ERA.id - Rentetan perilaku perawat (dan mahasiswa keperawatan) yang melanggar kode etik keperawatan di beberapa tempat praktik—yang tersebar di media sosial—membuat warganet terheran-heran, kok bisa perawat atau nakes memperlakukan pasien seperti itu?
Misal, seorang mahasiswi keperawatan magang di RSUD Wonosari, DI Yogyakarta, curhat di TikTok tentang seorang pasien laki-laki. Menurut mahasiswi itu, ia baru saja melakukan tindakan keperawatan kateterisasi kepada pasien tampan dan seumuran dengannya.
Curhatannya menuai kecaman dari warganet. Menurut mereka, hal seperti itu telah melanggar privasi seseorang dan kode etik keperawatan. Apa pun yang terjadi di kamar pasien tak boleh keluar dari kamar rumah sakit. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) DI Yogyakarta telah menyatakan bahwa sang mahasiswi telah offside dari kode etik keperawatan.
Belum lama ini, ada sebuah pengakuan dari pasien di akun Twitter @UpWanita, yang diperlakukan tidak senonoh oleh salah satu perawat di RSUD RA. Kartini Jepara. Dalam kondisi tidak berdaya di tempat tidur, pasien dilecehkan oleh perawat. Di hari berikutnya, perawat itu beraksi kembali dengan tindakan yang lebih parah, yakni meraba payudara hingga kemaluan pasien.
Secara verbatim, ini pernyataan dari @UpWanita: “Dengan alasan mau injeksi, mau cek aliran infus dsb, bullshit bangsat. Aku masih setngah sadar saat dia masukkan tangan nya perlahan ke dadaku melalui kerah bajuku saat itu, menyentuh dan memainkan payudaraku!!!”
Kemudian ditutup dengan: “Kejadian itu berulang kembali ketika mendekati subuh, dengan beraninya dia memasukkan tangan nya ke bagian alat vitalku, apa daya tubuh terbaring lemah dan di manfaatkan oleh si bajingan itu! Betapa ternodainya tubuh ini!”
Pengakuan pasien di atas “sudah diinvestigasi” oleh pihak rumah sakit. Menurut rumah sakit bahwa “Hasil investigasi kepada perawat yang diduga melakukan pelecehan. Yang bersangkutan menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak pernah melakukan sebagaimana yg dituduhkan oleh akun @UpWanita (Wanita Harus Speak Up!!!) kepada pasien tersebut maupun kepada pasien lain.”
Siapa yang benar memang masih menjadi perdebatan, belum ada kepastian dan keputusan oleh pihak berwajib atau tim independen, tetapi kejadian di atas bisa menjadi refleksi bahwa dunia keperawatan di rumah sakit memiliki masalah dan harus dijadikan momentum untuk menindak keras pelaku yang tidak menaati kode etik kesehatan, khususnya kode etik keperawatan.
Kode Etik Perawat di bagian (a) tentang Perawat dan Klien nomor (1) bahwa perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan martabat manusia, keunikan klien, dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, dan agama yang dianut serta kedudukan sosial.
Para perawat yang melakukan hal tak senonoh itu, mungkin, sebaiknya menengok tokoh keperawatan dunia, yakni Florence Nightingale, yang mendedikasikan hidupnya untuk dunia keperawatan, dunia pelayanan, dunia kesehatan.
Sosok Florence Nightingale bisa menjadi contoh bagi perawat dan mahasiswa keperawatan untuk berpegang teguh kepada pelayanan yang baik. Perjuangannya yang tak ada kata menyerah dalam Perang Krimea membuat sosoknya dikenang seantero Inggris Raya.
Di Oktober 1853, Perang Krimea pecah. Kerajaan Inggris berperang melawan Kekaisaran untuk menguasai Kekaisaran Ottoman. Ribuan tentara Inggris dikirim ke Laut Hitam. Satu tahun kemudian, kurang lebih 18 ribu tentara terkapar dirawat di rumah sakit militer.
Ketika itu, tidak ada perawat perempuan di rumah sakit di Krimea. Sebab, perawat perempuan punya citra yang buruk sehingga dari pihak kantor perang menghindari mempekerjakan mereka lebih banyak.
Akan tetapi, dikutip History.com, di akhir 1854, Nightingale menerima surat dari Sekretaris Perang Sidney Herbert. Isi suratnya ialah Nightingale diminta mengatur korps perawat untuk merawat tentara yang sakit dan gugur di Krimea.
Nightingale langsung menerima panggilan yang tak mudah itu. Ia segera membentuk tim yang terdiri dari 34 perawat dari beberapa ordo agama. Kemudian, mereka berlayar bersama ke Krimea.
Mereka sudah diperingati bahwa kondisi di medan perang begitu mengerikan. Namun, mereka kekeh terima tawaran itu tanpa mempersiapkan lebih matang.
Apa yaang terjadi? Mereka melihat kondisi rumah sakit pangkalan Inggris di Konstantinopel begitu kotor. Para pasien berbaring di kotoran mereka sendiri di atas tandu yang berjejer sepanjang lorong.
Cadangan peralatan kesehatan, seperti perban dan sabun semakin menipis sebab pasien yang terluka terus meningkat. Air bersih juga tidak tersedia. Pada akhirnya, banyak tentara meninggal tidak karena bertempur di medan perang, tetapi karena penyakit menular seperti tifoid dan kolera.
Apakah Nightingale mundur? Tidak! Ia terus berjuang dalam siang dan malam dengan keterbatasan alat. Ia tak kenal waktu dalam merawat para prajurit. Di malam hari, ia bergerak masuki lorong-lorong sambil membawa pelita—ke depan sosok Nightingale dijuluki sebagai “The Lady with the Lamp”. Ia memastikan kondisi pasien, apakah tidur mereka nyenyak atau masih merasakan kesakitan dari luka yang diderita.
Pascaperang di Semananjung Krimea—lokasi yang sekarang masih dalam perselisihan antara Ukraina dan Rusia—kebaikan dan perjuangan Nightingale dibicarakan oleh para tentara. Sehingga, memantik para pejabat tinggi Inggris untuk mengapresiasi perjuangan Florence Nightingale.
Pada akhirnya, apresiasi tersebut tidak saja di Inggris, tetapi hingga sekarang dunia mengenang Nightingale sebagai perempuan dari keluarga yang mengabdikan dirinya untuk sebuah pelayanan di dunia keperawatan tanpa mengharapkan sebuah imbalan dari kerajaan atau pemerintah atau siapa pun.
Selain menjaga etika keperawatan, mungkin para perawat atau mahasiswa keperawatan sebaiknya membaca ulang kisah heroik dari Florence Nightingale itu. Minimal sadar bahwa tidak semua bisa di-TikTok-an.