Kalau kamu ingat, pascagempa 7,4 SR yang terjadi pukul 17,02 WIB, BMKG sempat merilis peringatan dini tsunami yang kemudian diakhiri pada 17.36 WIB. Hal itu sejatinya sudah diklarifikasi oleh BMKG. Menurut Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono, prosedur pengakhiran peringatan dini sudah sesuai ketentuan. Menurut Rahmat, gelombang tsunami datang saat periode peringatan dini tsunami masih aktif. Jadi, anggapan bahwa tsunami terjadi beberapa waktu setelah peringatan dini tsunami dicabut adalah salah.
Lalu, terkait salah perhitungan yang diakui BMKG, Rahmat menjelaskan, pengamatan lapangan yang dilakukan sesaat setelah gempa terjadi hanya menunjukkan indikasi tsunami setinggi 6 cm, jauh dari tinggi tsunami 2-6 meter yang akhirnya betul-betul terjadi. Menurut Rahmat, enggak akuratnya data itu terjadi karena memang enggak ada data yang bisa diandalkan di Palu. Artinya, tentu saja keberadaan alat pendukung sistem pendeteksi tsunami yang perlu dipertanyakan.
"Di Palu tidak alatnya, tidak ada tides gauge ... Tides gauge itu yang mengoperasionalkan itu Badan Informasi Geospasial (BIG). Untuk mengakhiri warning SOP-nya memang salah satunya ada data observasi dari tides gauge yang diberikan oleh BIG," tutur Rahmat dalam konferensi pers, Jumat (28/9).
Kemarin, Minggu (30/9), Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho memperingatkan pemerintah soal mendesaknya kebutuhan infrastruktur sistem pendeteksi tsunami. Sutopo bilang, infrastruktur sistem pendeteksi tsunami di Indonesia saat ini betul-betul lemah. Bahkan, Tsunami Buoy --alat pendeteksi tsunami-- yang sempat dilempar ke titik-titik rawan di lautan Nusantara sudah enggak ada yang berfungsi sejak tahun 2012.
"Sejak 2012 enggak ada yang beroperasi, padahal dibutuhkan untuk peringatan dini. Bisa ditanyakan ke BMKG, mengapa 2012 sampai sekarang enggak diadakan, mungkin ya soal dana ... Pendanaan bencana itu terus turun tiap tahun. Ancaman bencana meningkat, kejadian bencana meningkat, anggaran BNPB justru turun. Ini berpengaruh terhadap upaya mitigasi. Pemasangan alat peringatan dini terbatas anggaran yang berkurang terus," tutur Sutopo.
Baca juga: Gempa Palu Belum Perlu Masuk Bencana Nasional
Baca juga: Kronologi Kaburnya Napi di Palu-Donggala
Pentingnya Tsunami Buoy
Tsunami Buoy telah sejak lama jadi instrumen penting dalam upaya deteksi dini bencana tsunami di dunia. Bahkan di Indonesia. Jadi, Indonesia memiliki sistem pendeteksi tsunami yang disebut InaTEWS atau Indonesia Tsunami Early Warning System. Sebagaimana dijelaskan dalam Pedoman Pelayanan Peringatan Dini Tsunami BMKG, sistem ini merupakan satu-satunya sistem peringatan dini tsunami yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam sistem ini, terdapat dua sistem pemantauan utama, yakni sistem pemantauan darat yang terdiri dari jaringan seismometer broadband dan GPS serta sistem pemantauan laut (sea monitoring system) yang terdiri dari tide gauges, CCTV, radar tsunami, kabel bawah laut --di mana dua yang terakhir masih dalam tahap pengembangan-- serta Buoy. Data hasil observasi yang ditemukan InaTEWS itu kemudian dikirim kepada BMKG lewat sistem komunikasi berbasis satelit. Nah, dalam sistem pemantauan inilah Buoy berperan penting sebagai rujukan BMKG dalam melihat potensi tsunami, khususnya pascagempa.
Buoy adalah alat yang mengandalkan sensor tekanan yang terjadi di dasar laut. Sebagaimana dikutip dari unesco.org, sensor tersebut mampu memperhitungkan potensi tsunami di lautan terbuka sekaligus menyediakan data penting soal pertanda munculnya tsunami di perairan dalam. Nah, alat inilah yang biasanya jadi dasar BMKG menerbitkan atau membatalkan peringatan tsunami secara lebih tepat. Makanya, enggak adanya Tsunami Buoy tentu jadi kendala buat BMKG menjalankan tugas. Padahal, menurut Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2009, BMKG telah ditunjuk sebagai satu-satunya badan resmi yang berwenang menyerukan peringatan dini tsunami.
Tsunami Buoy atau biasa juga dikenal dengan Tsunameter adalah alat yang terdiri dari dua bagian terpisah. Bagian pertama berbentuk pelampung yang biasanya terlihat di permukaan laut. Sedangkan bagian lain yang biasa disebut Ocean Bottom Unit (OBU) biasanya ditempatkan di dasar laut. OBU bekerja dengan mendeteksi perubahan tekanan air ketika tsunami melewati OBU. Data yang tertangkap kemudian dikirim ke Buoy yang bertugas mengukur naik dan turunnya air di permukaan. Nah, nantinya Buoy jugalah yang berperan sebagai pengirim segala data itu ke BMKG.
Sejatinya, sistem pendeteksi tsunami di Indonesia sempat berjalan. Tahun 2008, dua tahun setelah tsunami Aceh, pemerintah telah memasang Tsunami Buoy untuk mendukung sistem pendeteksi tsunami di Indonesia. Dikutip dari laman bppt.go.id, Tsunami Buoy di berbagai titik perairan Nusantara. Seenggaknya, ada 21 Buoy yang dimiliki Indonesia, di mana tiga di antaranya diberikan Amerika Serikat, dan sepuluh lainnya diberikan pemerintah Jerman, sebagai bagian dari German Indonesian Tsunami Early Warning System (GITEWS).
Namun, kini seluruh Buoy itu enggak lagi berfungsi. Menurut Sutopo, beberapa Buoy rusak akibat lalu lintas kapal, di samping sejumlah Buoy lain yang dinyatakan hilang dicuri. Nah, inilah yang memperparah dampak tsunami di Palu-Donggala, ketika peringatan tsunami yang diterbitkan BMKG enggak akurat akibat disfungsi sistem pendeteksi dini tsunami. Bayangkan, seperti yang dikatakan BMKG, pemantauan potensi tsunami yang dilakukan sesaat setelah gempa Palu-Donggala terjadi dilakukan secara manual. Hasilnya, ketinggian tsunami pun enggak terprediksi secara tepat.
"Kami hanya menggunakan data kesaksian orang-orang dan manual ... Manual itu dengan mengukur jejak tsunami yang ditinggalkan mulai dari jejak air di gedung, lalu sampah di pohon. Karena tsunami selalu meninggalkan jejak. Dari situ bisa diperkirakan ketinggiannya," tutur Rahmat.