ERA.id - Ada dua toilet di kantor saya, sebelah kanan punya label laki-laki, sebelah kiri perempuan. Di dalam sana yang membedakan keduanya hanya urinoir. Meski dipisah antara laki-laki dan perempuan, sebetulnya itu hanya formalitas saja. Pokoknya kalau ada yang kosong, siapa pun bisa masuk, terserah jenis kelaminnya apa. Dan semua sama-sama paham.
Hanya saja, kebanyakan perempuan di kantor saya lebih suka pakai toilet perempuan, dan suka cemberut kalau ada laki-laki yang memakainya. Alasannya sederhana: kebanyakan laki-laki di kantor saya agak jorok. Karena mereka bisa pipis dan cebok sambil berdiri, maka wc duduk yang mereka pakai pipis hampir selalu belepotan dan basah dudukannya. Bagi para perempuan yang masuk sesudahnya tentu merasa itu seperti “nyebokin berak orang”.
Saya sempat berpikir, mungkin itu juga salah satu alasannya kenapa dulu toilet dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Dan hari ini saya hidup di zaman ketika pembagian toilet macam itu menjadi problematika baru dunia karena dianggap sebagai diskriminasi bagi sebagian identitas gender. Kira-kira pertanyaannya begini: kalau toilet dibagi dua, ke mana mereka yang trans harus buang hajat?
Ada satu opini di Magdalena yang saya baca soal isu ini, judulnya Toilet bagi Semua. Persoalan yang diangkat seputar keresahan teman-teman trans mengakses toilet di tempat umum. Contoh kasusnya: seorang transpuan tidak bisa memakai toilet laki-laki karena penampilannya feminim dan merasa segan masuk ke toilet perempuan karena takut mengganggu. Kesimpulannya: harus ada toilet uniseks yang bisa dipakai bersama tanpa membedakan laki-laki atau perempuan.
Setelah menyinggung perempuan yang merasa tak nyaman berada satu toilet dengan transpuan dan menyimpulkannya sebagai homofobik, penulis lalu berargumen bahwa toilet uniseks bukan penemuan baru.
“Kita sesungguhnya bisa menemukan toilet tanpa embel-embel identitas gender di mana pun. Di pesawat terbang misalnya, toilet di sana tidak ada identitas gender semua bisa menggunakan secara bergantian,” tulisnya. “Apakah para perempuan di pesawat sana merasa terancam karena harus berbagi toilet dengan lelaki lainnya? Tentu tidak.”
Opini di atas, meski tujuannya baik sekali pun demi membela hak-hak minoritas, tapi menurut saya argumennya terlalu memaksa dan kurang ngena, mudah dibantah. Pertama, penulis mengesampingkan isu soal kerentanan perempuan di tempat publik dan keburu menghentikan diskusi soal kebutuhan toilet terpisah dengan melabelinya sebagai wacana homofobik. Kedua, analogi yang dipakai salah sasaran.
Mengapa toilet dipisah dan isu yang menyertainya
Saya bakal mengutip satu paragraf dalam tulisan Toilet bagi Semua yang saya baca, begini bunyinya:
“Aku mendengar opini dari perempuan cisgender yang homofobik tentang ini. Ia menolak untuk berbagi toilet dengan transpuan. Alasannya adalah walau bagaimana pun transpuan adalah lelaki dan dia merasa terancam akan kehadiran perempuan “jadi-jadian” di toilet khusus perempuan. Bagiku, opini buruk perempuan cisgender ini tidak layak untuk didengarkan.”
Saya percaya ketika ingin membela hak seseorang, kita harus mendengarkan opini apa pun yang keluar dari pihak berlawanan. Bayangkan saja bagaimana jadinya pengacara yang hanya ingin mendengar suaranya sendiri tanpa menghiraukan pendapat jaksa, begitu juga sebaliknya. Keduanya pasti memerhatikan satu sama lain, kalau tidak begitu, bagaimana mereka mempersiapkan kontra argumennya?
Sekarang, ketika ada perempuan bilang mereka takut satu toilet bersama dengan perempuan “jadi-jadian”, alih-alih terbawa emosi, mestinya kita tarik lebih jauh lagi. Yang mereka takuti sebetulnya kan laki-laki. Mereka merasa tidak aman dan nyaman berada satu ruangan dengan lawan jenis. Dan mereka memandang transpuan cenderung kepada laki-laki ketimbang perempuan.
Dari situ saja kita bisa diskusi lebih panjang: Mengapa transpuan tetap dipandang sebagai laki-laki? Mengapa banyak orang cenderung melihat gender asal? Mengapa perempuan merasa tidak aman di ruang publik bersama laki-laki? Mengapa ada ruang khusus perempuan? Mengapa tak ada tempat untuk transpuan?
Pertanyaan serupa juga bisa kita tarik ke kasus-kasus lain, misalnya dalam olahraga profesional. Di mana tempat untuk atlet transpuan? Apakah mantan pebasket laki-laki yang bertransisi menjadi perempuan bisa berlaga di liga basket perempuan (WBL)? Dan jika bisa, apakah sudah cukup adil bagi semua?
Mari kesampingkan soal itu, di sini saya ingin ngobrol lebih banyak seputar toilet bergender dan fokus ke sana. Pertama-tama, saya melihat toilet perempuan seperti halnya gerbong khusus perempuan, tempat parkir khusus perempuan, dan fasilitas umum lain yang eksklusif untuk perempuan. Semua itu pada awalnya bukan diciptakan untuk mendiskriminasi.
Beda halnya dengan pemisahan toilet untuk orang kulit hitam dan kulit putih di Amerika hingga pertengahan abad ke-20 seperti bisa kita tonton di film Hidden Figures atau Green Book. Atau belum lama ini, pemisahan toilet khusus pengunjung dan sopir ojol di sebuah mall di Jakarta. Kedua contoh tadi kan jelas terasa diskriminatif.
Dalam sebuah makalah berjudul Sex-Separation in Public Restrooms: Law, Architecture, and Gender oleh Terry S. Kogan, disebutkan kalau pemisahan toilet mulai populer di Amerika pada era Victoria, sekitar akhir abad ke-19. Alasannya kurang lebih ada empat: menyediakan tempat aman bagi tubuh perempuan, menyediakan akses toilet yang memadai dan bersih bagi pekerja, menjaga privasi, dan melindungi moralitas sosial.
“Para ilmuwan ‘menemukan’ bahwa tubuh perempuan secara bawaan lebih lemah daripada laki-laki, dan karenanya, perempuan sangat rentan ketika mereka pergi ke ranah publik,” tulis Kogan dalam salah satu paragrafnya.
Ia juga menambahkan, “Toilet umum yang terpisah untuk pria dan perempuan menumbuhkan pemahaman sosial yang halus bahwa perempuan pada dasarnya rentan dan membutuhkan perlindungan saat berada di tempat umum, sedangkan pria pada dasarnya predator.”
Ketika kita menuduh seorang perempuan cisgender sebagai homofobik, mungkin sebetulnya yang ia takuti adalah pengalamannya dengan laki-laki. Perasaan dan sumber ketakutan ini harusnya tidak sertamerta diabaikan saat berdiskusi soal ruang publik yang sama-sama kita pakai.
Toilet uniseks, perlu atau tidak?
Nadya Karima, penulis Toilet bagi Semua, merepresentasikan toilet uniseks dengan toilet di pesawat yang tidak terbatas gender sekaligus tidak ada yang merasa khawatir. Padahal, saat meributkan soal toilet uniseks, yang kita maksud tentu bukan toilet per seorangan seperti di transportasi umum, tetapi toilet di tempat umum seperti mall, di mana ada beberapa bilik toilet dalam satu ruangan tertutup.
Banyak yang pro toilet uniseks atau bergender netral menganggap itu satu-satunya solusi terbaik untuk mengakomodir semua hajat orang. Kalau yang dimaksud solusi tadi adalah dengan menghapuskan toilet laki-laki dan perempuan sepenuhnya, saya tidak setuju.
Ada beberapa contoh kasus yang bisa merugikan dengan kebijakan itu. Misalnya, sebuah toilet umum uniseks di Kabukicho, Jepang, dihapus setelah empat bulan berjalan karena dianggap tidak aman bagi anak-anak dan perempuan. Banyak laki-laki yang menjadikannya tempat nongkrong dan mondar-mandir tanpa buang air. Akhirnya toilet tadi dikembalikan seperti biasa.
Lagi-lagi faktor keamanan jadi kendala. Selain itu, jangan lupakan faktor kenyamanan. Bagaimana pun, toilet terpisah lebih nyaman dipakai ketimbang toilet campur. Saya saja kadang tidak tenang kalau pipis di urinoir diapit dua laki-laki lain. Saya mungkin tidak bisa pipis kalau ada perempuan yang berkaca di wastafel selagi saya berdiri di sampingnya.
Tentu saja toilet terpisah antara laki-laki dan perempuan bukan tanpa cela sama sekali. Kogan menyebutkan beberapa konsekuensi negatifnya, antara lain: tidak ramah trans; difabel yang butuh bantuan dari pasangan lawan jenis jadi kesulitan; pengguna toilet sering kesal dengan orang tua yang membawa anak lawan jenis; hingga antrian panjang ketika salah satu toilet penuh sedangkan yang lain kosong.
Kekurangan-kekurangan tadi tentu bisa didiskusikan dan dikompromikan. Namun, sekonyong-konyong bilang kalau toilet terpisah harus dihapuskan dan diganti dengan toilet uniseks sepertinya cuma mengambil solusi lewat jalan belakang. Dalam benak saya, kompromi yang paling mending adalah menyediakan toilet uniseks bersama toilet biasa.
Kalau itu masih kejauhan, paling dekat ya berkompromi dengan diri sendiri. Pakai saja toilet yang cocok dengan kita, selesaikan hajat secepatnya, dan keluar tanpa ribut. Lagian, di toilet, orang-orang yang kebelet dengan hajat masing-masing tak akan begitu peduli dengan orang lain. Yang memperhatikan orang dalam toilet kan cuman dua: antara petugas kebersihan atau orang mesum.