Melihat Penodaan Agama Meiliana dari Kacamata Saksi Ahli

| 24 Aug 2018 04:45
Melihat Penodaan Agama Meiliana dari Kacamata Saksi Ahli
Ilustrasi (Yudhistira/era.id)
Jakarta, era.id - Meiliana enggak menyangka, protesnya soal volume pengeras suara masjid mengantarnya ke penjara. Oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, ia divonis 18 bulan penjara karena dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 156 KUHP tentang Penodaan Agama.

Vonis terhadap Meiliana ini disayangkan banyak pihak. Di dunia maya saja, sejak pagi tadi, kata "Bebaskan Meiliana" jadi salah satu trending topic di jagat Twitter. Berdasar pengamatan kami pada Kamis siang (23/8), "Bebaskan Meiliana" menduduki peringkat enam trending topic Twitter Indonesia dengan total kicauan lebih dari lima ribu.

Enggak cuma kicauan Twitter, seorang netizen bernama Anita Lukito bahkan melempar sebuah petisi di situs change.org untuk membela Meiliana. Petisi yang ditujukan untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kementerian Agama, Mahkamah Agung, dan Dewan Masjid Indonesia ini mendesak agar Meiliana dibebaskan demi tegaknya toleransi beragama di Indonesia.

Baiklah, dengan segala kerendahan hati, kami enggak akan ikut-ikutan membenarkan atau menyalahkan Meiliana. Yang jelas, kasus Meiliana ini bermula di tahun 2016. Ketika itu, Meiliana mengeluhkan pengeras suara azan dari Masjid Al Maksum yang berjarak tujuh meter dari rumahnya di Tanjung Balai, Sumatera Utara.

Keluhan itu disampaikan Meiliana kepada tetangganya yang kemudian ia mintai tolong untuk menyampaikan keluhannya itu kepada pihak pengurus masjid untuk mengecilkan volume pengeras suara azan. Kemudian, pada 29 Juli 2016, tetangga Meiliana pun menyampaikan keluhan Meiliana kepada pihak masjid.

Di hari yang sama, pengurus masjid mendatangi kediaman perempuan Tionghoa beragama Buddha itu untuk berdialog. Namun, entah bagaimana bermula, cerita keluhan Meiliana ini menyebar ke telinga begitu banyak warga dan menyulut kemarahan mereka. Keadaan makin kacau ketika gerombolan warga menyerang kediaman Meiliana dan sejumlah kelenteng serta vihara di wilayah Tanjungbalai.

Selanjutnya, ditetapkan sebagai tersangka kasus penistaan agama pada Maret 2017. Kasus Meiliana berujung di meja hijau, dan berakhir dengan vonis 18 bulan dari majelis hakim yang dipimpin Wahyu Prasetyo Wibowo. Keputusan majelis hakim ini lah yang disayangkan banyak pihak. Vonis penjara Meiliana dianggap enggak adil karena dinilai didasari pada besarnya tekanan banyak masyarakat Tanjungbalai.

Surat terbuka saksi ahli

Selalu sulit memang berbicara soal hal semacam ini. Benar salahnya, sungguh kami enggak mengerti betul. Dan memang bukan tugas kami juga untuk membenarkan atau menyalahkan. Tapi, izinkan kami berbagi sebuah pandangan menarik yang dituturkan Rumadi Ahmad, Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Lewat surat berjudul "Ibu Meiliana Maafkan Aku" yang dipublikasikan islami.co, Rumadi yang dalam persidangan Meiliana sempat menjadi saksi ahli menyampaikan permintaan maafnya. Rumadi meminta maaf karena keterangannya dalam persidangan enggak dapat membantu membebaskan Meiliana dari jerat pasal penodaan agama yang didakwakan kepadanya. 

Berikut isi surat terbuka Rumadi:

Ibu Meiliana, maafkan aku. Ternyata keterangan saya sebagai saksi ahli dalam persidanganmu tak didengarkan hakim. Hakim lebih memilih bisikan lain, daripada bisikanku. Saya sudah berusaha sekuat pengetahuan yang saya miliki untuk membebaskankanmu dari tuduhan melakukan penodaan agama, meskipun saya tahu biasanya hakim tidak akan tahan dengan tekanan massa. Engkau akhirnya tetap divonis melakukan penodaan agama dengan pidana 18 bulan. sebelumnya menduga, jaksa akan terpengaruh dengan argumentasi saya dan menuntutmu bebas. Mengapa? Setelah sidang, salah satu jaksa mendekati saya sambil berkata: “Terima kasih pak atas keterangannya. Banyak yang mencerahkan saya, termasuk posisi fatwa dalam Islam”. Ternyata, dugaan saya inipun meleset.

Saya sangat sedih mendengar vonis yang dijatuhkan hakim ini. Keluhanmu atas suara azan yang semakin bising mengantarkanmu ke bui. Engkau sudah menjadi kurban, hanya beberapa hari sebelum Idul Kurban. Sedih….

Ada beberapa hal yang sata tekankan dalam keterangan sebagai ahli:

1. Penerapan pasal 156a tidak bisa berdiri sendiri, tapi harus dikaitkan dg pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965. Meski saya tdk setuju dengan UU ini tapi faktanya UU ini masih berlaku. Mengapa Pasal 1? Karena disitulah substansi penodaan agama, yaitu “….. menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.

Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 tersebut terdakwa tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut sehingga tidak bisa dikatakan melakukan penodaan agama. Terdakwa tidak melakukang dukungan umum, juga tidak menyampaikan perasaannya di muka umum. DIa hanya menyempaikan dalam perbincangan kecil engan beberapa orang yang kemudian disebarkan ke banyak orang. Terdakwa juga tidak melakukan penafsiran agama yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama.

2. Adzan itu bukan ashlun min ushuluddin, bukan pokok-pokok ajaran agama sehingga tidak bisa dijadikan dasar penodaan agama. Adzan pada dasarnya adalah seruan panggilan untuk solat. Meskipun bagian dari syiar Islam, tapi hukumnya sunnah. Artinya adzan bukanlah suatu kewajiban.

3. Adzan dan pengeras suara dalam adzan adalah dua hal yang berbeda. Panggilan solat bisa dilakukan bisa dengan berbagai macam cara. Dulu sebelum ada pengeras suara panggilan solat biasa dilakukan dengan memukul bedug atau kentongan sebagai tanda sudah masuk waktu solat.

4. Mempermasalahkan pengeras suara adzan tidak bisa dimaknai mempersoalkan adzan itu sendiri. Dalam hukum Islam, adzan tidak masuk persoalan dharuri (sesuatu yang menjadi pokok ajaran agama yang wajib ditunaikan). Paling tinggi derajatnya hajiyah (sebagai kebutuhan yang harus ditunaikan supaya memudahkan urusan agama, sehingga adzan hukumnya sunnah –paling tinggi sunnah muakkad). Sedangkan pengeras suara masuk kategori tahsiniyah (untuk semarak dan keindahan Islam).

5. Pengeras suara adzan mempunyai dua sisi: sebagai syiar Islam di satu sisi, tapi dia juga punya potensi untuk mengganggu kedupan sosial, terutama dalam masyarakat yang plural. Karena itulah pemerintah, melalui Dirjen Biman Islam Kementerian Agama mengeluarkan Instruksi DIrjen Bimas Islam Nomer KEP/D/101/78 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musolla. Dalam isntruksi tersebut ada tuntunan bagaimana seharusnya pengeras suara digunakan dalam masjid dan musolla yang intinya sangat penting memperhatikan ketenangan masyarakat. Jangan sampai pengeras suara adzan –yang hukumnya sunnah—merusak sendi-sendi keharmonisan masyarakat.

6. Karena itu penting adanya toleransi dua arah: pengelola tempat ibadah penting menyelami masyarakat, terutama non-muslim, tapi yang non-muslim juga perlu mengerti mengapa umat Islam menggunakan pengeras suara dalam adzan. Kalau ada pihak yang terganggu harus diselesaikan dengan mengedepankan prinsip toleransi tersebut.

Sayangnya keterangan saya tak dipertimbangkan hakim, sebagaimana dalam kasus-kasus sejenis di tempat yang lain.

Saya tahu, ke depan hidupmu akan semakin berat. Meski Anda masih punya hak hukum untuk melakukan perlawanan ke Peradilan yang lebih tinggi, tp saya juga tidak terlalu yakin. Sekali lagi, maafkan saya yang belum bisa membantumu bebas dari kasus ini.

Bandara Soetta, 22 Agustus 2018

*) Rumadi Ahmad, Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU; aktivis Jaringan Gusdurian.

Rekomendasi