Kisah Eyang Nani: dari Penyanyi Istana Cipanas ke Penjara Bukit Duri

| 07 Oct 2023 19:35
Kisah Eyang Nani: dari Penyanyi Istana Cipanas ke Penjara Bukit Duri
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

Kalian sedang membaca rubrik Stori yang merupakan berita dengan pendekatan jurnalisme sastrawi. Dalam tulisan kali ini, kami mewawancarai Eyang Nani, eks penyanyi di Istana Cipanas yang hidupnya berubah sejak peristiwa G30S PKI. Gara-gara pernah tampil di acara ulang tahun PKI, ia dituduh mata-mata PKI yang menyelinap ke tentara dan dipenjara tujuh tahun di Bukit Duri. Kisah Eyang Nani dituturkan ulang dalam format sudut pandang orang pertama oleh penulis ERA Agus Ghulam.

ERA.id - Empat tahun sebelum bangsa ini memproklamirkan kemerdekaannya, saya lahir. Ayah dan ibu saya memilihkan nama Nani Nurani. Nama itulah yang tertera di kartu kependudukan saya hingga detik ini–identitas yang saya dapatkan setengah mati. 

Dulu saya dituduh sebagai PKI; KTP saya pernah dicap sebagai eks tapol; dan saya wajib lapor bertahun-tahun lamanya. Saya baru resmi mendapat KTP seumur hidup pada 2008, setelah usia saya 67 tahun–waktu yang terlampau panjang untuk sekadar diakui sebagai warga negara tanpa stempel penjahat. Begini kisah saya.

Eyang Nani memegang foto masa mudanya waktu menjadi penyanyi di Istana Cipanas. (ERA/Muslikhul Afif)

I. Suatu hari di Istana Cipanas

Saya ingat-ingat, mungkin semua ini bermula pada suatu hari di Istana Cipanas tahun 1965. Waktu itu usia saya masih 24 tahun, begitu muda dan banyak yang bilang geulis–hanya kalah cantik dengan kakak kandung saya.

Sudah beberapa tahun lewat sejak pertama kali saya belajar tari dan nyanyi klasik Cianjuran. Saya juga sudah diangkat jadi pegawai Dinas Kebudayaan setempat. Boleh dibilang, pada masa itu nama saya begitu terkenal di Cianjur. Orang mungkin lupa dengan wajah saya, tapi mereka ingat suara saya yang sering ditanggap untuk menyanyi di mana-mana. Gara-gara itu pula, istri bupati Cianjur sampai mengajukan nama saya sebagai penghibur di Istana Cipanas–tempat Bung Karno tetirah.

Potret masa muda Nani Nurani. (ERA/Muslikhul Afif)

Saya jadi ketua grup tari berisi 30 orang. Namun, pertama-tama saya bertugas menyambut Bung Karno dan para tamu yang datang sebagai pagar ayu atau mengantar hidangan ke pejabat-pejabat negara asing. Belum ada yang tahu saya cakap menyanyi. Suara saya baru mulai bergaung di Istana Cipanas ketika Perdana Menteri Djoeanda Kartawidjaya datang ke sana. 

"Boleh tidak saya hari ini tidak di dalam? Bosan ketemu orang tua," ucap saya kepada kepala rumah tangga Pak Darto. Ia mengizinkan. Lagian tak ada Bung Karno juga hari itu. Saya lalu menunggu di paviliun luar bersama tamu-tamu lain dan para gadis istana. Hujan turun deras. Saya diminta menyanyi oleh teman-teman untuk menyemarakkan suasana. Di situ ada Kasdim Cianjur. Setelahnya saya diminta menemani Pak Djoeanda yang menunggu sendirian di dalam. Saya nurut.

Usai saya menyanyi di hadapan Pak Djoeanda, ia bilang begini. "Saya lihat, dari kau duduk, kau bisa nari juga?" Saya mengiyakan. Ia meminta saya menari dan menari. Lengkap sudah segala yang saya punya terkuak di Istana Cipanas. Sejak saat itu, saya dikenal sebagai penyanyi dan penari istana. Sejak saat itu, nasib saya dikunci.

II. Dikejar tentara, dilindungi tentara

Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei dulu selalu dirayakan gede-gedean. Kebetulan pada tahun 1965, yang dipasrahkan memegang komando sebagai panitia adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di bawah PKI. Karena saya ikut tampil di acara itu, otomatis panitia jadi mengenal saya. Sehabis acara, mereka meminta saya, "Sus Nani, nanti kita Juni ulang tahun. Nyanyi dong sama nari."

Di benak saya waktu itu, saya sebagai seorang seniman diundang tampil dalam acara kesenian oleh komunitas seni, masa iya saya tolak? Saya dulu buta sama sekali tentang politik nasional. Disuruh menjabarkan ideologi komunis saja tak mampu. Boro-boro paham dengan gerakan PKI di tanah air atau dekat dengan Aidit–yang nanti selalu dikait-kaitkan dengan nama saya. 

Eyang Nani menceritakan masa lalunya di rumahnya. (ERA/Muslikhul Afif)

Akhirnya saya tampil di perayaan ulang tahun PKI di Cianjur. Acara yang megah dan ramai. Banyak pejabat hadir membawa keluarga mereka menikmati sajian kesenian berbagai rupa. Saya senang-senang saja, ikut menikmati. Di hari itu juga, kakak saya pulang ke Cianjur, meminta saya ikut pindah ke Jakarta menemaninya. Malam harinya saya masih nari-nari, esoknya sudah diboyong pergi. Kami berdua lalu tinggal bersama di Menteng. Tak saya sangka dalam hitungan bulan hidup saya bakalan berubah total.

Penghujung September 1965, saya tak tahu gejolak apa yang sedang terjadi di luar sana. Kuping saya baru mendengar kabar-kabar setelah kedatangan kakak ipar di Jakarta. Ribut-ribut ia bilang soal Dewan Jenderal hingga pemberontakan dan menyuruh kami menyetel radio. Dari radio itulah saya sedikit-sedikit tahu konflik yang lagi panas-panasnya. 

Kakak sebetulnya sedang belajar tari lenso untuk tampil dalam penutupan kongres di Istana Bogor tanggal 3 Oktober. Gara-gara pecah Gerakan 30 September, acara itu dibatalkan, dan kami memutuskan pulang ke Cianjur. Sesampainya di kampung, kakak berdiskusi dengan ayah untuk menjual rumah dan membeli lagi di pinggir jalan agar mudah untuk parkir mobil. Kami lalu berkeliling Cianjur untuk survei lokasi. 

Beberapa hari kemudian, setelah saya kembali ke Jakarta, rumah kami diserbu tentara. Saya dituduh berkeliling untuk mengumumkan kalau pemberontakan di Jakarta gagal. Beredar juga kabar kalau saya ikut membuang jasad para jenderal di Lubang Buaya. Katanya di rumah banyak senjata dan alat pencukil mata. Tuduhan yang bukan saja tak berdasar, tapi tak masuk akal. Saya marah. Saya harus pulang ke Cianjur lagi. Saya harus jelaskan semuanya. 

Namun, bos kakak ipar saya di imigrasi bilang begini, "Bukan saatnya bicara jujur sekarang. Kau lebih baik diam aja di Jakarta." Menurutnya, Cianjur bukan lagi tempat yang aman bagi saya. Saya hanya bertanya-tanya, apa salah saya? Seumur-umur tak pernah saya menggenggam senjata selain pisau dapur. Setelah 24 tahun hidup, tiba-tiba saja saya berubah dari seorang penari dan penyanyi menjadi pemberontak.

Beberapa bingkai foto yang menghiasi rumah Eyang Nani sekarang. (ERA/Muslikhul Afif)

Keinginan pulang ke Cianjur akhirnya saya pendam. Lalu pada bulan November, seorang ajudan Letkol Atmoko datang ke rumah meminta saya bekerja di perusahaan Takari yang dikelola Kodam Limajaya dan Siliwangi. Entah ia kenal saya dari mana atau siapa. Karena saya juga tak mengenalnya, tawaran itu langsung saya tolak. Selang seminggu, ia datang lagi, kali ini membawa amplop berisi Rp50 ribu, agak memohon.

“Kalau tidak betah boleh keluar, atau kalau mau kontrak saja,” pintanya. Kali ini saya bimbang. Bukan karena uangnya, tapi karena saya takut salah ucap. Dua kali saya didatangi tentara, apa jangan-jangan kalau saya tolak justru menjadi kiamat bagi saya? 

Saya ngobrol dengan kakak. Akhirnya kakak bilang ke utusan yang datang. “Baik, adik saya boleh kerja. Titip rambutnya selembar, darahnya setetes, adik saya itu cuma ini satu-satunya.”

Jadilah saya bekerja di Takari sebagai sekretaris Pak Atmoko. Hari demi hari berlalu, saya sadar bos saya tak tahu latar belakang saya yang dituduh komunis. Namun, rahasia ditutup-tutupi serapat apa juga akhirnya terbongkar. Tahun 1966, kakak pulang ke Cianjur. Dalam perjalanannya ke Jakarta, ia disergap dan dititipi ancaman: Kalau saya tidak pulang, ayah bakal dijadikan sandera. Saat itulah saya melapor ke Pak Atmoko.

“Kenapa enggak bilang dari dulu?” 

“Saya pikir enggak akan seperti ini.”

“Ya sudah, kau lapor ke Kodam.”

Saya ikuti arahan Pak Atmoko. Kodam lalu mengirim surat ke Cianjur, mereka minta bukti keterlibatan saya dengan PKI. Tak ada pesan balasan dari Cianjur. 

“Berarti kau enggak boleh pulang ke Cianjur, bahaya,” ujar Pak Atmoko. Ia kemudian menjamin keamanan saya di Jakarta. 

Atasan saya itu orang yang bisa dipercaya, apa yang diucapkan ia kerjakan. Sayangnya, ia juga dituduh orangnya Bung Karno. Sebelum ia ditangkap, saya diserahkan ke seorang tentara yang butuh sekretaris, Soerjosoemarno. Waktu itu, kata Pak Atmoko, ada dua jenderal yang sedang mencari sekretaris: Pak Soerjo dan Pak Utarman.

“Saya lebih merasa aman kau dengan Pak Soerjo. Kalau Pak Utarman polisi, takut enggak mampu melindungi kau,” kata Pak Atmoko. Saya melepasnya pergi dengan rasa terima kasih sekaligus takut. Setelah ia ditangkap, saya berganti menjadi sekretaris Pak Soerjo, dan untuk sejenak saya merasa aman.

III. Hari tenang sebelum badai

Saya terbangun tiap malam dan tak bisa tidur lagi. Sekitar saya tampak seperti hutan dan saya tersesat di dalamnya; kehilangan arah, sendirian, gelap, menunggu pagi. Pak Soerjo membawa saya ke kantornya di Merdeka Utara tahun 1967, tepatnya di samping Bank of America. Ia mempekerjakan saya, tapi tak tahu menahu kalau saya sedang dicari-cari tentara dan dalam pengawasan psikiater karena pikiran-pikiran saya yang mulai kacau sejak dituduh antek PKI.

Beruntungnya, saya diberi kesempatan meluapkan perasaan gelisah itu dengan kembali menyanyi dan menari. Waktu itu para pelajar dari Badan Kesenian Sunda Mahasiswa pergi ke Cianjur, mencari guru untuk mengajar Cianjuran.

“Ngapain kamu jauh-jauh datang ke Cianjur? Di Jakarta juga ada Si Nani,” ungkap pegawai Dinas Kebudayaan ke mereka. Dari situlah saya lalu diminta untuk menjadi guru Cianjuran–dua tahun setelah saya terakhir menyanyi untuk ulang tahun PKI.

Akhirnya saya kembali ke habitat saya dan rasanya sungguh melegakan. Setidaknya cukup mengalihkan perasaan was-was saya dari pikiran dikejar-kejar tentara.

Eyang Nani menceritakan peristiwa pasca G30S PKI. (ERA/Muslikhul Afif)

Murid-murid saya mencakup istri-istri jenderal tentara dan polisi. Beberapa dari mereka datang sendiri tanpa diantar ajudan, semata-mata menghargai saya yang juga bekerja sebagai sekretaris seorang jenderal. Hari-hari mengajar tari itu mungkin hari-hari paling tenang bagi saya setelah peristiwa G30S. Namun, seperti tenang sebelum badai, itu hanya berlangsung sesaat. Tahun 1968, Pak Soerjo mulai ditanya-tanya siapa yang sekarang bekerja sebagai sekretarisnya.

"Nani, Bapak ada yang nanya, siapa kau?" tanyanya suatu ketika. Saya tak bisa lagi mengelak. Semuanya saya ceritakan.

"Ya udah gampang, kau minta surat bebas G30S ke Koramil," ucap Pak Soerjo. Saya menurut. Setelah datang ke Koramil, surat bebas G30S saya keluar. Karena sudah punya pegangan itu, saya jadi kurang awas dan memberanikan diri pulang lebaran ke Cianjur. Ayah bilang, ada sepupu yang baru datang dari Sumatera. Padahal saya sudah dipesani Pak Soerjo agar jangan ke mana-mana. 

Benar saja, malam hari setibanya saya di Cianjur, saya ditangkap. Surat bebas saya direbut dan tak pernah dikembalikan. Saya masih ingat betul tanggalnya: 23 Desember 1968. Permintaan saya hanya satu: Ayah ikut menemani. Sebab saya ingat pernah diberitahu seorang pejabat, "Kalau terpaksa harus ditangkap, jangan mau sendirian."

Mungkin karena ada ayah, mungkin karena tak ada bukti saya terlibat gerakan PKI, saya tak disiksa selama proses interogasi. Walaupun tetap saja jiwa saya terguncang melihat wanita-wanita lain disiksa di depan muka saya: Kaki mereka ditindih kaki kursi hingga disuruh menulis di atas kertas, lalu kertas itu dibakar di telapak tangan mereka.

Sebulan saya dikurung di Gedung Ampera Cianjur lalu dipindahkan ke CPM Bogor. Sebelum dibawa pergi, jaksa yang memeriksa saya bilang, “Sus Nani mendingan sama ibu. Kalau sama ayah, mereka bisa maksa.” Akhirnya saya dibawa ke Bogor ditemani ibu saya. 

Di usia saya yang ke-27, saya ditangkap tanpa pengadilan dan entah mau diapakan. Satu-satunya alasan mereka menangkap saya hanya kesaksian orang-orang PKI yang pernah menyanyi dan menari bersama saya–orang-orang yang bahkan sudah saya lupakan mukanya setelah beranjak dari panggung.

IV. The invinsible PKI

Ibu dan saya hanya mendapatkan kamar dengan ranjang besi di CPM Bogor; tanpa tikar, tanpa bantal, tanpa selimut. Ibu hanya membawa selembar kain yang ia gunakan sebagai alas ranjang untuk kita tidur berdua. Malam pertama itu tidur kami tak nyenyak sebab belum terbiasa beradu punggung dengan besi. 

Ibu menangis, dirangkulnya kepala saya ke pundaknya. “Kalau saya tahu kau akan dibeginikan oleh orang, saya enggak mau melahirkan kau.”

Saya menatap matanya. “Ibu, yang sakit itu bukan ini.” Tangan saya menunjuk ke kepala, lalu gantian menunjuk ke dada. “Tapi ini.”

Andai kata saya PKI saja, saya tidak akan sakit hati. Itulah risiko dari sebuah langkah. Tetapi saya bukan siapa-siapa dan tidak mengerti apa-apa. Saya memberontak ke siapa? Sukarno? Wong saya ini bolak-balik ke istana, penyanyi di sana, bagaimana bisa berontak?

Ayah saya pernah ditangkap Belanda, ia bisa menceritakannya dengan bangga ke anak-anaknya. Sementara saya, apa yang bisa dibanggakan dari ditangkap bangsa sendiri?

Eyang Nani di depan dapur rumahnya. (ERA/Muslikhul Afif)

Seminggu bermalam bersama ibu di kamar yang dingin, tiba-tiba saya disergap rasa takut setelah diberitahu bakal dibawa ke penjara di Bogor atau Bandung.

Dari CPM Bogor, saya dibawa ke CPM Guntur. Tiga orang overste dan seorang mayor bernama Sarjono menunggu saya di sana. Mereka menyodorkan saya bagan-bagan organisasi PKI segala macam. 

“Jangan pura-pura tidak tahu!” bentak mereka. Saya terus menjawab tidak tahu–dan jawaban jujur tak diharapkan di sana. Mereka bilang saya “invisible PKI” yang menyelinap ke tentara. Saya bingung harus tertawa atau menangis mendengarnya.

Mereka lalu menggiring saya ke kosan saya di Jl. Purwakarta No. 2. Album-album foto saya diambil dan buku harian saya sejak tahun 1965 dirampas. Begitu kembali, saya lihat ibu saya sedang rapi-rapi. “Kata Mayor, Nani harus di sini sendirian, Ibu harus pulang.”

Badan saya langsung tersungkur ke ubin sambil menangis. “Saya bunuh diri kalau dipisah dari Ibu!”

Para tentara berseragam itu hanya menjawab dingin. “Sus Nani bukan kami yang pisahin, tapi perbuatan Sus.” Tapi apa yang saya perbuat? Saya hanya menyanyi dan menari yang kebetulan pernah sekali di panggung ulang tahun PKI. Saya masih memaksa ibu tetap tinggal. Beberapa hari saya dibiarkan bersama ibu, hingga akhirnya luluh juga setelah dibilangi seorang letnan.

“Sus, mendingan ibu pulang. Di rumah kan ibu terurus daripada di sini, kasihan. Makan enggak terurus, semuanya enggak terurus.” 

Saya menerima logika letnan itu dan bersiap berpisah dengan ibu. Mayor Sarjono kemudian bilang saya akan dijebloskan ke Penjara Wanita Bukit Duri. 

“Berapa lama?”

“Ya paling juga setahun kok.”

Beberapa hari menjelang pergi ke Bukit Duri, kamar saya sempat dipindahkan ke kamar bekas atasan saya, Pak Atmoko. Sungguh persimpangan nasib yang tak terduga. Saya baru benar-benar berpisah dengan ibu saat mampir di penjara Salemba sebelum dibawa ke Bukit Duri. Dari kejauhan, saya hanya bisa menatapi punggungnya yang kecil, rapuh, dan berpeluh.

V. Mertua Aidit dan kenangan di Bukit Duri

Ada rumor lucu beredar kalau saya pacarnya Aidit. Saya memang punya pacar sebelum ditangkap, tapi bukan pentolan PKI itu. Bagi saya, mantan saya jelas lebih tampan dan beruntung. Kesialannya cuma satu: Berpacaran dengan saya.

Ketika saya masuk Bukit Duri, ada tradisi semua tahanan baru harus tidur di kamar Eyang Mudikdio–yang tak lain mertuanya Aidit. Saya yang baru masuk jelas ketar-ketir. Ada dua alasan. Pertama, tentu karena rumor saya berpacaran dengan menantunya. Kedua, Eyang Mudik terkenal galak. 

Salah satu sudut rumah Eyang Nani di Priok. (ERA/Muslikhul Afif)

Dua minggu saya sekamar dengannya tanpa obrolan sama sekali. Berhari-hari itu saya bertanya-tanya, di mana galaknya? Dan ternyata, selama dua minggu itu Eyang Mudik juga sama bertanya-tanya, ini siapa?

Lewat dua minggu, ia akhirnya membuka percakapan. “Nak, saya itu berpikir waktu kau masuk, anak ini bukan siapa-siapa, tapi ini anak elite,” ujarnya dan saya menyimak seperti murid teladan. “Malamnya, saya tunggu-tunggu kau mengeluh. Balik-balik saya lihat ke bawah, kok anak muka putih tidurnya nyenyak banget?” 

Saya tertawa. Ternyata saya bisa tidur senyenyak itu dalam penjara. Sebelumnya, waktu dibilang bakal masuk penjara, saya takut setengah mampus. Ajaibnya, ketika sudah masuk, seluruh ketakutan itu luruh. Hilang tak berbekas.

Sesudahnya, saya jadi agak dekat dengan Eyang Mudik. Dalam penjara, ia menggantikan sosok orang tua yang lebih dulu diasingkan dari saya. Suatu hari ia bilang, “Nak, saya akan mengajari kau jadi beschaafd.”

“Apa itu beschaafd?” tanya saya polos.

Beschaafd itu sopan.”

“Apa saya kurang sopan Eyang?”

Ia tertawa lalu menjelaskan kalau maksudnya adalah berkebudayaan, mampu menempatkan diri dalam kondisi apa pun. Setelah menghabiskan waktu bersama, saya jadi yakin kalau Eyang Mudik tidak galak. Sementara bagi Eyang, ia tentu makin yakin kalau saya bukan komunis apalagi pacar Aidit.

Setelah tak lagi sekamar dengan Eyang Mudik, saya mulai tidur dengan tahanan-tahanan lain. Salah satunya Nyak Ami, mantan pembantu Duta Besar Amerika Marshall Green. Padahal, Nyak Ami ini buta huruf. Tega-teganya ia dipenjara sebagai tahanan politik. 

"Orang-orang bilang Amerika jahat. Enggak kok, Tuan Green baik banget sama Nyak. Selalu ngasih uang," kata Nyak Ami berulang-ulang.

Dipenjara jelas bukan pengalaman yang menyenangkan. Namun, saya beruntung karena tidak mengalami penyiksaan dan penghinaan seperti tahanan lain yang rata-rata pernah ditelanjangi. Bolak-balik saya diperiksa, bolak-balik saya membalas interogator.

“Pak, saya sih cuma satu ya. Saya diperiksa, disiksa, mati, selesai. Tapi kalau saya disentuh, saya mati, saya jadi setan. Dan semua saya setanin.”

Ternyata ancaman saya ampuh juga. Selama dipenjara, tak ada yang menjamah tubuh saya. Walaupun bagi saya aneh, kalau sudah berani mengambil nyawa manusia, mengapa mereka masih takut digentayangi?

Eyang Nani menceritakan kisah hidupnya kepada ERA di rumahnya. (ERA/Muslikhul Afif)

Saya dipenjara pada 29 Januari 1969. Sesekali orang tua datang membesuk. Selebihnya kami hidup masing-masing. Mayor Sarjono bilang paling-paling saya dipenjara setahun. Setahun, dua tahun, tiga tahun lewat, saya masih di Bukit Duri. Di saat saya selalu menjawab jujur, semua yang dikatakan kepada saya hanya kebohongan. 

Saya yang dibesarkan dalam keluarga terpandang lama-lama terbiasa dengan kehidupan penjara seperti ikut memasak dalam kamar mandi dengan bahan-bahan yang didapat dari sekitar penjara. Semua makanan saya cicip, semua terasa enak.

Keong-keong tinggal direndam kapur semalaman, lalu besoknya diungkep, amisnya hilang. Hampir segala jenis daun pernah saya coba di penjara, hanya satu yang tidak enak, daun ceri. Rasanya hambar. Tidak pahit, tidak manis, hanya hambar.

Tahun berganti tahun, tahanan Bukit Duri sudah saya anggap keluarga sendiri. Hingga usia saya 34 tahun, saya diberi izin menjalani penahanan rumah gara-gara sakit yang saya derita. Pada 29 November 1975, saya keluar Bukit Duri–kurang lebih setelah tujuh tahun mendekam di sana.

Mantan sekretaris Gerwani, Ibu Kartinah Kurdi, memeluk saya waktu pamit pulang. “Nani, pulang-pulanglah ke keluargamu. Lupakan kami. Jangan pernah ketemu kami. Doakan kami.” Air mata saya jatuh. Saya dekap dalam-dalam permintaan mereka hingga jadi nenek-nenek.

VI. Hidup yang terasing

Saya diputus bebas penuh pada 29 Maret 1976, lalu disumpah pada bulan April. Setelah mengucap sumpah, Kepala Bagian Umum Teperda Pak Situmeang bilang ke saya, “Sudah bebas penuh. Mau ke ujung dunia juga kau bisa.” Lagi-lagi, saya hanya menelan pil kebohongan. Pembebasan penuh hanya omong kosong.

Keluar dari penjara, saya seperti anak ayam kehilangan induknya. Saya tak ingin pulang ke Cianjur. Di sana hanya ada trauma dan tak lagi terasa seperti rumah. Sementara di Jakarta, kakak saya diancam cerai suaminya jika berani-berani bertemu saya. 

Akhirnya saya menumpang di rumah paman saya yang hidup sederhana di Saharjo bersama delapan anaknya. Saya melanjutkan konsultasi kejiwaan di dekat UIN Jakarta agar bisa kembali bergaul dengan orang-orang. Dari sana kemudian saya bisa bekerja di yayasan hematologi. 

Suatu waktu, secara tak sengaja saya memergoki perselingkuhan ketuanya dan terancam dipecat. Daripada ribut, saya memilih mengundurkan diri. Capek saya ribut dengan sesama orang Indonesia. Mantan atasan saya sebelum dipenjara, Pak Soerjo, lalu mendengar kabar terbaru saya dan kembali memanggil. Ia meminta saya menemani putrinya, Marini. Saya menjadi sekretarisnya selama 17 tahun.

Salah satu potret Eyang Nani. (ERA/Muslikhul Afif)

Dinyatakan bebas penuh tak berarti hidup saya bebas sepenuhnya. Saya pernah didatangi Babinsa yang menuduh saya pelarian Gerwani. Tahun 1978, KTP saya dibubuhi tanda ET (Eks. Tapol). Tak ada lelaki yang berani mendekati saya untuk menjalin hubungan, mereka keburu takut dengan reputasi saya. Tahun 1984, saya tiba-tiba harus wajib lapor lagi gara-gara pecah kerusuhan di Priok. Dan lima tahun sesudahnya, waktu keluarga Pak Soerjo mengajak saya ke luar negeri, perizinan saya satu-satunya yang ditolak. Tak sampai di situ, saya pun diputuskan tidak dapat KTP seumur hidup.

Dari gaji sekretaris, saya beli rumah di Tanjung Priok dan hengkang dari Saharjo, tak ingin lagi membebani paman lama-lama. Saya juga menutup diri dari sorotan orang-orang. Tak ada yang tahu alamat saya selain kakak dan pengacara-pengacara yang membantu mengembalikan hak saya sebagai warga negara. 

Usia saya 41 tahun ketika ibu dinyatakan meninggal di Cianjur. Saya tak menangisi atau meratapi kematiannya. Padahal dulu, saya mengancam bakal bunuh diri kalau sampai dipisahkan dari ibu. Tujuh tahun dipenjara, bertahun-tahun hidup sebagai eks tapol, ditolak sana-sini, saya ini seperti mati rasa. Saya sudah tidak punya lagi rasa kangen sama keluarga.

"Apakah saya sudah tidak normal?" tanya saya ke dokter jiwa. Ia tak menyanggahnya. 

Sesekali saya pergi ke Cianjur, saya tak ingat itu rumah masa kecil saya. Yang saya ingat hanya di sana saya ditangkap tentara.

VII. Perjalanan menuju ikhlas

Saya wajib lapor dari tahun 1984 hingga 2000. Setelah Orde Baru jatuh pada 1998, saya ingin mulai memperjuangkan hak-hak saya yang direnggut negara. Kepada kenalan dokter militer saya, Erwin, saya bilang, "Dok, ini udah reformasi gimana?"

"Diam dulu," katanya. "Belum tahu arah politik mau ke mana."

Saya terpaksa menunggu hingga Gus Dur jadi presiden, barulah saya bergerak ke Komnas HAM. Dari sana saya menemui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) didampingi Mas Tobas (Taufik Basari) dan Suma Mihardja. Kami pergi ke Kecamatan Koja menanyakan alasan saya masih harus wajib lapor. Tahun 2003, masa berlaku KTP saya habis, saya datang lagi ke kecamatan ingin buat KTP seumur hidup. Pengajuan saya ditolak dan malah diberi KTP baru dengan masa berlaku lima tahun.

Kami maju menggugat ke PTUN dan menang. Mereka naik banding, kami menang lagi. Mereka lalu ajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Di sela proses hukum tadi, pada tahun 2006, seluruh rakyat Indonesia diputuskan untuk dapat KTP seumur hidup berapa pun usianya. Walhasil, sebetulnya tak perlu lagi kami menunggu hasil kasasi. 

Namun, saya bilang ke Mas Mayong yang waktu itu jadi Direktur LBH. "Enggak bisa Mayong, kita maju terus. Yang kasasi mereka kok, harus tuntas dong."

Tahun 2008, saya diputuskan tidak terlibat organisasi terlarang dan tidak pernah dinyatakan bersalah karena tidak pernah diadili. Saya menang. Dengan modal itulah saya bergerak ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada tahun 2011 untuk meminta ganti rugi negara atas waktu yang saya habiskan tujuh tahun di Bukit Duri.

Pada detik yang sama ketika saya ditahan, baik keluarga, teman, pacar, maupun karir saya diambil secara paksa. Padahal waktu itu saya mendapat total gaji Rp7.400 setahun sebagai sekretaris. Sebagai perhitungan saja, dulu harga emas per gramnya masih Rp200. Gaji saya setahun itu setara 37 gram emas. Hitung saja berapa kerugian materiel saya selama tujuh tahun dipenjara.

Dengan modal 52 berkas dan delapan orang saksi, saya berangkat ke PN, dan gugatan saya ditolak. Kemenangan saya di MA tahun 2008, oleh pengacara presiden, dianggap hanya menang melawan Kecamatan Koja, bukan pemerintah Indonesia. Sekali lagi saya menabrak tembok beton tebal di hadapan hukum. 

Seusai sidang, hakim-hakim PN yang memutus perkara saya menyodorkan tangan, meminta maaf. Jaksa-jaksa juga menemui saya dengan wajah menyesal. “Bu, maafkan kami terpaksa,” kata mereka. 

That’s your living,” balas saya. “Kalau Anda tidak berbuat begini, Anda tidak akan naik, tetap saja jaksa muda. Iya, kan?” Mereka tak menjawab.

Saya terus mengajukan banding hingga kasasi ke MA. Namun, usaha saya seperti sia-sia saja. Sidang saya ditunda-tunda terus sebelum permohonan kasasi saya pada 2016 ditolak MA. Selama proses itu, bolak-balik saya dihubungi orang-orang yang mengaku dari MA, mereka minta persenan jika kasasi saya dikabulkan. Pikir saya, putusan saja belum, sudah dipalak sedemikian rupa.

Tahun 2017, kami bikin sidang eksaminasi dengan ahli-ahli perdata, mempertanyakan putusan hukum yang saya terima dan kasus-kasus ‘65 lainnya.

Tahun 2022, saya disarankan Komnas HAM pergi ke Ombudsman. Saya pergi. Apa pun pilihan legal yang saya punya, saya lakukan. Walau hasilnya entah bagaimana, tapi setidaknya saya bahagia mengetahui ada orang-orang yang mengurus kasus saya dengan serius. Kantor Staf Presiden (KSP) bilang ke saya, Ombudsman bukan hanya kirim surat, tapi bahkan ketuanya datang langsung ke KSP.

Tak lama setelah itu, saya dengar kabar Keputusan Presiden (Keppres) tentang penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu keluar. Hari ini, saya hanya menantikan bagaimana keputusan itu bakal dieksekusi. Segala jalur hukum sudah saya usahakan. Kini saya ikhlas.

Saya bilang ke teman-teman, misal pun kita akhirnya tidak dapat, tidak jadi Keppres itu, saya sih tidak apa-apa, masih bisa hidup kok. Saya masih dikasih makan sama Tuhan, walaupun tidak punya gaji. Saya hakulyakin, selama kita masih hidup, ada saja rezeki itu dari Allah. Gunung api pun tidak akan bisa menghalangi kalau itu sudah hak saya.

Hari ini, usia saya sudah 82 tahun. Saya hanya ingin jadi manusia yang bermanfaat. Saya tidak mau dalam usia saya yang sudah setua ini habis sia-sia. Saya ingin bebas. Saya ingin jadi manusia yang tidak menyulitkan orang lain. 

Rekomendasi