Jakarta, era.id - Perhelatan Kongres Pemuda ke-II digelar tepat pada hari ini, 28 Oktober, 90 tahun lalu. Para pemuda yang berasal dari berbagai suku, mendaklarasikan persatuan mereka sebagai satu kesatuan bangsa. Momentum yang menandakan bersatunya suku-suku yang ada di Nusantara diabadikan dalam sebuah ikrar Sumpah Pemuda. Adapun hasil dari Kongres Pemuda II tersebut adalah:
Pertama: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kedua: Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Persatuan para pemuda bangsa Indonesia tersebut diawali dengan berdirinya organisasi Budi Oetomo pada 20 Mei 1908. Sutomo CS sadar, bahwa untuk mencapai kemerdekaan rakyat harus dicerdaskan terlebih dahulu. Momen itulah yang sampai detik ini dikenal sebagai hari kebangkitan nasional.
Tujuh tahun pasca beridirinya Budi Oetomo, para pemuda mulai bangkit dari tiap-tiap suku yang ada di Indonesia. Salah satu tanda pemuda Indonesia mulai bangkit adalah dengan berdirinya organisasi Tri Koro Dharmo atau yang lebih dikenal dengan Jong Java.
Seperti dijelaskan dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah (2013), organisasi tersebut merupakan perkumpulan pelajar yang berdiri pada 7 Maret 1915. Berbagai kongres dilakukan untuk menyempurnakan dan menyebarkan ke banyak kalangan akan pentingnya peran pemuda. Salah satu program kerja prioritas mereka kala itu yakni pemberantasan buta huruf. Tujuannya agar pemuda bisa melihat bebas dunia luar.
Gaung Jong Java mulai terdengar hampir ke seantero negeri. Hal itu menginspirasi pemuda-pemuda lain untuk membuat gerakan serupa hingga lahirnya organisasi Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Islaminten Bon, Pemuda Kaum Betawi, Pemuda Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), dan lainnya.
Setelah organisasi tersebut bermunculan secara sporadis, merujuk dalam buku 45 Tahun Sumpah Pemuda (1974), mereka mulai berinisiatif untuk bisa menggabungkan para perhimpunan pemuda ke dalam sebuah musyawarah besar.
Kemudian pada Kongres Pemuda I (30 April - 2 Mei 1926). Pada kongres tersebut masih terdapat ego-ego kedaerahan yang kuat dari tiap kelompok. Kemudian mereka sadar, bahwa ego kedaerahan itu tak akan membawa mereka untuk mencapai gerbang pintu kemerdekaan, dengan mengalahkan para penjajah.
Sampai pada akhirnya Kongres Pemuda II akhirnya berhasil dilaksanakan yang ditandai dengan lahirnya perjanian Sumpah Pemuda tersebut.
Asal Usul Bahasa Indonesia
Jika melihat catatan sejarah tersebut, langkah awal dari organisasi Budi Oetomo, adalah masyarakat Indonesia perlu dicerdaskan terlebih dahulu. Gagasan tersebut kemudian dipahami baik-baik oleh organisasi yang muncul berikutnya yakni Jong Java, dengan mengusung program prioritas yakni memberantas buta huruf di kalangan masyarakat.
Dari situ dapat terlihat betapa pentingnya masyarakat Indonesia untuk bisa membaca, agar minimal mereka mendapat informasi. Pada masa itu, untuk saling bertukar informasi mereka menggunakan bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia saat ini, disamping bahasa daerah yang masing-masing suku di Indonesia hampir semua memilikinya. Dengan munculnya rasa kebangsaan, bahasa Melayu diangkat menjadi Bahasa Persatuan melalui Sumpah Pemuda tadi.
Sumpah Pemuda merupakan wujud kristalisasi semangat nasionalisme sebagai bangsa yang dijajah oleh bangsa asing. Dengan Sumpah Pemuda, penggalangan kekuatan guna mempersatukan suku bangsa yang tercerai berai di berbagai pulau di negeri ini mulai hidup bersatu. Bersatu merupakan salah satu modal utama dalam rangka kemerdekaan Indonesia.
Selain itu, Sumpah Pemuda merupakan bagian dari perjanan sejarah bahasa Indonesia. Ikrar "Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia" merupakan kekuatan pemersatu suku bangsa Indonesia yang berbeda suku dan bahasa.
Bahasa Persatuan
Kini Sumpah Pemuda sudah berusia 90 tahun. Apakah ikrar satu bahasa yakni bahasa Indonesia masih memiliki kekuatan untuk membangun persatuan terhadap bangsa Indonesia?
Menurut Marsudi dalam penelitian berjudul Eksistensi Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Persatuan yang dimuat Jurnal Sosial Humaniora (2008) menjelaskan bahwa saat ini bahasa Indonesia, bagi sebagian bangsa, masih dipandang sebagai bahasa yang inferior.
"Masyarakat kini gemar menyebut kata asing ketimbang padanannya dalam bahasa Indonesia. Bahasa asing dianggap memiliki prestige yang lebih tinggi daripada bahasa Indonesia," tulisnya.
Menurutnya, gejala itu tak dapat dianggap remeh. Sebagai suatu perkembangan yang biasanya muncul dalam masyarakat urban, seperti juga tampak di sejumlah negara lain. Timbulnya gejala bahasa pergaulan, terutama di kalangan pemuda, dalam masyarakat urban yang rentan terhadap arus globalisasi.
Menurut Marsudi, jika bahasa Indonesia dipakai oleh sebagian masyarakat untuk menyukseskan kepentingan kelompok tertentu sehingga menimbulkan kerawanan persatuan bangsa, maka hal semacam itu, bahasa Indonesia tidak lagi berfungsi sebagai bahasa persatuan. Melainkan sebaga alat pemecah belah bangsa.
Selain itu partai-partai politik yang bertikai menggunakan bahasa sebagai alat untuk kepentingan partai atau kelompoknya. Para politikus juga memanfaatkan bahasa untuk memengaruhi masyarakat agar mendukung partainya, maka: bahasa Indonesia yang dipakai tidak lagi mencerminkan sebagai bahasa persatuan, tulis Marsudi.
Masih menurut Marsudi, saat ini bukanlah barang baru menemukan fenomena jika gara-gara penggunaan bahasa yang kurang santun menjadikan lawan bicara marah maupun tersinggung. Padahal belum tentu ada maksud memancing kemarahan. Di gedung DPR misalnya, kita pernah menyaksikan adegan adu fisik yang berawal dari penggunaan bahasa yang tidak santun dalam menyampaikan pendapat. Dalam konteks ini peran bahasa dilupkan untuk mencari titik tengahnya atau menghargai perbedaan pendapat.
Marsudi mengatakan, sampai saat ini patut disyukuri, bahwa adanya gejolak dan kerawanan yang mencancam kerukunan dan kesatuan bangsa Indonesia bukanlah bersumber dari bahasa persatuannya, bahasa Indonesia, melainkan bersumber dari krisis multidimensional terutama krisis ekonomi, hukum, dan politik, serta pengaruh globalisasi.
"Justru, bahasa Indonesia hingga kini menjadi perisai pemersatu yang belum pernah dijadikan sumber permasalahan oleh masyarakat pemakainya yang berasal dari berbagai ragam suku dan daerah.
Tak bisa dibayangkan apabila deklarasi Sumpah Pemuda tidak pernah ada. Mungkin negeri ini tidak akan memperoleh kemerdekaan tahun 1945 karena tiap-tiap suku fanatik menggunakan bahasa daerahnya. Oleh karena itu, adanya bahasa persatuan itulah, rasa nasionalisme terwujud sampai sekarang.