ERA.id - Bulan Mei lalu, saya mewawancarai Ade Armando di bekas markasnya, Cokro TV, usai ia bergabung ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Itu sekali-kalinya kami bertemu dan beberapa teman menitip ke saya agar memukul hidungnya—tentu dengan nada bercanda. Sekilas gambaran tadi kiranya cukup menjelaskan betapa kontroversial sosok lelaki berkumis tipis itu yang bagi sebagian orang adalah musuh masyarakat.
Belakangan, secara khusus Ade Armando dinobatkan sebagai musuh warga Yogya usai komentarnya soal politik dinasti di sana. Ia—sebagai kader PSI pendukung die hard Jokowi—menyerang balik isu politik dinasti dengan mengatakan bahwa politik dinasti sesungguhnya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta dan salah satu penggagasnya adalah Ganjar Pranowo.
Bagi kita yang tidak terafiliasi dengan salah satu paslon di pemilihan presiden mendatang, tentu sadar arah komentar Ade tadi menyerang kubu 03 alias pasangan Ganjar-Mahfud. Meskipun itu ironis, karena seingat saya, ia pernah blak-blakan mengaku sebagai relawan Ganjar.
Setelah kami mengobrol cukup lama sebelumnya, saya menulis begini tentang kesan pertama saya melihat Ade:
Sejujurnya kami banyak tak sepaham dan sependapat, baik dalam pandangan politik maupun agama, tetapi terlepas dari ide-ide yang ada di kepalanya, Ade Armando adalah seorang pria yang jauh dari kata eksklusif. Ia gampang ditemui, mengobrol dengan orang lain tanpa mengalihkan pandangan, akrab dengan rekan-rekan kerjanya, dan tak pelit senyum. Mungkin sikapnya itu ditempa usia tuanya, atau pengalamannya sebagai dosen ilmu komunikasi sekitar 33 tahun di Universitas Indonesia (UI).
Sekarang, setelah setengah tahun berlalu, Ade sudah tak lagi berkantor di Cokro TV, ia berpisah jalan dengan rekan-rekannya dulu macam Denny Siregar, dan pandangan saya terhadapnya juga ikut berubah.
Saya ingat dulu Gus Dur pernah bilang tak percaya dengan Muhaimin karena ia selalu “dua kata” alias omongannya tak bisa dipegang. Kalau hari ini saya harus menggambarkan kembali sosok Ade Armando—meminjam ungkapan Gus Dur—saya tak ragu akan bilang ia pria dengan dua kata dan saya sulit percaya dengan ucapannya.
Saya mencatat setidaknya ada dua hal yang dulu ia sampaikan dan nyatanya bertolak belakang dengan sikap politiknya terkini. Pertama, soal alasannya bergabung ke PSI. Kedua, soal dukungannya ke Ganjar dan penolakannya terhadap Prabowo. Mari saya bahas satu per satu.
PSI terbuka beda pendapat kader dengan partai?
Ade memang baru resmi bergabung ke PSI tahun ini. Namun, niatnya berlabuh ke sana sudah muncul sejak tahun lalu, tepatnya sehabis peristiwa ia digebuki massa saat demo di depan gedung DPR menolak Jokowi 3 periode.
"Itu kan sebetulnya salah satu hal terpenting dalam hidup saya, karena ketika itu peluang saya untuk hidup sangat kecil," ujarnya kepada saya. "Ketika itu saya merasa bahwa saya ditakdirkan untuk selamat."
Ia lalu merasa seperti ditantang Tuhan untuk maju lebih jauh, karena selama ini sebagai akademisi ia hanya menyuarakan kritik dari luar. Dan peluang untuk masuk ke dalam sistem ia temukan di PSI. Baginya, hanya PSI yang membuka pintu untuknya.
“Saya mencoba berinisiatif untuk ngomong ke PSI, saya mau tuh masuk ke PSI dan menjadi salah seorang aktivis PSI, apakah jadi calon legislatif, karena ini adalah sebuah cara terbaik bagi saya kalau ingin membawa perubahan dari dalam sistem,” ucapnya.
Saya diberitahu beberapa alasan mengapa hanya PSI pilihan yang ada bagi Ade. Mulai dari kesamaan ideologi dalam memerangi intoleransi dan korupsi hingga hubungan mereka yang terjalin dekat sejak Pemilu 2019.
Masih soal alasan bergabung ke PSI, Ade juga menyinggung pimpinan-pimpinan partai muda itu yang membiarkannya berbeda pendapat dengan sikap partai. Konteksnya adalah dukungan kepada capres tertentu.
Perlu diketahui waktu itu belum ada nama cawapres yang muncul dan arah dukungan Jokowi masih limbung antara Ganjar dan Prabowo. Sementara PSI menjadi partai pertama yang mengusung Ganjar sebagai capres. Kata Ade, PSI tegak lurus dengan Jokowi. Bila dinamika politik membawa Jokowi ke Prabowo, maka PSI bisa saja ganti haluan.
Namun, Ade menegaskan tak akan berpindah mendukung Prabowo. Saya agak takjub juga mendengarnya waktu itu.
“Saya akan mengatakan begini, saya tidak akan pernah pindah ke sana, ke Prabowo. Saya sebagai seorang pribadi dan saya sebagai anggota PSI tidak akan pindah ke Prabowo,” tegasnya.
“Saya udah ngomong sama teman-teman PSI, Anda akan terganggu enggak kalau saya mengambil pilihan yang berbeda dari PSI? Karena saya tidak mungkin dukung Pak Prabowo. Saya pasti akan terus dengan mendukung Mas Ganjar. Saya kan juga relawannya Ganjar. Nah the beauty of PSI adalah sejumlah pimpinan PSI mengatakan enggak apa-apa,” lanjutnya.
Lain dulu, lain kini, hanya dalam setengah tahun sikap Ade berganti. Ia toh akhirnya mengambil pilihan yang sama dengan PSI. Tak ada yang membedakan PSI dengan partai lain, sama juga tak ada yang membedakan Ade dengan politikus lain.
Setia dengan Ganjar dan tiga alasan tolak Prabowo?
Seperti sudah disinggung tadi, Ade pernah mengaku sebagai relawan Ganjar dan takkan meninggalkannya, apalagi sampai pindah mendukung Prabowo—walaupun itu berarti harus berbeda pandangan dengan partainya. Belakangan kita tahu semua itu hanya ucapan-ucapan kosong.
Waktu saya tanya mengapa ia menolak Prabowo menjadi presiden, Ade memaparkan tiga alasan utamanya. Pertama, kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
“Seorang sosok dengan masa lalu pelanggaran HAM yang sedemikian serius, buat saya enggak boleh menjadi seorang presiden, itu prinsip. Karena itu, pertama kali Pak Prabowo maju 2014 kan saya sudah menjadi bagian dari kubu yang melawan Prabowo dan mendukung Jokowi, karena alasan itu,” ujarnya.
Kedua, Prabowo bukan seorang negarawan baik ketika ia di luar pemerintahan maupun di dalamnya.
“Baru saja setahun masa pemerintahan Jokowi sudah ada menteri dari Gerindra yang kena kasus kan, dan Prabowo tidak melakukan apa-apa terhadap itu. Jadi partainya sendiri bukan partai yang layak dipercaya,” lanjutnya.
Ketiga, Prabowo tidak berpihak kepada demokrasi. Ia misalnya bersedia bekerja sama dengan kelompok-kelompok islamis radikal untuk meraih kekuasaan.
“Dia sendiri tidak radikal, tidak anti-toleransi, tapi dia bersedia bekerja sama dengan kelompok-kelompok itu demi mencapai kekuasaan. Nah buat saya, tiga hal itu saja sudah cukup untuk membuat saya percaya bahwa tidak boleh kita punya presiden seperti Pak Prabowo,” tambahnya.
Apakah Ade masih berpegang teguh pada tiga alasan tadi? Rasanya tidak. Prinsip dan idealisme, bagi Ade—saya kira—hanya sehelai tisu kering yang mudah ditiup angin. Ketika Prabowo mengunjungi kantor PSI pada bulan Agustus, saya tak mendengar prinsip Ade yang diceritakannya enam bulan lalu.
Puncaknya, dalam peluncuran buku “Prabowo Subianto Sang Pemersatu Bangsa”, Ade terang-terangan mengaku telah luluh dengan Prabowo setelah dipeluk dan dipuji waktu kunjungannya ke PSI. Ia merasa bangga dan bilang musuhnya telah berganti. Saya jadi semakin ragu dengan mimpi-mimpi luhurnya untuk mengubah bangsa Indonesia yang diceritakannya dulu. Jangan-jangan itu memang hanya mimpi di siang bolong.