ERA.id - Indonesia merayakan Hari Pramuka setiap tanggal 14 Agustus. Sejarah Hari Pramuka Nasional tidak terlepas dari gerakan pramuka internasional. Selain itu, pramuka memiliki peran kebangsaang bagi Indonesia.
Dirangkum Era.id dari situs resmi pramuka dan sumber lain, berikut ini adalah rentetan peristiwa yang akhirnya bermuara kepada penetapan Hari Pramuka di Indonesia.
Sejarah Hari Pramuka
Penetapan Hari Pramuka Nasional tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961. Presiden Soekarno, Presiden pertama Indonesia, melantik Majelis Pimpinan Nasional (Mapinas) Kwartir Nasional (Kwarnas) dan Kwartir Nasional Harian (Kwarnari).
Secara resmi, tanggal 14 Agustus dijadikan Hari Pramuka Nasional karena gerakan pramuka diperkenalkan secara umum di Istana Negara pada 14 Agustus 1961. Hal tersebut ditandai dengan penyerahan Panji Gerakan Pramuka oleh Soekarno kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang sekaligus menjadi ketua pertama Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.
Jauh sebelum penetapan tersebut, pramuka (lebih tepatnya kepanduan) telah berkembang di luar negeri. Kepanduan berkembang di Inggris melalui pembinaan remaja yang dilakukan oleh Lord Robert Baden Powell of Gilwell. Seperti diketahui, Baden Powell adalah orang yang dianggap sebagai Bapak Pandu Sedunia.
Powell punya banyak pengalaman yang kemudian berpengaruh terhadap kegiatan kepanduan, misalnya pengalaman mengalahkan Kerajaan Zulu di Afrika, keterampilan berlayar, berenang, berkemah dan lain sebagainya. Powell menulis kisah tersebut dalam buku berjudul Aids to Scouting.
Buku ini kemudian dijadikan panduan oleh tentara muda Inggris dalam melaksanakan tugas. Setelah itu, pimpinan Boys Brigade di Inggris meminta Powell memberikan pelatihan kepada anggota Boys Brigade berdasarkan pengalaman yang dimilikinya.
Powell menulis buku yang lain pada 1908. Buku yang mengisahkan pengalamannya mengenai latihan kepanduan ini berjudul Scouting for Boy. Buku ini kemudian tersebar secara cepat di Inggris dan berbagai negara, salah satunya Nusantara.
Awal Pramuka di Indonesia
Pada 1912, latihan pandu di Batavia (saat ini Jakarta) mulai dilakukan dan muncullah cabang dari Nederlandsche Padvinders Organisatie (NPO). Ketika itu Nusantara masih dijajah Belanda. Selang dua tahun, cabang tersebut berdiri sendiri dan disahkan dengan nama Nederlands-Indische Padvinders Vereeniging (NIPV) atau Persatuan Pandu-Pandu Hindia Belanda.
Sebagian besar anggota NIPV merupakan keturunan Belanda. Akan tetapi, pada 1916 lahirlah organisasi kepanduan yang benar-benar milik pribumi. Mangkunegara VII, pemimpin Keraton Solo, membentuk Javaansche Padvinders Organisatie.
Tak lama berselang muncullah organisasi kepanduan berbasis agama, kesukuan, dan sebagainya, seperti Padvinder Muhammadiyah (Hizbul Wathan), Al Wathoni, Nationale Padvinderij, Syarikat Islam Afdeling Pandu, Tri Darma (Kristen), Kepanduan Bangsa Indonesia, Kepanduan Asas Katolik Indonesia, Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie, Kepanduan Masehi Indonesia, Pandu Indonesia, Padvinders Organisatie Pasundan, Pandu Kesultanan, El-Hilaal, dan Pandu Ansor.
Kepanduan di Hindia-Belanda (cikal bakal Indonesia) berkembang baik dan menarik perhatian Baden Powell. Pada awal Desember 1934, dia bersama istri dan serta anak-anaknya datang berkunjung ke organisasi kepanduan di beberapa daerah, seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya.
Pada 27—29 Desember 1945, dilakukan Kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia di Surakarta. Hasil dari kongres tersebut adalah Pandu Rakyat Indonesia menjadi satu-satunya organisasi kepramukaan di Indonesia. Akan tetapi perjalanannya tidak mudah.
Pada 1948 Belanda melakukan agresi militer. Pandu Rakyat Indonesia dilarang berdiri di daerah-daerah yang telah dikuasai Belanda. Akibatnya, muncullah organisasi-organisasi lain, seperti Kepanduan Putera Indonesia (KPI), Pandu Puteri Indonesia (PPI), dan Kepanduan Indonesia Muda (KIM).
Setelah beberapa waktu berjalan, kepanduan Indonesia terpecah menjadi 100 organisasi yang tergabung dalam Persatuan Kepanduan Indonesia (Perkindo). Sayangnya, jumlah perkumpulan kepramukaan tidak sebanding dengan jumlah anggota perkumpulan.
SElain itu, rasa golongan yang tinggi juga masih ada sehingga Perkindo melemah. Menyikapi situasi tersebut, Presiden Soekarno dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX menggagas peleburuan berbagai organisasi kepanduan di Indonesia dalam satu wadah.
Hal tersebut diungkapkan Soekarno saat berkunjung ke Perkemahan Besar Persatuan Kepanduan Putri Indonesia di Desa Semanggi, Ciputat, Tangerang, pada Oktober 1959. Dia juga mengumpulkan para tokoh dan pemimpin gerakan kepanduan yang ada di Indonesia.
Organisasi kepanduan pun dilebur dan diberi satu nama, Pramuka. Tindak lanjutnya, Soekarno menunjuk beberapa orang sebagai panitia. Nama-nama yang menjadi petinggi pramuka pertama adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Prijono, Azis Saleh, Achmadi, dan Muljadi Djojo Martono.