UU Kesejahteraan Ibu dan Anak, Terobosan atau Hanya Perbanyak Tumpang Tindih Aturan?

| 05 Jun 2024 19:55
UU Kesejahteraan Ibu dan Anak, Terobosan atau Hanya Perbanyak Tumpang Tindih Aturan?
Ilustrasi. (Era.id/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Setelah tiga bulan tertunda, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) akhirnya disahkan sebagai undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (5/6/2024). Publik lebih mengenalnya dengan sebutan RUU KIA, tetapi judul lengkap yang kemarin disetujui adalah UU Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan.

RUU KIA sudah dua tahun menjadi usulan inisiatif DPR RI sejak Sidang Paripurna 30 Juni 2022 sebelum disahkan. Pembahasannya timbul-tenggelam di ruang publik. Ia sempat ramai lagi waktu DPR bersama pemerintah menyepakati RUU KIA dibawa ke rapat paripurna tiga bulan silam. Lalu pemberitaannya kembali agak senyap.

“Ada banyak sekali kebijakan-kebijakan kita yang tiba-tiba muncul lagi. Tiba-tiba karena ada kepentingan tertentu maka dia malah disahkan. Jadi semuanya serba sulit untuk diprediksi,” ucap peneliti hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Nabiyla Risfa Izzati dalam Diskusi Kajian Law, Gender, and Society Fakultas Hukum UGM, Senin (20/5/2024).

Salah satu yang ia soroti adalah RUU KIA, yang menurutnya cukup cepat dibahas DPR, dikebut pengesahannya, dan tampak tergesa-gesa. Sementara RUU lain seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang sudah diadvokasikan kurang lebih 20-an tahun justru mandek.

“Kita masih meraba-raba di mana sebenarnya posisi RUU KIA?” tambah Nabiyla.

Pertanyaan dosen hukum UGM itu juga menjadi pertanyaan beberapa penggerak komunitas perempuan, seperti Mike Verawati Tangka dari Koalisi Perempuan Indonesia. Meskipun sama-sama mendukung upaya mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak, termasuk lewat jalur konstitusional, ternyata banyak organisasi perempuan yang berharap RUU KIA tidak buru-buru disahkan.

“Sebenarnya kan semangatnya baik ya untuk kesejahteraan, tetapi ternyata memang setelah kita lihat ini ada persoalan-persoalan,” ucap Mike dalam forum bersama Nabiyla sebelumnya.

“Makna kesejahteraan itu kan luas ya, sifatnya itu universal, tidak dilihat dalam satu aspek. Lalu persoalannya juga terintegrasi, jadi kesejahteraan tidak bisa dilihat misalnya dari aspek kesehatan, atau mungkin pertumbuhan ekonomi saja, tapi dilihat dari berbagai aspek,” lanjutnya.

Sementara menurut Koalisi Perempuan Indonesia, RUU KIA belum mengakomodir seluruh aspek tersebut. Dan dalam beberapa poin, justru condong ke arah eksklusifitas, alias aturannya hanya menaungi sebagian golongan dan mengabaikan yang lain.

Sebelum beranjak ke kritik dari perspektif aktivis dan akademisi perempuan, mari kita simak poin-poin penting dalam RUU KIA yang baru disahkan kemarin, mulai dari penamaan, aturan cuti melahirkan (maternity leave), hingga hak dan kewajiban pihak-pihak terkait.

Enam poin utama RUU KIA

“RUU ini diharapkan jadi wujud cita-cita dan komitmen DPR dan pemerintah dalam mengatur kesejahteraan ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan secara komprehensif,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I RUU KIA di ruang sidang Komisi VIII, Komplek Gedung Parlemen, Senin (25/3/2024).

Dalam rapat itu, ada enam poin utama RUU KIA yang dijabarkan pemerintah. Pertama, judul RUU yang sebelumnya hanya KIA berubah menjadi Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan. 

Kedua, definisi anak pada RUU KIA terbatas pada fase seribu hari pertama kehidupan, dimulai sejak terbentuknya janin sampai berusia dua tahun.

Ketiga, maternity leave bagi ibu pekerja paling singkat tiga bulan pertama; dan paling lama ditambah tiga bulan berikutnya jika ada kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

Selama cuti tersebut, ibu pekerja tidak dapat dipecat oleh pemberi kerja dan mendapat upah penuh selama tiga bulan pertama. Sedangkan tiga bulan berikutnya berhak mendapat 75 persen upah.

Keempat, suami yang mendampingi istri bersalin berhak cuti dua hari dan dapat diberikan tambahan paling lama tiga hari berikutnya atau sesuai kesepakatan dengan pemberi kerja. Apabila mendampingi istri keguguran, suami berhak cuti dua hari. 

Kelima, RUU KIA juga memuat kewajiban ayah dan keluarga membangun kesejahteraan ibu dan anak sebagai tanggung jawab bersama. Pemerintah pusat dan daerah juga diberi tanggung jawab mulai dari perencanaan, monitoring, hingga evaluasi.

Keenam, pemberian jaminan pada semua ibu dalam kondisi apa pun, termasuk ibu dengan kerentanan khusus, mulai dari ibu berhadapan dengan hukum; ibu di lembaga pemasyarakatan, di penampungan, dalam situasi konflik dan bencana; ibu tunggal korban kekerasan; ibu dengan HIV/AIDS; ibu di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar; dan/atau ibu dengan gangguan jiwa; hingga ibu penyandang disabilitas.

Resistensi organisasi perempuan terhadap RUU KIA

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati bercerita sekian tahun lalu diajak berdiskusi oleh beberapa anggota DPR yang vokal isu perempuan, antara lain Luluk Hamidah dari fraksi PKB dan Rieke Dyah Pitaloka dari fraksi PDIP. Mereka membahas soal rancangan peraturan soal kesejahteraan ibu dan anak.

“Waktu itu belum ada drafnya,” ujar Mike.

Meski begitu, ia menyambut wacana itu dengan gembira. Koalisi Perempuan Indonesia berharap rancangan ini nantinya akan menjadi pengikat dari aturan-aturan sebelumnya yang sudah baik.

“Misalnya UU KDRT, UU TPKS, UU Kesehatan, termasuk bagaimana menutup celah undang-undang yang selama ini juga menjadi undang-undang yang bisa bermata dua. Misalnya UU ITE,” ujarnya.

“Ternyata pengaturannya sangat spesifik. Waktu itu kita agak kaget yang dipresentasikan itu soal cuti melahirkan, cuti ayah,” lanjutnya.

Sementara dalam bayangan Mike dan organisasi perempuan lain, kesejahteraan ibu dan anak lebih luas cakupannya dari itu. Dan hanya fokus kepada maternity leave bisa membuat rancangan aturan tersebut tidak inklusif nantinya.

“Kesejahteraan ini kalau menyangkut soal maternity leave, ini berarti perempuan yang konteksnya pekerja formal. Lalu bagaimana mereka yang tidak punya skema formal ini?” tanya Mike.

Dalam perkembangannya, Mike menceritakan sikap organisasi perempuan terpecah ke beberapa kelompok. Namun, mayoritasnya masih resisten atau menolak RUU KIA segera disahkan. Alasannya, mereka menganggap RUU tersebut belum menjadi sebuah urgensi untuk disusun.

Sebagian lagi berpendapat RUU KIA bisa terus dijalankan dengan membuka ruang untuk ditinjau kembali.

“Tapi ada juga yang bilang sebaiknya di-hold dulu atau diarahkan atau diusulkan menjadi carry over. Karena bisa jadi setelah didiskusikan, RUU KIA ini berubah judul dan lain-lain,” ujar Mike.

Koalisi Perempuan Indonesia salah satu yang aktif mengkritik proses pembahasan dan pembentukan RUU KIA. Apalagi setelah judul rancangannya ditambahi “seribu hari pertama kehidupan” dan membuat aturan tersebut semakin sempit jangkauannya.

“Di awal-awal bulan Januari, ada judul berbeda, ada pengecilan batas. Masuk tambahan judul ‘seribu hari pertama kehidupan’. Ini sangat dekat sekali dengan isu stunting sebenarnya,” ujar Mike.

Ia pun mempertanyakan RUU KIA ini diperuntukan untuk apa dan siapa. Karena seandainya itu fokus ke penanganan seribu hari pertama kehidupan, sebetulnya aturan terkait penanggulangan stunting sudah ada dan beragam.

“Kalau misalnya stunting, UU Kesehatan sudah ada, UU di BKKBN juga banyak sekali programnya, bahkan pemerintah daerah dan pemerintah desa itu punya skop-skop terkait stunting ini,” tegas Mike. 

RUU KIA, siapa sejahtera?

Seperti sempat disinggung sebelumnya, penambahan judul “seribu hari pertama kehidupan” menjadi sasaran kritik Koalisi Perempuan Indonesia terhadap RUU KIA. Pembatasan cakupan kesejahteraan menjadi alasannya.

“Hak anak semakin kecil cakupannya… misal RUU ini cuma mau mengatur seribu hari pertama, ngapain bikin UU? Karena ini sudah ada di berbagai program, kebijakan macam-macam,” ujar Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati.

“Hak anak ini kalau kita bicara luas. Kalau kita lihat di konvensi aja, anak itu kan 0-18 tahun, itu punya 31 hak anak yang itu direkomendasikan oleh Konvensi Hak Anak,” sambunnya.

Selain pembatasan usia anak, Mike juga mempertanyakan efektifitas RUU KIA yang dinilai condong kepada golongan tertentu. Misalnya, kesejahteraan ibu yang dimaksud konteksnya lebih banyak kepada perempuan pekerja formal. Karena yang mendapatkan fasilitas cuti melahirkan, cuti haid, dsb adalah mereka yang bekerja secara formal.

Sementara itu, dalam pengalaman advokasi Koalisi Perempuan Indonesia, mereka masih sering menemukan kasus di mana perusahaan atau pemberi kerja tidak memberikan hak-hak ibu hamil seperti maternity leave. Alasannya karena ketidakmampuan finansial.

“Beberapa perusahaan atau pemberi kerja itu punya aturan perempuan dalam usia tertentu tidak boleh berkeluarga, tidak boleh hamil dulu, lalu juga ada situasi kalaupun dia sudah berkeluarga diharapkan tidak punya anak dulu. Itu ada seperti itu. Kita belum selesai dengan persoalan itu,” ujar Mike.

Selanjutnya, RUU KIA juga belum mengatur soal kesejahteraan perempuan pengasuh anak di luar istri atau ibu, seperti pekerja rumah tangga (PRT). Seolah-olah, menurut Mike, RUU KIA ini menggeneralisir semua perempuan di Indonesia itu adalah seorang istri dan ibu.

“Padahal ada juga perempuan yang dia mengasuh, tetapi dia bukan istri atau ibu. Mungkin dia PRT, yang itu juga sebenarnya harus kita lihat. Sehingga kita tidak melihatnya parsial, siapa sih yang paling bisa mendapatkan kesejahteraan,” ungkap Mike.

Koalisi Perempuan Indonesia juga menyoroti beberapa pasal dalam RUU KIA yang dinilai justru memberatkan dan tidak adil bagi perempuan. Misalnya soal kewajiban memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif.

Dalam Pasal 12, disebutkan bahwa ibu berkewajiban memberikan ASI eksklusif sejak anak dilahirkan sampai berusia enam bulan dan dilanjutkan dengan pemberian ASI dan makanan pendamping ASI sampai anak berusia dua tahun, kecuali terdapat indikasi medis.

“Meskipun ASI eksklusif ini dari berbagai studi sangat baik ya, tetapi tidak semua perempuan bisa punya kondisi yang sama. Ada perempuan yang dia ingin memberikan ASI, tetapi tidak bisa secara kesehatan. Ada juga yang ingin, tetapi tidak boleh, seperti perempuan dengan HIV/Aids,” ujar Mike. 

“Lalu ada juga perempuan yang mungkin dalam kondisi tertentu, dan kita mungkin harus memahami, dia tidak ingin memberikan ASI-nya, karena mungkin dia punya pertimbangan tertentu,” lanjutnya.

Tumpang tindih aturan

Koalisi Perempuan Indonesia menilai tidak banyak hal baru dalam RUU KIA selain perpanjangan waktu maternity leave dan cuti ayah menemani ibu melahirkan. Di luar itu, penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak dalam RUU KIA lebih banyak diartikan pada pemenuhan kebutuhan dasar, lebih spesifiknya lagi soal pemenuhan layanan kesehatan.

Padahal, poin-poin terkait sudah banyak tercantum dalam beragam peraturan yang sudah berlaku. Perihal kesehatan ibu dan anak, misalnya, sudah diatur dalam Pasal 40, 41, dan 43 UU Kesehatan. Sedangkan pemberian ASI eksklusif ada dalam Pasal 42 UU Kesehatan yang berbunyi: Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama enam bulan, kecuali atas indikasi medis.

“Posyandu itu yang paling jelas ya kalau kita bicara (program) seribu hari (pertama kehidupan). Saya pikir seluruh posyandu yang ada di Indonesia menjalankan hal itu,” ungkap Mike. “Kita yang paling kuat juga adalah Program Keluarga Harapan, di mana ini juga sudah dicanangkan mulai masa SBY.” 

Ia lalu memaparkan beberapa peraturan dan program yang sebetulnya sudah mengatur banyak hal dalam RUU KIA. Antara lain UU Ketenagakerjaan, UU Kependudukan, Program Pola Asuh Anak Remaja di Era Digital (PAAREDI), hingga Program Pencegahan dan Penanganan Stunting.

Terkait jaminan pekerjaan dan upah perempuan yang mengambil maternity leave juga sebetulnya bukan hal baru. Dalam Pasal 84 UU Ketenagakerjaan, meskipun berstatus cuti, pekerja perempuan tetap berhak mendapatkan gaji utuh selama tiga bulan maternity leave. Dalam Pasal 153 ayat (1) huruf e, perusahaan juga dilarang memutus hubungan kerja secara sepihak. 

Dosen Hukum UGM Nabiyla Risfa Izzati juga sepakat dengan Koalisi Perempuan Indonesia. Ia menilai masih banyak ruang-ruang yang kurang diperhatikan dalam penyusunan RUU KIA.

“Ada ruang-ruang yang sepertinya miss ketika kita membicarakan KIA… dalam RUU ini disempitkan dalam sebuah isu-isu yang sebenarnya sangat teknikal dan sudah ada pengaturannya,” ujarnya.

Karena itulah, Koalisi Perempuan Indonesia sebetulnya lebih merekomendasikan agar RUU KIA ditinjau ulang, pengesahannya ditunda, dan pemangku kebijakan lebih berkonsenterasi kepada aturan-aturan yang perlu ditindaklanjuti, seperti RUU PPRT dan turunan UU TPKS.

“Jangan sampai undang-undang (KIA) ini menjadi sia-sia ya, karena kita tidak melihat urgensinya atau apa sebenarnya yang ingin diatur,” tegas Mike.

Rekomendasi