Denny Indrayana sebagai salah satu pemohon uji materi itu menyayangkan keputusan MK terkait ambang batas capres. Kata dia, putusan ini bertentangan dengan konsitutisi.
"Kita harus menghormati putusan MK karena kita negara hukum. Kami sebenarnya menyayangkan putusan ini dalam arti tetap berpandangan syarat presidential threshold itu secara esensial bertentangan dengan konstitusi," ujar Denny usai mendengar putusan uji materi di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (25/10/2018).
Diketahui, penolakan gugatan bernomor perkara No. 49/PUU-XVI/2018 berdasarkan putusan MK yang mempertahankan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold. Namun ia berpendapat, di UUD 1945 tak ada satu pun kata yang terkait dengan syarat presidential threshold.
"Sekali lagi, alasan dasar adalah dalam UUD 1945 45 nggak ada satu katapun terkait syarat ambang batas itu. Ini tiba-tiba muncul, apabila kemudian syarat itu dikaitkan dengan hasil pemilu 5 tahun sebelumnya. Tidak ada di negara manapun di dunia ini yang syarat presidennya itu dikaitkan dengan pileg lima tahun sebelumnya," jelas Denny.
Lanjutnya, Denny memiliki beberapa catatan terkait putusan tersebut. Ia menyayangkan mengapa MK tidak memutus perkara ini sebelum pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden beberapa waktu lalu. Padahal, menurutnya isu ini sangat ditunggu masyarakat.
"MK seharusnya memanfaatkan momentum tersebut agar pemilu presiden menjadi lebih menarik dan variatif. Kita mencatat, sebelumnya MK itu lebih aktif dan cenderung menangkap aspirasi publik menangkap keputusan-keputusan tata negara yang urgent," tutur dia.
Salah satu pemohon gugatan, Effendi Gazali. (Diah/era.id)
Putusan MK sontoloyo
Hal senada juga disampaikan pengamat politik Effendi Gazali yang juga jadi salah satu pemohon kasus ini. Dia mengaku sudah terlanjur kecewa dengan putusan MK yang menolak gugatan uji materi tersebut.
"Hal ini sudah kami duga akan seperti ini karena ini pas minggu ini ada isu kebohongan politik dan sontoloyo. Kurang lebih pihak kami mengatakan, jangan-jangan sebagian hakim inilah yang layak disebut melakukan kebohongan politik dan sontoloyo," kata Effedi usai sidang.
Menurutnya analogi majelis hakim dalam pertimbangannya menolak uji materi pemilu Indonesia seperti pemilu di Amerika Serikat sangatlah tidak tepat. Hal inilah yang membuat Effendi menyebut hakim 'sontoloyo'.
"Analogi yang diambil tadi keliru total, walaupun putusannya final dan mengikat, coba bayangkan diambil contoh di Amerika Serikat, bahwa sekalipun yang menang itu popular vote, itu belum tentu jadi Presiden, bukan itu logikanya," tutur Effendi.
"Rakyat Amerika itu sudah tahu dan tidak pernah dibohongi bahwa sekalipun anda milih, terus populer vote-nya menang, belum tentu akan jadi Presiden karena rakyat Amerika sudah tahu sistemnya electoral collage," tambahnya.
Effendi lalu menegaskan bahwa dirinya siap disomasi oleh MK atas pernyataannya yang menyebutkan pertimbangan hasil sidang MK mengandung kebohongan dan sontoloyo.
"Saya siap disomasi, ini itu nggak masuk akal. Pertimbangannya mengandung kebohongan dan sontoloyo," pungkas Effendi.
Diketahui, lima gugatan undang-undang pemilu yang telah diputuskan untuk ditolak gugatannya itu yakni terkait 50/PUU-XVI/2018 oleh Nugroho Prasetyo, 54/PUU-XVI/2018 oleh Effendi Gazali dan Reza Indragiri Amriel, 58/PUU-XVI/2018 oleh Muhammad Dandy, 61/PUU- XVI/2018 oleh Partai Komite Pemerintahan Rakyat Independen, serta 49/PUU-XVI/2018 oleh Muhammad Busyro Muqoddas dkk.
Maka, dengan adanya putusan tersebut, pencalonan presiden dan wakil presiden ke depannya tetap menyaratkan dukungan partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional sebelum pemilihan umum Presiden menjadi dukungan awal. Sementara itu, dukungan yang sesungguhnya akan ditentukan oleh hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.