Eureka moment penggarapan tulisan ini sejatinya muncul dalam perjalanan bersepeda Senayan-Depok malam tadi, kala melewati wilayah Senopati dan Kemang. Crowd di sejumlah bar dan klub malam kemarin terasa berbeda dari sabtu-sabtu malam biasanya. Selain banyaknya partygoers yang berseliweran dengan kostum Halloween, tentu saja papan-papan pengumuman di wajah klub malam memberi penegasan soal perayaan apa yang tengah dihelat di dua wilayah paling metropolitan itu.
Saat itu juga kesadaran muncul, bahwa laju globalisasi sudah sampai di sini, sampai pada titik di mana perayaan Halloween yang dalam kalender digital masih dicatat pada tanggal 31 jauh lebih tertangkap khalayak muda ketimbang gembar-gembor perayaan Hari Sumpah Pemuda yang jatuh hari ini, satu fajar dari perayaan Halloween malam tadi. Kami pun berusaha mencari jawaban. Listya (24), mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di Karet Tengsin, Jakarta Pusat mengungkap kepada kami bagaimana seluruh perangkat digitalnya lebih banyak mengingatkan ia soal perayaan Halloween ketimbang Hari Sumpah Pemuda.
"Apa, ya. Lupa. Tapi sebenarnya enggak sepenuhnya lupa juga. Gue ingat tanggalnya (Hari Sumpah Pemuda). Tapi, bagaimana, ya. Enggak ngeh aja. Kalau lihat medsos, bahkan di inbox (email), semuanya reminder soal Halloween," tutur Listya yang kami hubungi, Minggu (28/10/2018).
Berdasar keterangan Listya yang memori Sumpah Pemudanya digusur gembar-gembor perayaan Halloween, kami menelusuri media sosial. Dan benar saja, sangat banyak klub malam, dari Jakarta hingga Bali yang memilih menggelar perayaan Halloween malam tadi. Kami pun menindaklanjuti persoalan pemilihan tanggal perayaan Halloween yang hanya beberapa jam sebelum perayaan Hari Sumpah Pemuda. Deny, Supervisor di Mirror Night Club, Kuta Utara, Bali menyampaikan perspektif menarik kepada kami.
Menurutnya, enggak ada tendensi apapun dari perayaan Halloween di satu hari jelang Hari Sumpah Pemuda. Cuma strategi dasar pengambilan momentum. It's all about business, begitu kira-kira. Mirror sendiri, kata Deny memilih untuk merayakan Halloween pada tanggal 3 November mendatang. Alasannya, sama seperti yang lain, mengambil momentum di malam Minggu. Selain itu, pada tanggal tersebut, Mirror juga telah menyiapkan Sigala, DJ asal Inggris.
"Bertepatan malam Minggu, biar bisa lebih banyak crowd yang kumpul di tempatnya (masing-masing klub). Kalau Mirror kebetulan sekalian mengundang Sigala. Dia bisa main di tanggal 3 (November). Biar lebih berkesan Halloweennya pakai DJ internasional," tutur Deny.
"Soalnya, di Bali, weekdays itu jarang orang mau party. Tapi, memang. Mereka semua (klub malam), untuk celebrate apapun, kalau jatuh di hari Senin-Kamis, mereka pasti majuin atau mundurin sampai Jumat atau Sabtu. Jadi, alasan terbesarnya sih weekend," tambahnya.
Di Bali, enggak banyak tempat untuk merayakan hari-hari besar nasional di klub malam, kecuali Hari Kemerdekaan 17 Agustus, pastinya. Dan itupun sejatinya adalah tradisi yang telah terbangun, bahwa wajib hukumnya untuk sebuah klub malam di Bali mempersiapkan perayaan hari jadi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Bukan berarti enggak nasionalis, tapi begitulah situasinya.
"Faktor turis. Kalau kita bikin theme Sumpah Pemuda dengan segala gimmick dan lain-lain, itu enggak akan berpengaruh buat market kita. Sebagian besar turis di sini enggak mengerti dan enggak mau tahu hal kayak gitu. Tapi, untuk 17 Agustusan, kita rayain, karena mungkin hampir semua tempat (klub malam) di Bali merayakan setiap hari kemerdekaan negara lain juga," kata Deny.
"Ya mungkin memang pasar di sini lebih ke internasional dibanding lokal. Bahkan, turis lokal juga lebih excited ketika mereka harus dandan ala orang Mexico ketika ada perayaan Mexican National Day, dibanding mereka harus pakai ikat kepala merah putih buat datang ke perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia," tambahnya.
Sampai mana kita?
Poin utama bahasan ini tentu bukan tanggal berapa seharusnya klub-klub malam dalam negeri merayakan Halloween. Tapi, lewat geliat klub malam dan Halloween, sejatinya kita bisa melihat, sudah sampai mana kita mengikuti arus globalisasi.
Tulisan Sri Yuliani, pengajar di Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Jawa Tengah menjelaskan soal konsep Sumpah Pemuda di Era Globalisasi. Tulisan ini ditulis pada 2011, ketika paranoid dari kata globalisasi sedang gila-gilanya barangkali. Sekarang, tujuh tahun setelahnya, ketika makin banyak anak bangsa yang pamer karya dan berkontribusi bagi dunia internasional, konotasi negatif dari globalisasi pun mulai terkikis.
Dalam tulisannya, Sri menjelaskan arti kata globalisasi. Menurutnya, globalisasi adalah segala hal yang bersifat lintas bangsa, transnasional, internasional. Perkembangan teknologi digital dan komunikasi saat ini telah menghubungkan manusia melintasi batasan wilayah negara dengan amat mudah. Makanya, globalisasi sejatinya bukan serta-merta jadi bencana. Sebab, globalisasi membuka kesempatan luas kepada hampir semua orang --yang memiliki akses internet seenggaknya-- untuk mengembangkan diri seluas-luasnya.
"Berbagai peluang dan kesempatan pengembangan diri diakses melalui internet ... Di era global, peluang untuk maju terbuka bagi semua sumber daya manusia lintas bangsa," tulis Sri.
Sejatinya, tulisan Sri yang lampau itu terbukti. Kita ambil contoh paling hangat, bagaimana Timo Tjahjanto dan segerbong talenta perfilman dalam negeri diboyong melintasi berbagai negara dunia. Lewat kantor Netflix di California, Amerika Serikat, film terbaru Timo, The Night Comes for Us berhasil membuat seluruh dunia berdecak kagum. Neil Miller, kritikus Film School Rejects sampai mengucap sumpah serapah untuk memuji The Night Comes for Us. Bahkan, Robert Liefeld, pembuat komik Deadpool meminta siapapun yang akan memproduseri film Deadpool 3 untuk memberikan semua uangnya kepada Timo.
-
Afair09 Oct 2019 14:11
Habis Hujan, Terbitlah Sampah
-
Afair21 Aug 2019 20:03
Habis Getah-Getih Terbitlah Gabion
-
Afair29 Oct 2018 05:57
Hottest Issue Pagi, Senin 29 Oktober 2018