Kalian sedang membaca rubrik Stori yang merupakan berita dengan pendekatan jurnalisme sastrawi. Dalam tulisan kali ini, kami mewawancarai Rifqi, pria Bandung kelahiran 1996 yang menjadi tulang punggung keluarga dan harus menghidupi ibu, dua adiknya, dan seorang keponakan. Kisah Rifqi dituturkan ulang dalam format sudut pandang orang pertama oleh penulis ERA Agus Ghulam.
ERA.id - Belakangan tahun, aku kerap memikirkan ini, aku tak memilih untuk dilahirkan, tetapi mengapa hingga sekarang aku tetap memilih untuk meneruskan hidup hingga entah kapan? Ditambah menanggung beban empat orang di pundak, rasanya menyambung hidup tiap hari seperti menyaring air: Sia-sia belaka dan tak ada yang tersisa untuk diminum.
Kata orang, anak pertama harus siap menjadi tulang punggung keluarga ketika ayah pergi atau tak lagi bisa diandalkan. Aku menjadi tulang punggung itu tahun 2017 silam. Ayah pergi dari rumah dan kami sekeluarga tak bisa lagi mengandalkannya. Waktu itu aku masih semester 5. Adik perempuanku baru masuk kuliah dan adik laki-laki masih SMA. Ibu sudah tua dan hanya sanggup mengurusi rumah. Aku tertatih-tatih merampungkan sisa semester di jurusan elektro arus kuat dengan bekerja part time dan dibantu kerabat.
Gaji pertamaku sebagai penjaga booth roti bakar sebesar Rp1 juta dan hanya mampir sejenak di tangan. Adik perempuanku terpaksa putus kuliah dan menerima pinangan orang. Tanggunganku berkurang satu, tapi aku tetap harus menutup biaya pengobatan nenek yang sakit kanker stadium 4 bertahun-tahun setelahnya. Lulus kuliah, aku melanjutkan kerja serabutan sebagai freelancer.
Sejak ibu berpisah dengan ayah, hidupku bukan lagi milikku seorang. Kata egois lenyap dari kamus. Aku lupa kapan terakhir kali benar-benar memikirkan hidupku sendiri. Namun, siapa juga yang bisa disalahkan? Benar kata Chairil, nasib adalah kesunyian masing-masing. Ibu pernah memilih berbagi nasib dengan ayah, dan lihat apa yang terjadi. Nanti kuceritakan.
Nyawa nenek perlahan meredup dan benar-benar padam tahun 2020. Memang benar selalu ada perasaan sedih pada setiap kehilangan. Namun, setelah dewasa dan mengerti bahwa semua yang hidup akan mati, dan kematian berarti tak lagi butuh makan, aku merasa ada sedikit beban terangkat sepergian nenek—untuknya juga untukku. Bagi nenek itu berarti tak ada lagi rasa sakit, dan bagiku itu berarti tak lagi ikut menanggung rasa sakitnya.
Nenek pergi, adik perempuanku datang kembali, kali ini dengan membawa seorang anak. Aku berpikir ia memang betul-betul anak ibu melihat kedekatan nasib mereka. Ya, rumah tangga adikku juga karam. Ia kini menyandang status serupa ibu, sama-sama janda. Aku tak ingin keponakanku kehilangan sosok ayah di masa kecilnya, maka kuputuskan lebih baik mereka berdua tinggal bersamaku juga seperti dulu.
Jadilah sekarang rumah kecil kami ditempati lima orang yang dipermainkan nasib: Ibu, aku, adik perempuanku dan anaknya, dan si bungsu yang terpaksa putus kuliah karena tak cukup uangku membiayainya.
Rumah yang tak aman
Setelah aku menjadi tulang punggung keluarga, jarang kudengar kedua adikku mengeluh—setidaknya bukan di hadapanku. Agaknya mereka tak sampai hati melihatku setiap hari mengakali hidup sekeluarga agar bisa bertahan sampai besok. Mereka lalu lebih memilih menumpahkan perasaan mereka ke ibu.
Dari ibu aku tahu kalau mereka berdua capek dengan hidup begini. Keduanya juga masih memendam dendam kepada ayah. Lelaki itu memang layak menanggung kebencian dari anak-anaknya. Bukan hanya karena telah menelantarkan kami (ia berhenti menafkahi keluarga sejak bercerai), tapi juga dosa-dosanya sebelum itu.
Aku merasa masa kecilku cukup bahagia. Patokan kebahagiaan dulu sebatas bermain dengan teman-teman di sekolah, naik kelas, dan bisa bebas makan di rumah. Satu saja yang dari dulu mengganjal, ayahku kerap memukuli ibu.
Beranjak dewasa aku belajar beberapa hal tampaknya memang harus diselesaikan dengan kekerasan. Dan dari yang aku pelajari, kekerasan digunakan untuk melindungi diri; bentuk pertahanan. Aku jadi mengerti mengapa silat, gulat, dan semacamnya disebut ilmu bela diri. Sementara ayah membela diri dari siapa? Ia tak perlu menghajar ibu untuk melindungi diri—ibu jauh lebih lemah dan kecil darinya.
Aku dan adik-adikku pun tak pernah merasa terancam dekat dengan ibu, lalu mengapa ayah sering memperlakukannya seperti hewan buas? Aku tak pernah tahu alasan ayah butuh kekerasan di rumah, sebab itu aku tahu kalau ia bajingan. Kedua adikku juga merasa begitu, makanya mereka masih mendendam kepadanya.
Satu pertanyaan yang tersisa, mengapa ibu bertahun-tahun bertahan di rumah yang tak aman baginya? Persoalan ini terlalu sulit kujawab di usia kecilku hingga remaja. Karena dalam pikiran kecilku dulu, aku akan menjauhi apa pun yang menyakitiku dan membuatku terluka.
Aku baru mulai mengerti pilihan ibu untuk menanggung beban itu sendirian setelah bekerja dan gantian menghidupi adik-adikku. Agaknya, kalau boleh menebak-nebak pikiran ibu, ia harus bertahan disakiti ayah setidaknya sampai anak-anaknya lulus sekolah. Sebab bagaimana pun, meski ayah tukang pukul, ia juga yang menanggung ekonomi keluarga seluruhnya. Ironis, bukan? Karena lelaki itu ibu babak belur, tapi karena ia juga aku bisa sekolah.
Tiga tahun pertama setelah perceraian orang tua kami, aku menyimpan dendam yang sama dengan adik-adikku. Tiga tahun berlalu, perasaan itu sudah hilang. Hari ini, kalau kamu bertanya bagaimana aku memandang sosok ayah, bagiku ia hanya orang asing yang kebetulan singgah sebentar di hidupku. Tak ada kerinduan atau kemarahan, yang tersisa hanya ketidakpedulian.
Hidup untuk hari ini
Bayanganku dulu, menjadi dewasa adalah selangkah menuju kebebasan. Bisa kerja enak, hidup sendiri, melakukan apa pun yang aku mau. Sialnya, kenyataan berkata sebaliknya.
Aku pernah bermimpi menjadi pilot, sempat juga ikut tes masuk Politeknik Penerbangan Indonesia di Curug, tetapi gagal. Begitu mau membidik yang swasta, terlanjur tak mampu karena kemahalan. Sekarang mimpi tinggal mimpi. Salah satu kemewahan yang bisa dimiliki orang sepertiku memang tinggal bermimpi.
Enam bulan terakhir kami sekeluarga pindah mengontrak rumah di Bandung. Nasib menuntut kami untuk menjual rumah yang kutinggali sedari kecil. Walhasil, tiap bulan aku mulai menyisihkan gaji untuk membayar sewa sebesar Rp1 juta. Untuk makan berlima, hitunganku juga mentok di angka Rp1 juta sebulan. Ongkos untuk kerja kusiapkan sebesar Rp500 ribu. Dan sisa gajiku untuk kebutuhan lain-lain.
Dengan bayaran bulanan di kisaran Rp3-4 juta, otomatis tak ada yang tersisa untuk ditabung. Dan tanpa tabungan, sulit merencanakan masa depan yang layak. Kehidupanku sehari-hari berjalan monoton seperti film panjang membosankan. Pagi-pagi aku menemani ibu belanja ke pasar, lalu siap-siap kerja, dan pulang malam bantu-bantu membersihkan rumah.
Di luar jendela kehidupanku yang terjepit dan terhimpit ini, aku bisa melihat teman-teman seangkatanku sudah banyak yang menikah, punya anak, karier bagus, dan menikmati hasil kerjanya untuk diri sendiri. Ada rasa pahit tertinggal di ujung lidah tiap kali mengingatnya.
Kalau dipikir-pikir, ibulah yang membuatku bertahan hingga sekarang. Setiap kali terlintas pikiran untuk menyerah, terlintas juga wajah ibu menahan sakit dipukul ayah, dan ia tetap bertahan dari hari ke hari, tahun ke tahun, hingga memastikan anak-anaknya cukup besar untuk kehilangan sosok ayah.
Aku sering dengar orang-orang muda sepertiku diejek dan dibilang kurang usaha, kurang tangguh, banyak keinginan, banyak buang-buang uang, dan karena itu juga susah hidup, susah beli rumah, sering menyusahkan orang.
Aku tak tahu seperti apa generasi muda dalam bayangan mereka. Namun, sejujurnya, aku tak merasa tersinggung. Sejak lahir aku tak cukup beruntung menang lotre dalam hidup dan punya segala privilese yang sering dituduhkan tadi. Jadi persetan dengan semuanya.
Untungnya, karena dituntut keadaan, orang-orang sepertiku dan generasi terjepit lain di luar sana jadi tak punya banyak pengharapan. Dan karena sedikit, aku bisa fokus untuk mewujudkannya. Sekarang aku hanya berharap keluargaku rukun, sehat, bahagia, dan dikelilingi orang-orang baik. Apa yang lebih baik dari punya sedikit keinginan dan banyak syukur?