Hari ketika saya lahir adalah hari ketika Budiman Sudjatmiko yang (masih) aktivis ditangkap tentara dan tidur dalam sel dengan kasur penuh bercak darah. Kejadiannya 27 tahun lalu; waktu yang ternyata lebih dari cukup untuk mengubah idealisme seseorang secara radikal.
ERA.id - Budiman adalah satu dari empat aktivis ‘98 yang namanya masih populer pasca reformasi, selain Adian Napitupulu; Fahri Hamzah; dan Fadli Zon. Sementara di masa lalu, dari keempat orang tadi, nama Budiman mungkin yang paling nyaring terdengar.
Dua tahun sebelum Orde Baru jatuh, ia ikut mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang beranggotakan banyak intelektual dan aktivis muda. Meski tanpa perwakilan di parlemen, PRD yang dengan gampangnya mengumpulkan massa dan bernyali menentang pemerintah dianggap sebagai ancaman.
Mereka–dengan Budiman sebagai kepalanya–lalu dituding sebagai biang keladi Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) antara kubu PDI Megawati dan kubu Soerjadi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat sedikitnya 5 orang tewas setelah kerusuhan; 149 luka-luka; dan 23 orang dilaporkan hilang.
Pada malam 11 Agustus 1996, Budiman mengaku ia bersama teman-temannya diringkus di Bekasi oleh orang-orang berseragam; mata mereka dibekap kain hitam; dan kepala mereka ditodong pistol. Mereka dibawa ke Badan Intelijen ABRI dan diinterogasi berhari-hari, sebelum akhirnya Budiman dijatuhi hukuman 13 tahun penjara. Beruntung Soeharto tumbang tak lama setelahnya, dan Gus Dur membebaskannya setelah Budiman mendekam 3,5 tahun di penjara Cipinang.
Budiman, mantan aktivis yang pernah disekap, dipenjara, dan kehilangan banyak teman-teman seperjuangannya itu kini mendeklarasikan dukungannya kepada Prabowo Subianto, bekas perwira yang dipecat karena catatan pelanggaran HAM termasuk penugasan Tim Mawar untuk menculik para aktivis prodemokrasi menjelang 1998.
Saat deklarasi di Semarang pada 18 Agustus kemarin, para relawan mengenakan kaus bergambar Prabowo dan Budiman berjabat tangan. Di bawahnya tertulis keterangan: PRABU PRABOWO BUDIMAN BERSATU. Sungguh sebuah oksimoron.
Saya jadi ingat Sammy Notaslimboy, komedian sekaligus mantan aktivis ‘98, pernah bilang seandainya ia bisa kembali ke era 98-99 lalu berkata kepada para aktivis kalau 25 tahun lagi Budiman dan Prabowo bakal satu poros, ia pasti dianggap orang gila.
Budiman yang saya kenal
Saya tidak kenal Budiman secara personal dan baru sekali melihatnya secara langsung. Selebihnya, saya menjangkau Budiman dari video-videonya yang bertebaran di internet dan seabrek tulisannya.
Orang bilang, jangan terlalu berekspektasi tinggi, nanti jatuhnya sakit tidak karuan. Itulah yang saya rasakan ketika membicarakan Budiman. Sebab, Budiman yang saya kenal dari membaca Anak-Anak Revolusi jauh panggang dari api dengan Budiman yang sekarang.
Dalam memoarnya yang ditulis pada 2013 itu, Budiman yang saya kenal tak jauh berbeda dengan banyak pemuda yang belum terpapar asap kotor politik. Idealismenya kuat; keberpihakannya jelas; berani melawan; selalu ingin tahu dan mencari tahu makna kebenaran.
Ia misalnya menulis bahwa sosok pemerintah yang muncul di benaknya pertama-tama adalah preman di terminal bus Cilacap. “Aku membayangkan kata ‘pemerintah’ sebagai nama orang: sosok lelaki yang kerap berbaju cokelat itu. Lelaki tua beruban itu tampak begitu berkuasa,” tulisnya.
“Hebat sekali pria sang pemerintah itu. Walau bertubuh kecil, ia dapat memaksa para sopir bus bertubuh kekar mengikuti perintahnya,” lanjutnya lagi.
Pada kesempatan lain, ia menulis bahwa kenyataan hidup ini seperti pantat panci yang berjelaga, disesaki kemiskinan; utang; bunuh diri; dan kematian. Kesadaran itu muncul setelah tetangganya yang miskin, Mbah Dimin, mati gantung diri gara-gara terjerat utang.
Jika membaca buku setebal 400-an halaman itu, kita bakal heran bagaimana bisa orang yang menulis itu adalah orang yang sama dengan penggagas Bukit Algoritma dan memilih merapat ke Prabowo.
Ada apa dengan Budiman?
Saya bilang pernah sekali ketemu Budiman secara langsung, dan lucunya itu terjadi di panggung komedi. Pria yang gayanya masih sama sejak dulu–rapi dan necis–itu datang bersama ketua umum PKB Cak Imin dan pengamat politik Feri Amsari dalam acara PETRUS LIVE 2.0: UNTUK MER(d)EKA yang diselenggarakan para komika tanah air pada malam 19 Agustus lalu.
Feri blak-blakan bilang kalau Budiman seperti mengidap sindrom Stockholm; ketika korban penculikan merasa simpati dengan penculiknya. Dan Budiman hanya tertawa mendengar itu lalu menyanggahnya saat diberi mik.
“Saya tidak akan berani untuk bertemu Prabowo kalau belum mengobrol dengan teman-teman saya,” ujar Budiman. “Selama tiga tahun saya bertemu mereka, ngobrol. Justru karena saya sudah bertemu dengan mereka saya berani.”
Ia lalu menyebut beberapa nama mulai dari Nezar Patria, Aan Rusdianto, Faisol Reza, hingga almarhum Rahardjo Waluyo Jati. Budiman mengaku membawa amanat dari teman-temannya untuk meneruskan perjuangan mereka agar tidak berakhir sia-sia.
“Air mata kita ini sering kali dipakai untuk agenda politik, mereka jual kesedihan kita, tapi ide-ide kita jarang ada yang membahas,” ucap Budiman menirukan pesan dari teman-temannya. Dan setelah lewat lebih dari 20 tahun, ia menganggap perlu ada agenda perjuangan baru.
Budiman memang menyebutkan nama-nama yang konon mendukung keputusannya. Namun, ia luput menceritakan suara teman-temannya yang lain, misalnya mantan Sekretaris Jenderal PRD yang juga teman satu selnya dulu di Cipinang, Petrus Heriyanto, yang menganggap Budiman mengkhianati kawan-kawan seperjuangannya.
“Juga mengkhianati keluarga korban penculikan. Lebih dalam lagi, dia telah mengkhianati demokrasi dan nilai-nilai kemanusian," ujar Petrus dalam rilisnya, Senin (21/8/2023).
Jika Budiman berdalih manuvernya mendukung Prabowo adalah tugas sejarah untuk menitipkan perjuangan kepada pemimpin strategis yang mampu mengemban tugas untuk memajukan Indonesia, maka Petrus menganggapnya sebagai langkah politik yang ingin menghapus jejak hitam pelaku pelanggaran HAM, meneguhkan politik impunitas, sekaligus oportunis.
“Mana yang lebih menguntungkan, tetap di PDIP tetapi karier politiknya mandek, atau berpindah ke Prabowo yang digadang-gadang akan memenangi pertarungan pilpres?” tanya Petrus.
Budiman mengaku sudah memaafkan Prabowo meskipun tidak melupakan perbuatannya di masa lalu. Namun, bukan berarti semua korban bisa begitu saja menerima permintaan maaf yang datang hanya menjelang pilpres. Tahun lalu saja, ketika salah satu anggota Tim Mawar, Untung Budiharto diangkat sebagai Panglima Kodam Jaya, banyak keluarga korban penculikan yang kecewa.
“Saya tidak tahu harus bilang apalagi, selain mengharapkan mukjizat Tuhan agar membuka hati nurani (Jokowi) sebagai presiden yang telah kami berikan mandat,” kata Fayan Siahaan, ayah dari Ucok Munandar, aktivis reformasi yang hilang diculik pada Mei 1997 dalam konferensi persnya.
Melihat Budiman sekarang, saya jadi bertanya-tanya, di mana Budiman yang dulu menolak grasi dari Presiden Habibie dan rela lebih lama dipenjara karena menerima grasi berarti mengaku salah? Di mana Budiman yang dulu berani dibui, dibuang, dan dibunuh? Budiman memang masih hidup, tapi saya sulit menemukan idealismenya masih di sana.