Ngobrol Bareng Rocky Gerung: Politik Cawe-Cawe dan Panduan Pilih Presiden Buat Anak Muda

| 13 Jun 2023 16:02
Ngobrol Bareng Rocky Gerung: Politik Cawe-Cawe dan Panduan Pilih Presiden Buat Anak Muda
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Rocky Gerung adalah nama yang terdengar seperti mitos bagi kami, angker dan mistik, hanya terjangkau lewat layar kaca di acara-acara tersohor macam ILC. Minggu lalu, Kamis (8/6/2023), sosok serupa mitos itu mengunjungi kantor ERA di Tanah Abang, Jakarta Pusat, dengan nuansa yang tak jauh berbeda dari bayangan kami: nyentrik!

Ia tiba-tiba saja datang menyupiri sendiri mobil Toyota Hilux-nya masuk ke parkiran kantor kami, sekitar 10 menit sebelum waktu yang dijanjikan (kami janjian bertemu di kantor pukul 17:00). Lelaki berusia 64 tahun itu keluar dari mobil mengenakan kaos polo hitam dan celana hijau lumut yang tak neko-neko.

Kami menyuguhinya martabak telur dan kopi hitam yang sudah hangat. Ia segera melahap sepotong martabak dan menyesap habis segelas kopinya, lalu mengajak kami memulai interviu tepat pukul lima.

Rocky Gerung foto bersama redaksi ERA.

Sejujurnya ada dua kesan yang kami rasakan saat bertemu langsung dengan filsuf akhir zaman itu, yang mana keduanya terdengar bertolak belakang, yaitu: intimidatif sekaligus hangat. Auranya seakan menekan kami agar tak salah bicara di depannya, tapi ia juga mau-mau saja saat diajak foto satu-satu dengan gaya segala rupa. Mungkin itu yang disebut sebagai kharismatik.

"Saya mengambil sikap untuk I'm part of no part. Bagian dari yang bukan bagian. Bagian dari teman-teman di sini, jurnalis yang berupaya untuk menuntun bangsa ini supaya enggak masuk dalam jebakan money politics," jawabnya saat kami bertanya soal partai yang mendekatinya jelang pemilu.

Kurang dari satu jam kami bercakap-cakap dan terpaksa harus diakhiri tak seberapa lama karena Rocky harus segera cabut dari kantor kami mengisi agenda lain di Kemang. Kurang lebih setengah jam ia bercerita soal hobinya naik gunung, alasannya tak pernah ditangkap polisi meski banyak laporan masuk, di mana ia saat 1998, hingga panduan bagi anak muda untuk memilih presiden 2024 nanti. Ini dia obrolan kami selengkapnya bareng the one and only Rocky Gerung.

Apa kabar Bung Rocky? Sehat?

Lebih dari sehat, kalau sehat itu sekedar kondisi tubuh, tapi kalau enak itu artinya kondisi mental juga. Jadi gue bukan sehat, enak.

Kalau bahagia? 

Enggak. Kita bahagia kalau sesuatu yang kita bayangkan itu mendekati pencapaian. Kalau sekarang yang kita bayangkan itu mendekati keruntuhan. Lu ngomong republik kan? 

Gue sebenarnya pengen hal-hal yang agak personal.

Ya personal gak mungkin lu tau gue bahagia apa gak bahagia. 

Kan Bung Rocky tidak bisa dilepaskan dari politik dan filsafat. Masa kecil Bung dibesarkan seperti apa sih? Di lingkungan yang akademisi atau bagaimana?

Iya, adik saya profesor, guru besar. Ya keluarga saya cukup akademisi tuh. Ayah saya ngajar matematika, ibu saya ngajar ilmu gizi. Jadi ada tradisi itu, tradisi membaca buku. Dari kecil saya baca buku.

Prof. Grevo Gerung (kiri), adik dari Rocky Gerung. (Twitter @andiewibianto)

Tradisi membaca ya? 

Ya tradisi membaca, artinya tradisi kuriositas. Membaca dengan curiosity artinya membaca dengan cara menggeleng. Kan kalau kita curious artinya kita ini, “Apa sih? Ah, gue gak percaya nih.” Maka cari terus kan.

Jadi membaca itu disebut membaca kalau kita bertanya. Bertanya itu artinya menganggap sesuatu itu belum tiba pada konklusi atau belum nyampe pada batas pengetahuan yang bisa kita percaya. Kalau kita bertanya terus dengan akibat kita membaca terus, berarti membaca itu tidak hanya akumulatif. 

Apa yang kita baca tidak kita amini aja, begitu ya Bung? 

Oh itu namanya baca komik tuh. 

Tapi memang membaca kan pasti ada upgrade pengetahuan Bung?

Ya membaca itu kan akumulasi. Kalau misalnya lu baca satu buku dalam dua jam, baca buku kedua baca juga dalam dua jam terus-menerus, itu artinya gak membaca.

Semakin kita membaca banyak buku, semakin cepat kita menyelesaikan buku itu. Mungkin buku kelima tinggal seperempat jam atau tinggal sepuluh menit. Karena di depannya kan kita udah tahu, oh ini jenis buku semacam ini, kira-kira ujungnya begitu, berarti buku berikutnya gak perlu lagi kita baca teliti kan. Di-speed reading aja kan, dilihat aja. 

Kayak orang belajar matematika misalnya, kalau kita tahu dua-tiga rumus, penyelesaian berikutnya tinggal mengandalkan reasoning kita kan. Gak perlu lagi kita hadirkan rumus yang ketiga. Dua rumus itu cukup untuk menyelesaikan tiga-empat soal. 

Di awalnya agak sulit, tapi makin lama kan makin gampang itu. Sama kayak lu pacaran, lu kagok dulu waktu kencan pertama, tapi kencan ketiga-keempat kan ya biasa aja. Itu kira-kira baca buku juga kayak pacaran aja.

Sebagai filsuf, ada pertanyaan filsafat yang sudah, menurut Bung Rocky, terjawab gak? 

Semua pertanyaan filosofi itu selalu open-ended, artinya terbuka untuk dipertanyakan ulang. Tapi saya sebetulnya belajar pertama justru di  fakultas teknik elektro, filsafat itu belakangan. Saya belajar pertama fakultas teknik, terus belajar hukum, belajar politik internasional, belajar ekonomi, belajar apa lagi ya? Ya mungkin sering saya terangkan, saya belajar di lima fakultas. Tapi kemudian filsafat itu kayak mengunci. Artinya seluruh yang kita pernah pelajari, akhirnya tumbuh sebagai pertanyaan filosofis. Kalau kita bilang ada kepastian? Gak ada. 

Di matematika ada kepastian. Di dalam fisika ada kepastian? Enggak, paradigmanya berubah-ubah, apalagi fisika teoritis. Ilmu sosial apalagi, dia selalu ada dalam keadaan oscillating. Kalau kita udah berhenti bertanya, oscillating-nya itu udah tet, artinya udah mati. Enggak ada lagi pertanyaan, karena pengetahuan selalu ada dalam kondisi bertanya. 

Kalau hobi ya, aktivitas naik gunung di tahun ini udah ke mana Bung?

Setiap hari gue naik gunung. Seminggu dua kali saya hiking. Tapi kalau naik gunung yang rutin itu saya ke Himalaya, setahun biasanya dua kali ke Himalaya, atau naik beberapa gunung di Eropa. Tapi karena Covid kan gak bisa. Tapi tetap naik gunung di Indonesia.

Rocky Gerung saat pendakian Himalaya. (Istimewa)

Terakhir ke mana? 

Ke Galunggung apa? Lupa. 

Tapi tetap rutin tuh? 

Paling enggak saya mesti naik gunung, karena itu yang disebut kebahagiaan. Ya naik gunung udah jadi semacam, bukan sekedar menu tetap, tapi addicted, nyandu. Kalau enggak naik gunung kayak lu kehilangan bagian dari intelektualitas seseorang.

Naik gunung itu bukan sekadar kegiatan fisik, tapi kegiatan etis sekaligus kegiatan intelektual. 

Rocky Gerung di puncak Mahameru pada 2018. (Istimewa)

Kalau sebagai orang yang sering berdebat, ada enggak lawan debat yang menurut Bung Rocky oke gitu?

Saya nggak berdebat sebetulnya, saya menonton logika seseorang. Debat itu kan menghubungkan antara kemampuan retorik dan kemampuan logis. Jadi kalau logikanya kelihatan udah timpang, ya itu kan kayak gelas yang udah retak, lo sentik dikit berantakan kan.

Di kita itu enggak diajar orang untuk jujur dalam logika. Nah berdebat itu artinya memperhatikan logika lawan bicara, kadang kala dipalsukan oleh federalisme, kadang kala dianggap karena dia tokoh maka pikirannya udah utuh, karena dia guru besar maka kita enggak boleh kritik, padahal begitu banyak guru besar yang otaknya kecil, yang cara berpikirnya dangkal. 

Jadi semua orang sebenarnya potensial untuk jadi pendebat kalau dia mau fokus pada logikanya. Logika bisa disembunyikan dalam retorika, seolah-olah dengan gaya teatrikal dia bisa manipulasi pendapat, opini, atau berbohong. Tapi kita lihat jalan pikir aja, kita perhatikan fallacies, atau potensi dia untuk membuat salah nalar, gagal nalar.

Bung Rocky kan tidak berpartai, menjelang 2024 nanti apa ada partai yang mendekat? 

Dari 2009 semua partai bujuk buat jadi caleg lah, jadi dewan pakar, segala macam.

Tapi kan saya mengambil sikap untuk I'm part of no part gitu. Bagian dari yang bukan bagian. Bagian dari teman-teman di sini, jurnalis yang berupaya untuk menuntun bangsa ini supaya enggak masuk dalam jebakan money politics, berupaya supaya kita keluar dari feodalisme, supaya ada perdebatan intelektual. 

Kan semua partai sekarang kelihatannya kosong pikiran, kosong ide kan. Kan yang terjadi koalisi-koalisi, itu koalisi ngapain sih sebetulnya? Kayak orang mondar-mandir. Kalau kita lihat koalisi dari atas itu kayak mondar-mandir, tapi otaknya kosong.

Sekarang koalisi bisa pindah-pindah. Misalnya PDIP nyalonin Ganjar, tapi nanti berkoalisi dengan siapa? PPP misalnya, sodorin di situ Sandiaga. Gimana akalnya itu? PDIP itu sosialis, ajaran Bung Karno. Sandiaga seorang kapitalis. Gimana nyambungnya? Itu kan koalisi yang dungu.

Kan koalisi mesti antara sosialis dan sosialis, liberal dengan liberal, ateis dengan ateis, kan begitu. Ini enggak jelas polanya. Jadi memang nggak ada ide. Jadi koalisi demi apa? Koalisi demi tukar tambah amplop doang, bukan tukar tambah ide. 

Artinya memang banyak dari partai di Indonesia yang enggak ada landasan ideologis yang jelas ya? 

Iya, karena enggak ada landasan ideologi, maka gua bukan bagian dari kedungan itu. Itu gua balik tanya, kenapa harus dianggap bahwa partai-partai ini harus dituntun oleh ideologi? Karena memang semua partai, yang disebut visi dan misi, misalnya. Visi-misi apa? Pancasila. Ya kalau lurus sama Pancasila, yuk gabung aja semua, kan? Tapi, mesti diterangkan. 

Kalau lu misalnya, visinya Pancasila, sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sekarang kita tanya, who's justice? Siapa yang berhak untuk merumuskan keadilan? Keadilan buat siapa itu? Cara kita melihat keadilan versinya libertarian atau marxist? Versinya feminist point of view soal justice atau maskulinitas? Kan itu gak pernah diperdebatkan. Jadi seolah-olah begitu dibilang Pancasila udah selesai. 

Kalo di dalam teori, keadilan itu versinya macam-macam. Keadilan mau dicapai dengan pola distribusi, artinya pajak mesti dilakukan secara progresif. Atau keadilan berdasarkan jumlah pajak yang dia berikan pada negara, maka dia berhak untuk dapat jumlah anggota parlemen. Gak pernah dibahas kan? 

Tidak ada duel ideologi yang basisnya adalah orientasi program. Jadi kalau dibilang ya semua partai, memang gak ada ideologinya. Partai punya ideologi, enggak mungkin ada koalisi yang semacam ini. Dan kekacauan itu justru yang diperparah oleh sifat presiden juga. Ya pokoknya anything goes, apa aja yang penting legacy dia masih bisa diselamatkan. 

Kalau ditanya, dua partai berkoalisi buat apa? Buat menjaga supaya IKN (Ibu Kota Negara) itu jalan terus, buat menjaga supaya kereta Jepang enggak macet. Loh, bukan itu yang namanya koalisi partai. Itu kan akal-akalan cawe-cawe presiden aja. Yang kemudian menyulap kita, jadikan itu seolah-olah isu, padahal itu bukan isu.

Di dalam politik isunya harus ideologis. Apakah arah IKN itu mengarah pada keadilan sosial atau mengarah pada kerusakan ekologi? Nah itu pertanyaan filosofisnya di situ, atau pertanyaan ideologisnya di situ. 

Menurut Bung Rocky penting pindah dari Jakarta ke IKN? 

Apa dasarnya? Pindahnya kan enggak ada dasar apa-apa kan? Dari awal Jokowi enggak pernah menjanjikan di dalam kampanye buat pindah ibu kota. Tiba-tiba di tengah jalan dia mimpi pindah ibu kota. Apakah habis baca Sinchan? Atau habis dengar suara burung perkutut atau cicak di dinding? Enggak pernah jelas dasarnya kenapa pindah. 

Karena Bung Karno bilang pindah. Loh, Bung Karno sebutkan itu sebagai retorika dan itu poinnya dulu lain, ada perang dingin. Ini pindah demi apa? Dan kalaupun pindah, kan udah batal, enggak ada lagi investor yang masuk di situ. Terakhir Jokowi kemarin coba dia minta supaya penduduk Singapura beli rumah di IKN. Penduduk Singapura bilang, “Mana rumahnya?”

Jadi Jokowi udah jadi agen properti sebetulnya. Kan dia jualan rumah, dia bukan jualan ibu kota kan? 

Ibu kota itu dimaksudkan sebagai pusat pemerintahan. Sekarang Jokowi bilang Singapura beli rumah di situ, loh itu artinya pusat pemerintahan berubah menjadi pemukiman dong? Itu kayak kita suka lihat “hubungi Linda nomor sekian-sekian”. Itu kan fakta konyolnya. 

Banyak serangan ke Bung Rocky yang mempertanyakan peran Bung pas Orde Baru. Tahun 1998 Bung ada di mana?

98? 98 itu saya ada di parkiran Atmajaya, diuber-uber oleh Brimob, dibrondong di situ bersama mahasiswa saya, 98 saya bawa mahasiswa saya masuk keluar Atmajaya. Penembakan pertama di Trisakti, mobil saya cat putih, terus saya kasih palang merah, makanya saya masuk di Trisakti. Jadi saya ada di jalan pada 1998 dan saya bawa mahasiswa saya untuk demo. Waktu itu saya dosen Universitas Indonesia (UI).

Banyak juga yang menyangka Bung Rocky ini punya backingan karena enggak pernah dipenjara padahal sering menyinggung?

Kan enggak pernah ditemukan delik semua yang saya ucapkan. Kalau ada backing, enggak ada kasus. Tanya aja ke Mabes atau Polda, itu mungkin ada 30 laporan. Masih ada 30 laporan numpuk di situ. Tapi kan enggak ada delik. 

Kan saya selalu mengkritik policies itu. Saya selalu menyebut, misalnya kalau aku bilang Presiden Jokowi dungu, saya enggak bilang Jokowi yang dungu. Presiden Jokowi artinya dia sebagai kepala negara tidak menghasilkan program yang konsisten. Inkonsistensi itu dalam logika disebut fallacy itu. Fallacy itu kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia panjang itu. 

Fallacy artinya ketidakmampuan untuk menghubungkan antara tesis dengan kesimpulan sehingga data di dalamnya itu berantakan. Kan panjang, apalagi lu tweet. Itu kalau diperpendek namanya dungu.

Jadi bukan ke personal? 

Enggak ada personalnya di situ. Kalau itu personal, saya mesti hina bagian integral dari dia, yaitu batin dia. Kan saya enggak hina batin. Kan presiden itu bukan orang, presiden itu kan fungsi jabatan. Jokowi ya manusia. Jadi sering saya sebut Pak Jokowi itu bagus sebagai kepala keluarga, itu wilayah privat, buruk sebagai kepala negara, itu wilayah publik. Nah wilayah publik ini mesti terbuka. Nggak boleh ada presiden yang tersinggung kalau dia dikritik di wilayah publik.

Rocky Gerung bersama putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka. (Dokumentasi Gibran)

Presiden, anggota DPR, siapa saja itu, gubernur, dulu waktu dia-dia mau nyalon buat jadi pemimpin, dia jadi pengemis kita kan? Dia minta suara lu kan? Jadi dia itu peminta-minta sebetulnya. Begitu dia punya jabatan, dikasih pin negara, loh kok dia ada di atas gue? Kan ngehek namanya. Kurang ajar betul. 

Lu tadinya pengemis di bawah gue, tiba-tiba gue mesti minta izin untuk bertemu lu dengan prosedur yang panjang. Itu artinya dia tidak tahu diri. Dan demokrasi selalu mengembalikan prinsip bahwa pejabat publik itu adalah petugasnya rakyat. Dia wakil kita untuk menghasilkan kebijakan pro kita. Jadi kita berhak tegur dia. 

Karena dia tadinya minta suara saya, saya tidak serahkan kedaulatan saya pada dia, yang saya serahkan kepentingan politik saya, bukan kedaulatan. Nah sering kali mereka klaim kedaulatan, kan kalian serahkan kedaulatan. Di mana saya serahkan kedaulatan? Kedaulatan itu menetap pada diri warga negara. Yang berubah adalah kepentingan politik, kedaulatan tidak kita serahkan selama lima tahun.

Enggak mungkin kita kasih kedaulatan. Kedaulatan itu justru yang mengendalikan politik elit. Jadi kalau kedaulatan hilang, ya enggak ada lagi prinsip demokrasi. 

Kalau untuk golput, Bung Rocky pernah golput? Kenapa? 

Golput? Ya bertahun-tahun gue golput lah. 

Sampai 2019 kemarin?

2019 juga saya golput tuh, karena malas aja ke TPS (Tempat Pemungutan Suara). Ya ada orang yang malas, ada orang yang merasa frustrasi. Kalau sekarang kecenderungan orang itu bukan golput, seperti swing voters. Mereka yang belum punya arah, karena enggak lihat calon-calon itu punya arah kan? Dan mungkin itu 27 atau 30% dari potential voters kita adalah swing voters.

Kan kalau aku bertanya misalnya pada millennials atau pemilih anak muda itu, mau milih siapa? Mereka jawabnya bukan mau milih siapa, tapi ide mereka apa? Ide capres ini apa? Terutama dalam dua soal: environmental ethics atau ecological point of view, yang kedua, global security problem

Kan dunia ini sekarang hanya diasuh oleh dua isu. Isu pertama adalah isu ekologi, isu environmental ethics. Di dalamnya ada isu feminism, gender equality, itu satu paket lah, green economy. Satu paket untuk memulihkan pengertian kita bahwa kebijakan publik itu harus menghasilkan keadilan bahkan pada semut, bahkan pada burung, bahkan pada pohon. Hak pohon untuk tetap hijau. Hak semut untuk bersarang di pohon. Hak merpati untuk berkicau di pagi hari. Kan itu hilang semua kalau deforestasi. Jadi isu itu ditunggu oleh millennials. 

Yang kedua adalah isu keamanan. Millennials merasa kalau terjadi ketegangan di Indo-Pasifik atau potensi perang dunia ketiga misalnya, presiden Indonesia mau mengucapkan apa? Jadi kecemasan itu sangat eksistensial, sehingga bagi anak muda ya udah, tunggu aja, swing voters. Dia nunggu aja siapa yang bisa raise isu-isu strategis itu. 

Tapi kalau term pemerintah ke masyarakat kan, golput itu sesuatu yang haram gitu. Menurut Bung Rocky bagaimana?

Ya pandangan dia yang haram tuh. Pandangan pemerintah yang menyatakan golput haram tuh haram. Golput itu adalah koreksi terhadap ketiadaan pilihan. Masa lu suruh gua pilih martabak basi atau pisang goreng yang udah penuh semut. Kan bukan itu pilihannya. Ya dua-duanya gua enggak pilih, makanya gua jadi golput. Kan yang disodorkan begitu oleh pemerintah. 

Bagaimana kalau surat suara kita digunakan untuk hal lain?

Kan itu cuma soal lu golput enggak dateng ke TPS. Oke lu golput, tapi begitu di TPS lu robek-robek aja semua surat suara itu. Itu kan tetap prinsipnya lu tidak punya pilihan, tidak mau memilih karena keterbatasan pilihan, dan keterbatasan argumen untuk memilih seseorang. 

Kalau dari tiga capres yang sekarang lagi digadang-gadang, Prabowo, Ganjar, Anies, menurut Bung ada yang lebih baik?

Gue koreksi pernyataan lu ya. Capres itu artinya calon presiden dan calon wakil presiden. Konstitusi bilang begitu. Dia mesti pasangan presiden dan wakil presiden dan diajukan oleh minimal 20 persen yang threshold bodoh itu kan. Sekarang enggak ada calon presiden. Siapa calon presidennya? Kan dia enggak punya wapres, bagaimana jadi calon presiden? 

Jadi tidak ada calon presiden menurut versi normatif konstitusi. Yang ada calon presiden menurut versi lembaga survei.

Bung Rocky kemarin sempat bilang lembaga survei tipu-tipu ya?

Ya memang. Lembaga survei itu survei publik, berarti dia mesti pertanggungjawabkan dananya dari mana. Survei publik itu selama dia enggak kasih tau dana itu, artinya itu survei pesanan. Dari awal metodologinya palsu. You musti sebut, ini dana dari Partai Demokrat, ini dana dari Gerindra. Enggak apa-apa sebut itu, supaya nanti orang bisa lakukan reverse methodological scrutinizing kan. Kalau enggak, buat apa? Kita enggak tahu dana siapa. 

Apa tanggapan Bung Rocky soal cawe-cawenya Jokowi di Pilpres 2024?

Gini, coba lu lihat misalnya, Golkar calonin Airlangga Hartarto hasil Munas (Musyawarah Nasional) Golkar. Gerindra calonin Prabowo hasil Munas Gerindra. PKB calonin Cak Imin hasil Muktamar PKB. Kan dia udah punya calon kan? Tetapi nanti Cak Imin bilang, tapi ini hasilnya tergantung keinginan presiden. Lah bagaimana? 

Kedaulatan partai itu ada di dalam Munas. Munas memutuskan si A jadi presiden kita, nanti si A itu oleh ketua partainya bilang, “Tapi kita tanya dulu ya pada Jokowi.” Ngapain nanya Jokowi? Kalau begitu Jokowi ketua semua partai dong, kan konyol. Itu intinya kan? Lu milih buat cerai misalnya. Lu cuma boleh konsultasi dengan bini lu, mau cerai apa enggak? Tapi nanti begitu lu udah putusin cerai, lu tanya dulu pada bapak lu. Buat apa? 

Dengan kata lain Jokowi memanfaatkan kedunguan partai ini untuk cawe-cawe. Kan partai mesti bilang, saya udah calonkan ketua umum saya, oleh karena itu ketua umum hargai pencalonan yang datang dari konstituen. Bayangin misalnya, PKB mesti tunggu Jokowi untuk setuju apa nggak setuju. PPP bilang, oke calon presiden kita ditentukan oleh Jokowi, kita tunggu sinyal dari Jokowi. PAN juga bilang begitu. Lah Jokowi emang anggota dari tiga partai itu?

Jadi itu yang mesti kita luruskan, bahwa saya memilih partai A supaya partai A itu memunculkan seseorang dari dalam partainya untuk jadi presiden. Tidak perlu konsultasi dengan Jokowi kan. Otaknya di mana untuk partai itu kan? Pasti enggak di kepala.

Mungkin begini Bung, Jokowi mengintervensi atau ikut menceburkan dirinya mendukung salah satu pasangan calon (Paslon), misalkan. Itu bagaimana? 

Ya bodoh aja tuh si Paslon itu. Paslon itu kan dicalonkan oleh partai, kenapa dia mau tunggu dicalonkan Jokowi? Lama-lama Jokowi bilang, ya enggak jadi deh pindah lagi. Terus yang kebetulan partai ngikutin Jokowi lagi. Jadi dua-duanya dungu. Gampangnya, partainya dungu, Jokowinya juga dungu. 

Berarti kalau nyambung ke isu-isu kemarin ada seruan impeachment Jokowi itu bisa? 

Ya memang bisa. Kan Jokowi udah melanggar semua yang dia janjikan pada waktu itu. Kan nggak ada satu pun janji presiden di dalam kampanye itu yang dia lakukan. Apakah dia berjanji bikin IKN? Enggak. Jadi kenapa mesti itu yang diukurkan? Kita ukurkan apa yang dijanjikan presiden, misalnya hutang luar negeri tidak akan dia tambah, sekarang bertambah hutang luar negeri kan?

Yang dijanjikan presiden itu yang mesti ditagih. Misalnya presiden janji 30 program ya, semuanya ada, lalu ada program yang tidak dia janjikan, IKN, lalu IKN sukses, lalu yang 30 ini apa? Ngikut IKN? Loh kita mesti uji yang 30 yang lu janjikan gak jalan. Maka jangan tambahkan yang IKN gak dia janjikan, apalagi kalau IKN-nya merosot. 

Apa misalnya yang bisa dibilang sukses? Pertumbuhan ekonomi janjinya 9-10% ternyata cuma sampai 5% dan itu gak bisa menciptakan lapangan kerja. Apa lagi yang dia janjikan? Demokrasi? Menurut lembaga survei dunia, Indonesia indeks demokrasinya turun. Apa lagi? Korupsi? Korupsi jalan terus. Apa lagi? kesejahteraan? Gak ada buktinya dan justru stunting sekarang persentasenya 25%, artinya satu dari empat bayi yang lahir kekurangan gizi. 

Kan perintah konstitusi pada presiden cuma dua, cerdaskan kehidupan bangsa, rawat fakir miskin. Sekarang kita lihat Pak Jokowi cerdaskan kehidupan bangsa? Enggak. IQ Indonesia itu tinggal 70. Gimana mau ada bonus demografi kalau IQ kita tinggal 70? Dari mana? Dunia mengevaluasi, bikin riset IQ Indonesia tinggal 70. IQ Singapura 115. 

Kalau kita cari nama Rocky Gerung di Google, banyak keyword begini: Rocky Gerung Anies, Rocky Gerung Istri, Rocky Gerung Menikah, dsb. Dari sekian daftar itu, ada yang mau Bung Rocky tanggapi?

Ya gue lebih paham dari Google lah. Kan misalnya lu tanya social medianya apa? Twitter? Ada nama saya, tapi ada 20 nama yang pake nama saya. Itu kan palsu. Twitter saya itu dulu follower-nya kira-kira 2,5 juta tuh. Dirampok oleh buzzer-buzzer dungu ini tiga hari sebelum Jokowi dilantik. Dihancurin. Saya gak punya lagi Twitter kan.

Instagram? Mungkin ada 20 Instagram yang pake namaku tuh. Bahkan ada Instagram yang follower-nya itu 900 ribu atau sejuta, dia pake buat dagang obat kuat. Tapi bagaimana mau dipersoalkan? Gak ada hukumnya kan di Indonesia. 

Jadi sekarang Bung Rocky gak punya media sosial apa-apa?

Gak ada. 

Twitter juga?

Ya palsu semua kan. Jadi ada orang nge-tweet atau pake Facebook atau nama saya, dilaporin ke polisi, itu bukan punya gue. Yang ngelapor siapa waktu itu, orang PDIP. Ini bodoh banget ya. Nama lu juga bisa gue bikin Twitter kok. Bisa gue bikin Instagram. Kok dia percaya? Polisi juga bingung. Bagaimana buktinya? 

Aku nggak punya. Yang ada YouTube itu dibuat temen-temen FNN, tapi karena saya narasumber tetap, makanya namanya Rocky Gerung Official. Karena gue ngomong terus setiap hari. Itu aja. Jadi aku nggak punya social media. Karena itu, Google pasti punya begituan. Karena algoritma orang pasti tanya macam-macam yang lu sebut tadi. 

Pertanyaan terakhir nih, Bung. Ada tips dan trik memilih presiden 2024 buat teman-teman? Atau golput aja deh gitu?

Saya ingin presiden berikutnya itu lolos dalam tiga filter. Yang sekarang filter yang dipake cuma elektabilitas. Bagaimana kalau elektabilitas itu menghasilkan orang dungu? Bagaimana kalau elektabilitas itu menghasilkan koruptor? 

Jadi filter pertama buat panduan calon presiden, terutama buat millenial, lihat dulu etikabilitasnya, atau dalam agama sebut moralitasnya. Baru kita filter yang kedua, intelektualitasnya. Karena presiden kita harus deal dengan pikiran-pikiran abstrak dunia, soal feminisme, soal justice, soal demokrasi, soal environment segala macam, soal global security. Jadi kalau dia nggak punya konsep, itu artinya dia tidak lolos intelektualitas. Baru kita uji elektabilitasnya. 

Rocky Gerung saat memberikan pembekalan kepada dosen-dosen UPN Veteran Jakarta. (Dokumentasi UPN Veteran)

Jadi undang aja calon presiden, calon legislasi ke sini, terus kita bongkar, lu elektabilitas 90, tapi intelektualitas lu minus 3, etikabilitas lu minus 60, misalnya. Jadi ngapain lu mau nyaleg kalau lu enggak paham konsep, kan? Dasarnya kan itu.

Jadi pemimpin itu dia pertama harus bersih secara moral. Kedua, dia harus tajam secara intelektual, baru dia kita izinkan untuk masuk dalam ujian elektabilitas. Itu panduan. Kalau itu enggak terjadi, ya mari masing-masing jadi golput aja. Kan percuma, kan? 

Ya memang ada tiga calon presiden, tapi kan tadi gue bilang, ya wakil presidennya masih kasak-kusuk ditentukan. Dan kita bukan membeli kucing dalam karung, karena karungnya udah bolong, kelihatan langsung kucingnya. 

Walaupun ke depan ada wacana pemilu tertutup, tetap aja bolong ya karungnya?

Gini, sistem pencoblosan itu memang konstitusi kita bilang pemilihan presiden itu adalah, pemilu kita, sistemnya partai. Jadi kita nyoblos partai. Memang hak partai untuk nentuin. Itu kalau demokrasinya bersih. Mau terbuka, tertutup, enggak ada soal. Karena kita percaya bahwa partai enggak akan nipu. 

Sekarang sistem tertutup itu memungkinkan mereka yang koruptor itu justru masuk lagi. Karena waktu gue coblos misalnya partai A, gue enggak tahu nanti yang akan terpilih siapa. Kalau terbuka jelas gue coblos partai, gue tahu nama yang enggak gue coblos karena dia koruptor misalnya, atau dia penghina perempuan. Kita enggak akan pilih seorang caleg yang misoginis. Tapi ini kan kita enggak tahu. 

Jadi kita coblos partai dengan asumsi bahwa kita mau pilih seseorang yang percaya pada keadilan gender, ternyata dia seorang patriarkis yang tukang gamparin bini misalnya, atau punya problem dengan pelecehan seksual. Kan kita enggak tahu. Itu bahayanya kalau sistem tertutup. Atau koruptor yang masih ngumpet tiba-tiba dia mau jadi caleg, nyogok ketua partai, itu kan bahayanya.

Dalam keadaan moral bangsa ini buruk, sistem tertutup akan memperburuk rekrutan politik kita.

Rekomendasi