Anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin mengatakan, masih ada beberapa hal yang perlu dikonfirmasi sebelum meregister kasus tersebut dan memanggil Prabowo sebagai pihak terlapor.
"Masih banyak hal yang perlu diklarifikasi terkait dengan pelaporan tersebut, di antaranya keterangan bu Ratna juga inikan masih belum terregister. Masih ada hal yang perlu dikonfirmasi," ujar Afif di Kantor Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (8/10/2018).
Pasal terkait dalam kasus ini adalah Pasal 280 UU Nomor 7 Tahun 2017 larangan untuk menyampaikan hasutan ataupun ajakan, ujaran kebencian, serta yang mengancam NKRI, dengan sanksi pidana paling lama 2 tahun penjara dan denda Rp24 juta.
"Tapi apakah sangkaan (kepada Prabowo) itu pas untuk disampaikan sesuai dengan pasal itu, kita yang masih belum bisa berkesimpulan karena masih penanganan pelanggaran," kata dia.
Afif menambahkan, ada UU selain UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang bisa mengatur hal tersebut, yaitu, KUHP, UU ITE dan UU Antis Diskriminasi. Namun, ketiga UU itu tak bisa digunakan oleh Bawaslu.
"Ada UU lain yang mengatur mengenai ujaran kebencian. Itu diatur dalam KUHP, UU ITE, UU Anti Diskriminasi juga diatur. Dan ketiganya itu memiliki implikasi hukum pidana. Bisa menjadi ranahnya pihak kepolisian," ungkap dia.
Sebelumnya, pada Kamis (4/10) lalu, organisasi Garda Nasional untuk Rakyat (GNR) melaporkan Prabowo ke Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) atas dugaan pelanggaran pemilu dengan melakukan kampanye hitam terkait kabar hoaks Ratna yang dianiaya.
Pelaporan dugaan kampanye hitam tersebut didasari pada pernyataan Prabowo yang terkesan mendiskreditkan kubu lawannya, yaitu kubu Jokowi-Ma’ruf dan seakan menduga tim paslon nomor 1 itulah dalang dari penganiayaan Ratna.
Selain itu, Direktorat Hukum dan Advokasi Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin juga mendatangi Bawaslu. Timses Jokowi mengadukan adanya ketidakseriusan komitmen pemilu damai terkait hoaks Ratna Sarumpaet.