Habis Halloween, Terbitlah Sumpah Pemuda

| 28 Oct 2018 17:18
Habis Halloween, Terbitlah Sumpah Pemuda
Ilustrasi (Pixabay)
Jakarta, era.id - Habis Halloween, terbitlah Sumpah Pemuda. Bukan, ini bukan artikel klise yang mempersoalkan letak nasionalisme kamu-kamu yang merayakan Halloween semalaman suntuk sampai tidur kebablasan hingga sore di Hari Sumpah Pemuda ini. Tapi, mari kita lihat, sudah sejauh mana peradaban kita berada? Sudah sejauh mana kita melebur dalam globalisasi? Semoga setelahnya, kita bisa jadi pemuda yang mampu berkontribusi besar, enggak hanya bagi negara, tapi juga bagi dunia.

Eureka moment penggarapan tulisan ini sejatinya muncul dalam perjalanan bersepeda Senayan-Depok malam tadi, kala melewati wilayah Senopati dan Kemang. Crowd di sejumlah bar dan klub malam kemarin terasa berbeda dari sabtu-sabtu malam biasanya. Selain banyaknya partygoers yang berseliweran dengan kostum Halloween, tentu saja papan-papan pengumuman di wajah klub malam memberi penegasan soal perayaan apa yang tengah dihelat di dua wilayah paling metropolitan itu.

Saat itu juga kesadaran muncul, bahwa laju globalisasi sudah sampai di sini, sampai pada titik di mana perayaan Halloween yang dalam kalender digital masih dicatat pada tanggal 31 jauh lebih tertangkap khalayak muda ketimbang gembar-gembor perayaan Hari Sumpah Pemuda yang jatuh hari ini, satu fajar dari perayaan Halloween malam tadi. Kami pun berusaha mencari jawaban. Listya (24), mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di Karet Tengsin, Jakarta Pusat mengungkap kepada kami bagaimana seluruh perangkat digitalnya lebih banyak mengingatkan ia soal perayaan Halloween ketimbang Hari Sumpah Pemuda.

"Apa, ya. Lupa. Tapi sebenarnya enggak sepenuhnya lupa juga. Gue ingat tanggalnya (Hari Sumpah Pemuda). Tapi, bagaimana, ya. Enggak ngeh aja. Kalau lihat medsos, bahkan di inbox (email), semuanya reminder soal Halloween," tutur Listya yang kami hubungi, Minggu (28/10/2018).

Berdasar keterangan Listya yang memori Sumpah Pemudanya digusur gembar-gembor perayaan Halloween, kami menelusuri media sosial. Dan benar saja, sangat banyak klub malam, dari Jakarta hingga Bali yang memilih menggelar perayaan Halloween malam tadi. Kami pun menindaklanjuti persoalan pemilihan tanggal perayaan Halloween yang hanya beberapa jam sebelum perayaan Hari Sumpah Pemuda. Deny, Supervisor di Mirror Night Club, Kuta Utara, Bali menyampaikan perspektif menarik kepada kami.

Menurutnya, enggak ada tendensi apapun dari perayaan Halloween di satu hari jelang Hari Sumpah Pemuda. Cuma strategi dasar pengambilan momentum. It's all about business, begitu kira-kira. Mirror sendiri, kata Deny memilih untuk merayakan Halloween pada tanggal 3 November mendatang. Alasannya, sama seperti yang lain, mengambil momentum di malam Minggu. Selain itu, pada tanggal tersebut, Mirror juga telah menyiapkan Sigala, DJ asal Inggris.

"Bertepatan malam Minggu, biar bisa lebih banyak crowd yang kumpul di tempatnya (masing-masing klub). Kalau Mirror kebetulan sekalian mengundang Sigala. Dia bisa main di tanggal 3 (November). Biar lebih berkesan Halloweennya pakai DJ internasional," tutur Deny.

"Soalnya, di Bali, weekdays itu jarang orang mau party. Tapi, memang. Mereka semua (klub malam), untuk celebrate apapun, kalau jatuh di hari Senin-Kamis, mereka pasti majuin atau mundurin sampai Jumat atau Sabtu. Jadi, alasan terbesarnya sih weekend," tambahnya.

Di Bali, enggak banyak tempat untuk merayakan hari-hari besar nasional di klub malam, kecuali Hari Kemerdekaan 17 Agustus, pastinya. Dan itupun sejatinya adalah tradisi yang telah terbangun, bahwa wajib hukumnya untuk sebuah klub malam di Bali mempersiapkan perayaan hari jadi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Bukan berarti enggak nasionalis, tapi begitulah situasinya.

"Faktor turis. Kalau kita bikin theme Sumpah Pemuda dengan segala gimmick dan lain-lain, itu enggak akan berpengaruh buat market kita. Sebagian besar turis di sini enggak mengerti dan enggak mau tahu hal kayak gitu. Tapi, untuk 17 Agustusan, kita rayain, karena mungkin hampir semua tempat (klub malam) di Bali merayakan setiap hari kemerdekaan negara lain juga," kata Deny.

"Ya mungkin memang pasar di sini lebih ke internasional dibanding lokal. Bahkan, turis lokal juga lebih excited ketika mereka harus dandan ala orang Mexico ketika ada perayaan Mexican National Day, dibanding mereka harus pakai ikat kepala merah putih buat datang ke perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia," tambahnya.

Sampai mana kita?

Poin utama bahasan ini tentu bukan tanggal berapa seharusnya klub-klub malam dalam negeri merayakan Halloween. Tapi, lewat geliat klub malam dan Halloween, sejatinya kita bisa melihat, sudah sampai mana kita mengikuti arus globalisasi.

Tulisan Sri Yuliani, pengajar di Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Jawa Tengah menjelaskan soal konsep Sumpah Pemuda di Era Globalisasi. Tulisan ini ditulis pada 2011, ketika paranoid dari kata globalisasi sedang gila-gilanya barangkali. Sekarang, tujuh tahun setelahnya, ketika makin banyak anak bangsa yang pamer karya dan berkontribusi bagi dunia internasional, konotasi negatif dari globalisasi pun mulai terkikis.

Dalam tulisannya, Sri menjelaskan arti kata globalisasi. Menurutnya, globalisasi adalah segala hal yang bersifat lintas bangsa, transnasional, internasional. Perkembangan teknologi digital dan komunikasi saat ini telah menghubungkan manusia melintasi batasan wilayah negara dengan amat mudah. Makanya, globalisasi sejatinya bukan serta-merta jadi bencana. Sebab, globalisasi membuka kesempatan luas kepada hampir semua orang --yang memiliki akses internet seenggaknya-- untuk mengembangkan diri seluas-luasnya.

"Berbagai peluang dan kesempatan pengembangan diri diakses melalui internet ... Di era global, peluang untuk maju terbuka bagi semua sumber daya manusia lintas bangsa," tulis Sri.

Sejatinya, tulisan Sri yang lampau itu terbukti. Kita ambil contoh paling hangat, bagaimana Timo Tjahjanto dan segerbong talenta perfilman dalam negeri diboyong melintasi berbagai negara dunia. Lewat kantor Netflix di California, Amerika Serikat, film terbaru Timo, The Night Comes for Us berhasil membuat seluruh dunia berdecak kagum. Neil Miller, kritikus Film School Rejects sampai mengucap sumpah serapah untuk memuji The Night Comes for Us. Bahkan, Robert Liefeld, pembuat komik Deadpool meminta siapapun yang akan memproduseri film Deadpool 3 untuk memberikan semua uangnya kepada Timo.

 

Timo jelas cuma salah satu contoh dari banyaknya pemuda bangsa yang telah berhasil mengharumkan nama bangsa lewat karya. Kita ambil contoh lain yang lebih relevan dengan perkembangan pemuda dan pertaliannya dengan dunia: internet. Henri Kasyfi Soemartono, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII) adalah orang Indonesia pertama yang ditunjuk menjadi anggota The Number Resource Organization Number Council (NRO NC).

NRO adalah lembaga internasional yang mengatur koordinasi aktivitas registrasi internet di dunia, mulai dari kawasan Afrika,

Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, hingga Asia Pasifik. Dan capaian Henri sungguh bukan langkah main-main. Dikutip dari Economic Review, Henri akan berdiri sejajar dengan 15 anggota dewan yang berasal dari berbagai negara dunia untuk merumuskan kebijakan internet global. Saat ditunjuk pada Januari lalu, Henri menuturkan, bergabungnya ia bersama NRO akan jadi kesempatan penting untuk Indonesia, termasuk para pelaku industri Tanah Air untuk turut berperan dalam pengambilan kebijakan global.

“Indonesia, yang selama ini telah menjadi NIR dibawah APNIC, akan dapat menjadi lebih berperan lagi dalam kancah Internet Global. Dengan penunjukkan ini, Indonesia dapat ikut berkontribusi langsung terhadap global policy karena berada di sebuah badan independen antara ICANN dan kelima RIR,” ungkap Henri.

Memaknai sumpah pemuda

Dalam tulisannya, Sri juga mendorong pemuda bangsa untuk berpikiran terbuka dan mulai bergerak sebagai warga dunia. Bukan apa-apa, suka enggak suka, globalisasi telah mendorong peradaban manusia dalam paparan budaya asing. Mengadaptasi nilai-nilai baik dari budaya asing tentu adalah hal yang diperlukan saat ini, di samping tentu saja menghayati berbagai pesan nasionalisme yang terkandung dalam Sumpah Pemuda sebagai hal yang utama.

"Nilai-nilai Sumpah Pemuda hanya perlu di direvitalisasi agar bisa tetap aktual dengan konteks tantangan era global. Kita tidak perlu terjebak dalam nostalgia nasionalisme model era perjuangan kemerdekaan yang melihat cinta bangsa pada keterikatan emosional pada tanah air, pada batas geografis suatu wilayah negara," tulis Sri.

Dan yang terpenting dari segala konsep pemaknaan Sumpah Pemuda di era globalisasi ini adalah bagaimana setiap pemuda memelihara semangat membangun bangsa dan negara dalam setiap kegiatan yang dilakukan, entah dalam sebuah pengabdian ataupun lewat karya. Artinya, jika dirimu ingin mengabdi untuk negara, mengabdilah setunduk-tunduknya. Dan jika dirimu ingin mengamalkan Sumpah Pemuda lewat karya, sebarkanlah inspirasi seluas-luasnya lewat karyamu.

"Cinta tanah air, bangsa dan bahasa Indonesia adalah cinta yang bisa dimanifestasikan di manapun manusia Indonesia tinggal. Di pelosok bagian manapun orang Indonesia berdiam, dia tidak akan melupakan sumpahnya untuk berkarya yang terbaik demi kejayaan tanah airnya, membawa nama harum bangsanya, dan tidak melupakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dengan tetap berusaha menguasainya dengan baik dan meneruskannya pada anak cucunya. Inilah Sumpah Pemuda di era global."

Seperti cerita Deny, misalnya. Ketika kamu adalah seorang pengelola klub malam di Bali, berpikir global adalah jalan untuk tetap hidup. Ya, itulah globalisasi. Cukup lama terpelihara sebagai frasa yang begitu angker memang, meski sejatinya globalisasi memiliki konteks yang lebih luas yang bahkan bisa jadi sangat positif dalam sudut pandang tertentu.

Rekomendasi