ERA.id - Bayangkan kita punya seorang putri, bagaimana perasaan kita ketika ia pamit berangkat sekolah dengan seragam rapi berjilbab habis disetrika, lalu melihatnya pulang dengan kepala setengah botak? Begitulah yang dihadapi 14 wali murid di salah satu sekolah menengah negeri di Lamongan, Jawa Timur.
23 Agustus lalu, 14 siswi SMPN 1 Sukodadi digunduli guru mereka gara-gara memakai jilbab tanpa ciput (dalaman jilbab). Kejadiannya waktu jam pelajaran. Mungkin di kelas sang guru melihat rambut siswinya menyembul atau poni mereka turun dan pemandangan tadi membuatnya resah. Itu bisa saja terjadi, saya juga kadang suka dengki melihat teman-teman berambut tebal gara-gara rambut saya sendiri mulai sering rontok.
Kemungkinan lain, sang guru merasa sebagai muslimah taat, atau, meminjam bahasa penyair Chairil: pemeluk teguh. Perasaan itu mungkin juga membuatnya merasa orang-orang kudu bersikap dengan norma ketaatan yang ia yakini. Dan jilbab atau kerudung sejak lama jadi simbol ketaatan muslimah. Wajar ketika melihat muslimah lain mengenakan jilbab yang masih memperlihatkan rambut dapat mengusik hatinya.
Namanya perasaan manusia tentu tak bisa dicegah, tetapi bisa dimaklumi. Namun, lain soal dengan aksi yang timbul dari perasaan tadi. Kita bisa memaklumi perasaan patah hati pria yang ditinggal nikah kekasihnya, tetapi lain soal jika ia sampai datang ke pelaminan mantannya sambil membakar tenda.
Ketika bu guru di atas merasa tidak senang melihat murid-muridnya mengenakan jilbab tanpa ciput, kita boleh setuju, boleh tidak. Namun, ketika rambut yang katanya “mahkota perempuan” sampai digunduli gara-gara itu, sewajarnya kita memilih sikap seperti yang diambil para wali murid: protes.
Saya ingat Gus Dur pernah menulis kalau “kerudung bisa jadi titik sengketa, fokus sebuah konflik sosial”. Puluhan tahun berlalu sejak Gus Dur menulis pandangannya itu, tetapi persoalan kerudung masih juga rawan konflik. Hanya saja, di Indonesia–khususnya di institusi pendidikan–posisinya berbalik. Dulu, kerudung dicap sebagai pelanggaran disiplin, sekarang sebaliknya.
Zaman orde baru dulu, memakai kerudung di sekolah-sekolah umum adalah pemandangan baru. Kata Gus Dur, ada semacam konsensus publik bahwa kerudung bukan seragam yang cocok dikenakan pelajar umum. Ditambah, pendidikan nasional menuntut keseragaman sikap dan perilaku murid-murid. Walhasil, kerudung sebagai atribut keagamaan dipaksa menyingkir dari lingkungan sekolah yang menghendaki uniformalitas.
Dampaknya bukan main-main, seperti tadi saya bilang, nekat memakai kerudung ke sekolah bakal dicap sebagai pelanggaran. Aturan baru diterbitkan pemerintah pada 1982, isinya standarisasi seragam sekolah nasional, termasuk larangan kerudung di dalamnya.
Sikap ini tak lepas dari situasi di luar sekolah, di mana pemerintah sedang sibuk-sibuknya menggembosi pengaruh massa Islam dalam politik nasional. Pada era itu kan, yang boleh lebih besar dari Golkar hanya Soeharto. Apalagi pasca pecah revolusi Islam di Iran pada 1979, gairah kesadaran beragama di kalangan pelajar makin bergemuruh. Kekuatan Islam ditengarai mulai bangkit.
Pada saat yang sama, larangan kerudung di sekolah tak membuat nyali semua siswi muslimah surut. Alih-alih nurut, demam kerudung malah merebak di mana-mana. Sebaliknya, represi sekolah makin menjadi-jadi.
Pada pertengahan 1982 di SMAN 3 Bandung, delapan siswi diancam keluar sekolah jika keukeh tak lepas kerudung. Bagai bola salju, insiden serupa terjadi di berbagai kota: mulai dari Jakarta, Semarang, hingga Surabaya. Pemerintah dan sekolah tak kenal kompromi waktu itu. Bagi para siswi berkerudung, pilihannya hanya dua: lepas kerudung atau pindah ke sekolah swasta.
Pada era 1980-an, budayawan Emha Ainun Nadjib sampai keliling mementaskan puisi dan drama Lautan Jilbab di berbagai kota. Bermula dari pentas seni Ramadhan di kampus UGM pada 1986, Cak Nun membacakan puisinya di tengah lautan ribuan jamaah mahasiswa:
Di padang Mahsyar
Di padang penantian
Di depan pintu gerbang janji keabadian
Aku menyaksikan
Beribu-ribu jilbab
Berjuta-juta julbab
Tidak! Aku menyaksikan bermilyar-milyar jilbab
Dari Jogja, pementasan itu berlayar ke Madiun, Malang, Surabaya, Bandung, Jember, hingga Makassar. Di Lapangan Wilis Madiun, penontonnya meluber hingga 30 ribu orang. Jumlah yang cukup nyata untuk menggambarkan seberapa besar penolakan terhadap larangan jilbab dari pemerintah.
Setelah protes menahun dalam berbagai bentuknya, baru pada 1991 pemerintah membolehkan pelajar mengenakan pakaian sesuai keyakinannya. Hari ini, lebih dari dua dekade lewat, arah angin berganti. Pemandangan siswi berjilbab jamak kita temui, bahkan di beberapa sekolah hukumnya seolah “setengah wajib”.
Harus diakui, kedua kutub ekstrem ini, antara yang melarang jilbab di sekolah dan mewajibkannya, sama-sama problematik. Apalagi ketika kita bicara sekolah negeri yang menaungi berbagai golongan masyarakat. Perlu diingat lagi, penggundulan 14 siswi sebelumnya terjadi di sekolah negeri.
Memang, sekarang ini boleh dikatakan lebih mending, setidaknya tak ada peraturan yang mewajibkan siswi berjilbab di sekolah. Namun, kita juga tak bisa menutup mata kalau masih ada yang menuntut mereka berjilbab meski bukan kelompok yang dominan. Bahkan, di beberapa tempat, aturan itu masih sempat ditulis di atas kertas, misalnya di Padang.
Mengapa demikian? Sisa-sisa traumatisme kolektif pelarangan jilbab di masa lalu bisa jadi salah satu alasannya. Namun, tentu ironis ketika satu tirani tumbang digantikan dengan tirani yang lain. Seharusnya kita–umat Islam yang mengaku sebagai pemeluk teguh–dengan pengalaman sebagai korban represi, sadar betul kalau pemaksaan hanya melahirkan penolakan yang lebih kuat.
Akhirnya, jilbab yang awalnya digadang-gadang sebagai ajaran agama, justru bisa jadi problem bagi sebagian orang. Itulah mengapa hingga detik ini, saya belum menemukan sanksi agama terhadap perempuan tak berjilbab.
Coba dicari, apakah Islam misalnya menyuruh kita memotong rambut perempuan hingga mereka berjilbab? Kan tidak. Dicari ke mana-mana tetap tidak ketemu sanksinya. Karena memang sejak awal, meski katakanlah banyak ulama yang meyakini kewajiban jilbab bagi muslimah, mereka tetap sepakat bahwa melanggarnya bukan tindak kriminal, sama halnya meninggalkan puasa.
Maka dari itu, saya berani bilang, aksi penggundulan 14 siswi di Lamongan gara-gara dianggap kurang sempurna memakai jilbab bukan hanya melewati batas kehidupan berbangsa, tapi juga melewati batas tuntunan agama.