PBNU: Katakan Azan Terlalu Keras Bukan Penodaan Agama

| 22 Aug 2018 00:05
PBNU: Katakan Azan Terlalu Keras Bukan Penodaan Agama
Ilustrasi (Pixabay)
Jakarta, era.id - Meiliana dituntut 1,5 tahun penjara karena dianggap menodai agama setelah menyebut suara azan dekat rumahnya di Tanjung Balai terlampau keras. PBNU bersuara terkait persoalan ini.

Ketua PBNU bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan Robikin Emhas menilai seseorang yang mengatakan suara azan terlalu keras, tidak bisa disebut menista agama. Robikin tidak melihat ungkapan itu sebagai wujud permusuhan terhadap agama tertentu.

"Saya tidak melihat ungkapan suara azan terlalu keras sebagai ekspresi kebencian atau sikap permusuhan terhadap golongan atau agama tertentu," kata Robikin seperti kami kutip dari Antara, Selasa (21/8/2018).

Meiliana, seorang ibu keturunan etnis Tionghoa, terpaksa berhadapan dengan urusan hukum. Dia didakwa melakukan penodaan agama. Mulanya, wanita berusia 44 tahun yang tinggal di Kelurahan Tanjung Balai Kota I, Tanjung Balai ini mengeluh suara azan yang dikumandangkan melalui pengeras suara dirasa terlampau keras. Meiliana lalu meminta kepada takmir untuk mengecilkan volume pengeras suara tersebut.

Entah bagaimana ceritanya, ditambah bumbu-bumbu provokasi oleh berita palsu dan ujaran kebencian bernada SARA, ratusan warga kemudian melakukan pelemparan dan perusakan ke rumah Meiliana. Massa juga membakar satu vihara, lima klenteng, tiga mobil, dan tiga motor. Meliana dinilai jaksa penuntut umum melakukan ujaran kebencian dan penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156 dan 156a KUHP. Pernyataan Meliana dianggap sebagai pemicu kerusuhan tadi.

Kembali ke Robikin. Apa yang dikemukan Meiliana, seharusnya bisa dijadikan sebagai kritik konstruktif dalam kehidupan masyarakat yang plural. Lahirnya pasal penodaan agama sendiri untuk menjaga harmoni sosial yang disebabkan perbedaan golongan atau perbedaan agama/keyakinan yang dianut.

"Saya berharap penegak hukum tidak menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat," kata Robikin yang juga advokat konstitusi.

 

Rekomendasi