ERA.id - Sebagai manusia yang digolongkan paksa ke dalam generasi milenial, saya akrab mendengar orang-orang tua dari generasi sebelumnya memandang sebelah mata “daya hidup” generasi seangkatan saya. Hari ini, gantian para milenial mem-bully Gen Z, layaknya anak bungsu yang tiba-tiba punya adik untuk disuruh-suruh.
Segala cap negatif yang dulu disematkan Baby Boomers dan Gen X ke milenial, gantian dilimpahkan ke Gen Z. Stereotipe seperti pemalas, lelet, manja, hingga lemah turut menyertai mereka dalam dunia pendidikan maupun kerja.
Di sekolah misalnya, anak-anak muda bakal bosan mendengar orang-orang tua bercerita bagaimana mereka dulu dididik dengan keras; guru-guru masuk kelas membawa rotan dan penggaris; dan saat dipukul guru, murid tak berani lapor ke orang tua karena malah bakal ditambahi hukumannya.
Sementara di tempat kerja, Gen Z terlanjur dianggap investasi bodong: Kerjanya tak becus; suka bertindak layaknya korban saat disalahkan; selalu mengeluh; dan rentan stres. Makanya, kalau kita melamar kerja hari ini, rata-rata ada persyaratan seperti “sanggup bekerja di bawah tekanan”.
Stereotipe miring Gen Z makin abadi ketika banyak content creator menjadikannya materi konten, sebut saja komika Oza Rangkuti yang moncer berkat dua formula jokes-nya: Parodi anak Jaksel dan roasting Gen Z.
Kalau bicara dari sisi komedi, peningkatan karier Oza yang pesat sejak ia mulai memparodikan stereotipe anak Jaksel menunjukkan bahwa komedinya sukses–banyak yang benci, tapi lebih banyak lagi yang doyan. Namun, di lain sisi, komedi Oza hanya menyoroti sebagian fenomena yang terjadi di sekitarnya. Artinya–sama seperti stereotipe lain–itu mungkin ada, tapi tidak selalu dan semuanya begitu.
Damn pic.twitter.com/M7LJjL80PK
— Info𝕏wor & Drama (@infoXwor_) October 3, 2023
Ketika Oza bilang “Gen Z agak lemah kerja kantoran, tapi juara di bidang lain seperti zina dan melawan orang tua”, kita tak bisa membacanya mentah-mentah kalau semua Gen Z begitu atau hanya Gen Z yang suka berzina dan durhaka ke orang tua. Karena kenyataannya, dua hal yang dianggap maksiat tadi berlaku buat semua umur.
Dari generasi ke generasi punya masalahnya sendiri
Goenawan Mohamad pernah menulis bahwa tidak ada hierarki dalam kesengsaraan. "Korban akhirnya diciptakan setara, biarpun berbeda," tulisnya dalam surat terbuka kepada Pram. Meski konteksnya soal korban kesewenang-wenangan penguasa, saya kira ungkapan tadi cocok juga dipakai untuk menggambarkan generation gap.
Seperti yang saya singgung di pembuka, ada gejala rivalitas antar generasi satu dengan yang lain. Masing-masing merasa generasinya lebih oke, lebih mantab, lebih tahan banting, sambil membandingkan apa yang telah mereka lewati dan tidak dilewati generasi selainnya. Satu sama lain saling menuding mereka tak tahu apa-apa.
Padahal, setiap generasi lahir dan hidup dengan beban sejarah masing-masing. Sebelum datang para Boomers, dunia sedang berkecamuk dalam peperangan yang melelahkan. Kita kemudian menyebut mereka Silent Generation. Perang membuat mereka merindukan stabilitas hidup, termasuk kerja yang stabil. Tak ayal orang-orang ini bisa bekerja puluhan tahun lamanya hingga pensiun di satu perusahaan.
Pasca perang, para pejuang pulang ke keluarga mereka, melahirkan anak-anak yang kemudian dikenal sebagai Baby Boomers (1946-1964). Orang-orang tua yang masih hidup hingga sekarang rata-rata paling mentok berasal dari generasi ini; mereka yang hidup ketika negara-negara sedang membangun diri usai perang. Di Indonesia, mereka ikut merasakan transisi kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Lalu datang Gen X (1965-1980) dan milenial (1981-1996) yang sejak lahir sudah masuk era Orde Baru dengan segala pembangunan infrastruktur dan pembatasan berpendapat. Mereka ini yang paling banyak mengawal Indonesia menuju reformasi. Sebagian jadi korban, sebagian bertahan dan kini gantian mengisi kursi-kursi kekuasaan. Selanjutnya baru lahir Gen Z (1997-2012) yang sering disangsikan kemampuannya.
Gen Z memang tak mengalami perang atau hidup dalam genggaman penguasa otoriter selama puluhan tahun, tetapi bukan berarti hidup mereka semanis madu. Generasi ini hidup ketika internet sudah mapan dan batas ranah privat dengan publik menjadi rancu. Mereka juga bisa disebut digital native alias orang yang hidup dalam dunia digital.
Dibandingkan generasi-generasi sebelumnya yang butuh usaha setengah mati untuk berbuat “nakal”, Gen Z punya akses yang sangat mudah dan beragam untuk menjangkau paparan negatif. Di dunia yang sudah serba instan ini, Gen Z tumbuh dewasa sambil melawan arus digital yang siap menenggelamkan mereka kapan saja.
Orang tua vs anak muda
Menurut saya sah-sah saja menertawakan jokes Oza seputar Gen Z. Bagaimana pun, stereotipe itu tercipta dari hasil pengamatannya terhadap fenomena yang disebarluaskan media sosial. Namun, kita jangan menyimpulkan bahwa itu kebenarannya dan menafikan Gen Z lain yang tak merasa diwakili asumsi umum orang-orang terhadap mereka.
Sebagai gambaran, ada 3,8 juta Gen Z pengangguran menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2021. Mereka tentu tidak masuk kategori pekerja Gen Z yang katanya manja–lah wong kerja saja tak punya. Sementara pekerja Gen Z sendiri, menurut data BPS pada Agustus 2021, rata-rata gajinya cuma Rp1,5-2,1 juta per bulan.
Dari sini sudah jelas bahwa citra anak muda di media–seperti suka nonton konser; beli kopi susu tiap hari; doyan healing ke luar kota–hanya segelintir dari wajah anak muda keseluruhan. Boleh jadi yang selama ini kita ejek-ejek dan roasting adalah Gen Z berprivilese dan sosialita, sedangkan kita melupakan Gen Z underprivileged yang putus sekolah hingga jadi tulang punggung keluarga.
Lagian, ketika milenial ke atas memandang rendah gaya hidup Gen Z dan seterusnya, bukankah orang-orang tua ini juga ikut andil menciptakan situasi tersebut?
Lihat saja, banyak kok orang tua yang menitipkan “pendidikan” anaknya ke tayangan Youtube seperti Cocomelon. Tak jarang saya melihat orang tua membungkam tangisan anaknya dengan menyetel Youtube, lalu mereka sendiri kembali asyik scrolling TikTok dan Instagram. Mengata-ngatai Gen Z dengan sikap yang masih begitu bukankah sama dengan menelan ludah sendiri?
Sementara di kantor-kantor, banyak HR dan user mengeluh di media sosial betapa mereka membenci pekerja Gen Z dan menggeneralisasi mereka dengan inkompetensi. Lagi-lagi sambil membandingkan budaya keuletan bekerja di masa lalu meski tanpa bayaran sepadan seperti di film The Pursuit of Happyness.
Mengapa? Karena lebih mudah memberi cap ketimbang berinovasi dengan zaman yang berubah atau menyelisik kelebihan dan kekurangan Gen Z untuk memaksimalkan kinerja mereka. Padahal kalau mau fair, banyak kok orang-orang tua di perusahaan yang jadi bottleneck karena gagap beradaptasi dengan teknologi baru. Lebih jauh lagi, ungkapan "kebijakan Boomers" dalam pemerintah malah sering jadi bahan olok-olok netizen.
Hari ini, ketika saya tergoda untuk ikut mem-bully Gen Z, saya ingat-ingat lagi pengalaman saya diremehkan Gen X dan Boomers. Saya dulu jenuh mendengar mereka bercerita masa lalu dan ingin mereka segera tutup mulut.
Maka, pesan saya buat semua milenial seangkatan, jangan mengulangi kesalahan yang sama dan menua jadi grumpy old men. Seperti kata Goenawan Mohamad, “Dalam tiap dendam menunggu giliran seorang korban yang baru.”