sejak memimpin Solo adalah angin yang meniupkan kabar gembira akan adanya perbaikan institusi yang korup, pendekatan humanis dalam konflik, dan kemandirian dari partai politik atau pemilik modal.
Jika membaca tulisan Cak Rusdi sebelumnya, kita akan melihat Jokowi sebagai sosok yang egaliter, demokratis, mengedepankan musyawarah, dan mendengar suara rakyat. Kita merasa Jokowi sama seperti kita, sama seperti rakyat, manusia yang mudah dijangkau.
Ketika dulu banyak yang menyebut Jokowi sebagai “capres setengah dewa” karena popularitasnya, Jokowi menjawab pertanyaan wartawan sambil ketawa, “Saya manusia biasa, makan nasi.”
Pada awalnya kita dengan mudah merasa dekat dengan Jokowi. Namun, seperti yang dikatakan seorang sosiolog, Geger Riyanto, Jokowi adalah paradoks demokrasi. Terpilihnya Jokowi sebagai presiden adalah kemenangan demokratis “orang luar politik” dari “orang dalam politik”, dan kemenangan itu harus dibayar mahal.
Jokowi masuk ke politik tanpa penyokong yang kuat. Maka, untuk mendapatkan dan mempertahankan dukungan di sisa masa jabatannya, Jokowi memang harus memberi dukungan kepada yang lain. Dan sepertinya, jika melihat bagaimana sikap Jokowi pasca Tragedi Kanjuruhan, dukungan yang ia cari bukan berasal dari rakyat.
Kita semua tahu mengapa ribuan Aremania sampai panik kalang-kabut malam itu, tapi Jokowi tak pernah bilang kalau itu karena gas air mata. Bahkan, berdasarkan hasil investigasi sementara, Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam mengungkapkan ada indikasi banyak korban Tragedi Kanjuruhan tewas karena gas air mata.
"Pertama adalah kondisi jenazahnya banyak yang mukanya biru, jadi (korban tewas yang) muka biru ini banyak. Ini yang menunjukkan kemungkinan besar karena kekurangan oksigen karena juga gas air mata. Jadi muka biru, terus ada yang matanya merah, keluar juga busa (dari mulutnya)," kata Anam dalam keterangannya, Rabu (05/10/2022).
Lalu, siapa yang menembakkan gas air mata itu? Kita semua juga sama-sama tahu jawabannya.
Andai saja Rusdi Mathari masih hidup hari ini, mungkin ia akan menulis catatan lain menanggapi tulisannya sendiri, dan memberinya judul: Jokowi dan Manusia yang Berubah.
(Agus Ghulam)