Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua KPK Saut Situmorang usai meresmikan Pusat Edukasi Antikorupsi atau Anti Corruption Learning Center (ACLC).
"Jadi yang kita harapkan ada semacam perubahan dalam undang-undang (partai) politik kita. Kalau itu mau, kan itu 2011. Kalau ada perubahan terbuka, tertutup atau paralel gabungan terbuka tertutup. Sehingga check and balance-nya baik. Itu kita minta komitmen itu, diubah kalau mau kita ubah," kata Saut kepada wartawan di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (26/11/2018).
Perubahan itu, disebut Saut, akan dimulai dengan mengajak partai politik menandatangani pakta integritas. Selain memperbaiki sistem pengawasan, pencegahan korupsi di sektor politik akan dilakukan dengan membuat pembahasan anggaran jadi lebih transparan.
"Anggaran susunannya kan eksekutif, legislatif. Nah, ketika deal itu dalam artinya membahas ya. Dari apa yang dilakukan mulai dari proses penganggaran segala macam, disitu pintu transaksional muncul," jelas Saut.
"Sebisa mungkin transparansinya menjadi lebih penting. Jadi ada e-planning, e-budgeting dan segala macam. Kalau itu transparan dibuat, itu kan sudah menjadi good governance, pemerintah yang transparan. Jadi di pintu-pintu ruang tertutup itu kita curiga," imbuhnya.
61 persen korupsi dari sektor politik jadi perhatian KPK
Sebelumnya, lembaga antirasuah ini memang mencatat sebanyak 61,17 persen pelaku korupsi yang ditanganinya memang berasal dari sektor politik. Adapun 61,17 persen itu dengan rincian 69 orang dari angggota DPR RI, 149 orang anggota DPRD, 104 kepala daerah, dan 223 orang dari pihak lain yang memang terkait dalam kasus korupsi.
Sehingga berdasarkan kajian tersebut, KPK kemudian mengeluarkan rekomendasi agar dibangun Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) dengan tujuan menghasilkan calon pemimpin yang berintegritas dan meminimalisir risiko korupsi serta penyalahgunaan jabatan.
Tak hanya itu, KPK juga telah mencatat, masalah utama penyebab kurangnya integritas partai politik di Indonesia. Pertama, tak ada standar etika politik dan politisi. Kedua, sistem rekrutmen dalam partai tak berstandar. Ketiga, sistem kaderisasi partai yang berjenjang dan belum terlembaga. Terakhir, kecilnya pendanaan partai dari pemerintah.